• Cerita
  • Perjalanan Rabiin, Bisa Pulang Setelah 1,5 Tahun Terjebak Sindikat Kerja Paksa di Myanmar

Perjalanan Rabiin, Bisa Pulang Setelah 1,5 Tahun Terjebak Sindikat Kerja Paksa di Myanmar

Rabiin, warga Indramayu bisa lolos dari perbudakan modern (TPPO) di Myanmar. Ia menjalani kerja paksa, disiksa, dan diperjualbelikan.

Ilustrasi. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengancam para pencari kerja ke luar negeri. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam14 Maret 2025


BandungBergerak.id“Kita kena musibah. Tapi harus tentang. Yang penting, saya masih hidup,” ujar Rabiin, melalui sambungan telepon kepada sang istri.

Di seberang telepon dalam sepersekian detik terjadi keheningan mencekam. Kecuali napas-napas mereka yang dikuasi ketegangan.

“Cukup bersabar aja,” sambung Rabiin. “Menunggu ini apa bisa terbebaskan dalam masalah ini.”

Percakapan telepon tersebut terjadi ketika Rabiin disekap di perusahaan yang mempekerjapaksakannya di Myanmar, negeri yang dicabik-cabik konflik sipil versus militer. Pria 43 tahun berbadan tegap ini korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Sebelumnya, di tengah penyekapan, video warga Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tersebut sempat menarik perhatian publik menjelang akhir 2024 lalu. Dia dan tiga teman korban TPPO membuat video berdurasi 53 detik yang isinya meminta tolong kepada pemerintah RI agar dipulangkan dari sekap di Myanmar.

“Kepada pak Prabowo, Presiden baru kami, tolong kami, pak, di Myanmar. Kami disekap, disiksa, disetrum,” ujar Rabiin, agak merintih. “Tolong kami, pak,” sahut yang lainnya.  

Keberuntungan datang dari jalan yang tidak disangka-sangka. Korban penipuan bermodus lowongan kerja di luar negeri itu bisa lolos dari penyekapan di negeri asing. Jumat, 21 Februari 2025 lalu Rabiin pulang ke tanah air. Ia kemudian melaporkan kasusnya ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum), Polda Jawa Barat, Kamis, 6 Maret 2025.

Rabiin (43 tahun) korban tindak pidana dan perdagangan orang yang baru pulang ke Indonesia Februari 2025, Jumat, 7 Maret 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Rabiin (43 tahun) korban tindak pidana dan perdagangan orang yang baru pulang ke Indonesia Februari 2025, Jumat, 7 Maret 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Disekap, Disiksa, Kerja Paksa, dan Diperjualbelikan

Sebelum terperangkap praktik perbudakan modern di Myanmar, Rabiin menghadapi kesulitan mencari kerja di tanah air sendiri. Dia pernah mencoba peruntungan membuka kuliner cepat saji di kawasan rumahnya. Namun bisnisnya tidak berjalan mulus. Tahun 2023 usahanya gulung tikar.

Pertengahan Agustus 2023 muncul niatnya untuk kerja ke luar negeri. Selain untuk menafkahi keluarga, Rabiin beranggapan kerja di luar negeri bisa menambah modal politiknya. Dia hendak maju lagi sebagai caleg di daerahnya pada kontestasi Pilkada 2024.

Rabiin sadar, ongkos politik di Indonesia tidak murah. Keikutsertaanya pada pemilihan legislatif (Pileg) 2019 contohnya. Dia gagal terpilih sebagai anggota dewan padahal sudah mengeluarkan modal 900 juta rupiah sampai 1 miliiar rupiah. Uang itu tadas seperti tersedot meja judi.

Sebelum panggung pilkada dibuka, Rabini bertekad mencari modal agar bisa bekerja sebagai buruh migran di Singapura. Modal yang harus dimilikinya sekitar 200 jutaan rupiah lagi.

Seorang realasi yang sudah bekerja lama di Negara Singa menawarinya bekerja sebagai penjual takoyaki di pasar malam. Rabiin pun berangkat ke Singapura beserta tiga teman lainnya. Setelah masa tenggat waktu bekerja habis, dia tidak langsung pulang ke Indonesia dengan alasan modalnya belum cukup.

Sebelumnya Rabiin telah mengantongi informasi lowongan kerja di PT Top Form, pabrik tekstil di Thailand. Ia tahu informasi ini dari Angelina, warga negara Indonesia (WNI) yang mengaku sudah bekerja bertahun-tehun di negara Gajah Putih. Belakangan Rabiin tahu bahwa nama aslinya adalah Risma, WNI yang turut menjadi korban TPPO di Myanmar.

Rabiin tak curiga dengan tawaran Risma. Perempuan itu bahkan mengiming-imingi bahwa Rabiin akan bekerja di divisinya. “Nanti sama saya dibantu masuk divisi saya, yaitu staf HRD dengan tawaran gajinya 40.000 baht mata uang Thailand,” kata Risma, seperti ditirukan Rabiin kepada BandungBergerak.

Nilai rupiah 40.000 kurang lebih 16.000.000. Risma kemudian meminta Rabiin mencari informasi lebih lanjut tentang perusahaanya di internet.

PT Top Form, dalam penelusuran Rabiin, berkantor pusat di Hong Kong, tepatnya di San Po Kong, Kowloon. Fokusnya bekerja pada bidang manufaktur dari kain menjadi produk berbagai model. Perusahaan ini sudah beroprasi di seluruh Asia termasuk Indonesia. Setelah itu Rabiin makin tergiur dengan tawaran dari Risma.

Ditipu, Dijebak

Rabiin mengirimkan seluruh dokumen persyaratan melalui WhatsApp. Dia juga disuruh membuat video perkenalan menggunakan bahasa Inggris.

“Nanti saya urus dokumennya. Ada fasilitas, dapat makan, dapat mes juga,” ujar Rabiin, menirukan Risma.

Rabiin disuruh menunggu selama tiga hari  sampai proses administrasi selesai. Setelah semuanya dianggap memenuhi sayarat, ia pun terbang ke Thailand dengan tiket pesawat hasil gaji dari penjualan takoyaki. Setelah sampai di bandar udara Bangkok, dia disarankan untuk menginap di hotel yang sudah ditetapkan oleh Risma.

Esok paginya sekitar pukul 10.00 waktu Bangkok, Rabiin dijemput dengan mobil travel berwarna hitam berjenis Xpander. “Saya sebelumnya kan tidak tahu (akan dibawa ke mana),” terangnya. Di dalam mobil hanya berdua, Rabiin dan supir asal Thailand yang menjemputnya.

Sudah lebih 7 jam dia berada di jalan bersama sopir asing itu. Jalan yang mereka tempuh makin lama makin kecil. Di pertengahan jalan mereka sempat dihentikan oleh tentara Thailand. Situasi politik Myanmar yang kacau membuat tentara Thailan ‘bebas’ beroperasi di sana. “Sementara kami diminta dokumen tapi melalui supir yang memandu itu, dia yang menyerahkan,” jelas Rabiin.

Tak pernah sedikitpun Rabiin curiga bahwa dirinya dalam bahaya. Sepanjang jalan Risma terus memonitornya. “Lalu kemudian saya difoto, dicap dokumen,” lanjutnya. Di sini muncul keanehan karena cek dokumen ini biasanya hanya terjadi di bandara saja.

Hari memasuki petang. Rabiin tiba di kawasan Mae Sot, Thailand. Ia sempat masuk hotel untuk istirahat. Namun memasuki pukul 22.00 waktu setempat, Risma menyuruhnya langsung pergi bersama mobil lain yang akan menjemputnya.

Baru saja merebahkan diri di kasur setelah perjalanan panjang, Rabiin langsung bergegas kembali. Merapikan beberapa barang yang baru dikeluarkan dan bergegas menuju ke lobi hotel. Di sana sudah ada mobil double cabin yang hendak membawanya pergi. Setelah perjalanan kurang lebih 40 menitan dia tiba di perbatasan Thailand-Myanmar.

Baca Juga: Hari Perkabungan Buruh Internasional, Tempat Kerja Bukan Kuburan
Keluarga Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dari Indramayu Melapor ke Polda Jawa Barat
DATA CATATAN AKHIR TAHUN 2024 LBH BANDUNG: Negara tak Acuh terhadap Permasalahan Hukum yang Merundung Warga

Ilustrasi. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengancam para pencari kerja ke luar negeri. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)
Ilustrasi. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengancam para pencari kerja ke luar negeri. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Terperangkap Kerja Paksa

Rabu, 6 September 2023 malam di Sungai Moei, perbatasan Thailand-Myanmar sudah banyak orang yang mengantre menaiki perahu untuk menyebrang. Keadaanya gelap. Minim penerangan. Rabiin berdiri di antara orang-orang asing, seperti orang Afrika, China, hingga Malaysia.

Tibalah gilirannya untuk menaiki perahu bersama lima orang warga negara asing. Perasaannya was-was. Ada perempuan dan laki-laki di perahunya. Tak ada satu pun yang dikenalinya.

Begitu perahu tiba di sempadan sungai, Rabiin mendapati banyak orang berseragam militer lengkap dengan senjata laras panjang. Perawakan mereka kecil. Rabiin menduga mereka adalah tentara pemberontak Myanmar yang disewa perusahaan.

Diketahui, sejak pandemi Covid-19 politik Myanmar terus bergolak. Dihimpun dari laporan BBC News (Myanmar coup: Aung San Suu Kyi and other leaders detained, 1 Februari 2021) dan Reuters ("Myanmar military seizes power in coup, detains Suu Kyi, 1 Februari 2021), Aung San Suu Kyi, yang menjabat sebagai pemimpin de facto Myanmar, dikudeta oleh junta militer pada 1 Februari 2021.

Peristiwa itu terjadi hanya beberapa jam sebelum parlemen Myanmar yang baru terpilih akan mengadakan sidang pertama setelah pemilu umum November 2020, yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Junta militer, yang dikenal dengan nama Tata Negara untuk Perdamaian dan Keamanan (SPDC), melakukan tindakan tersebut dengan klaim kecurangan dalam pemilu, meskipun tidak ada bukti yang valid mengenai kecurangan tersebut. Sebagai bagian dari kudeta, militer menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan tokoh-tokoh penting lainnya dari NLD. Mereka semua dijadikan tahanan rumah atau dipenjara.

Kudeta ini terjadi setelah beberapa bulan ketegangan antara pemerintah sipil yang dipimpin oleh Suu Kyi dan militer. Sebelumnya, pada 2011, Myanmar telah mulai beralih dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil, meskipun militer tetap memiliki kekuasaan besar, terutama dalam sektor-sektor penting seperti pertahanan, dalam konstitusi yang dibuat oleh militer pada 2008.

Setelah kudeta, militer menyatakan keadaan darurat selama satu tahun dan memimpin negara tersebut dengan langsung mengendalikan pemerintahan. Kudeta ini menyebabkan gelombang protes besar-besaran dari rakyat Myanmar yang menuntut pemulihan demokrasi dan pembebasan Aung San Suu Kyi. Militer merespons dengan kekerasan yang menyebabkan banyak korban jiwa dalam aksi protes, baik dari warga sipil maupun pihak militer.

Sampai sekarang situasi Myanmar masih kacau, banyak tentara yang memberontak, termasuk ketika Rabiin tiba di negeri ini dalam perjalanan mencari kerja. Rabiin menyadari ada yang tidak beres. Namun terlambat. Alih-alih mendapatkan kerja dengan gaji besar dia malah dibawa ke tempat yang mirip camp tahanan.

Ada beberapa gedung menjulang di tanah berhektare-hektare. Tempat itu mirip komplek kampus dan hanya punya satu gerbang yang dijaga militer dan satpam perusahaan.

Dia masuk ke ruangan yang minim pencahayaan. Di sana semua barang pribadinya disita. Termasuk gawai dan dokumen. Dia dipaksa untuk menandatangani surat kontrak. Tak ada satu huruf pun yang dipahami Rabiin. Semuanya menggunakan bahasa Burma. Belakangan Rabiin mengetahui bahwa nama perusahaannya bekerja adalah PT Changi, perusahaan yang berfokus pada penipuan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari korban atau scam.

Selama proses administrasi ia diperlakukan kasar. Bahkan ia sampai hampir tak sadarkan diri. “Pikiran saya, wah ini mati ini,” gumamnya. Mulutnya tak berhenti melantunkan doa meminta keselamatan kepada sang pencipta.

Tibalah dia di salah satu gedung khusus para pekerja. Di sana ada semacam restoran. Rabiin dan ratusan korban disuruh makan. Di sela-sela makan ia dihampiri oleh WNI asal Kalimantan, namanya Yanto. Dialah yang akan jadi leadernya selama bekerja. “Tapi dia enggak banyak omong gitu, kayak ada sesuatu disembunyikan. Tekanan mungkin, ya,” tuturnya.

Menjadi Scammer dan Dikejar Target

Tiga hari pertama ia tidak langsung bekerja. Dia mengikuti semacam pelatihan cara kerja perusahaan. Setelah tahap ini baru ia diberi meja kantor, lengkap dengan komputer dan gawai baru milik perusahaan.

Pertama-tama, dia membuat lima akun palsu Instagram, empat perempuan dan satu laki-laki. Semua foto unggahan Instagramnya hasil nyolong dari akun milik orang lain. “Pokonya nama-nama Cinalah,” terangnya.

Target korban operasinya kebanyakan orang Eropa dan China, meski ada juga orang Indonesia. “Tapi kami disuruhnya tidak ke Indonesia, tapi ke negara lain,” ujarnya. Rabiin sangat piawai membuat akun palsu seolah-olah asli. Dia dilatih cara bikin feeds Instagram agar terlihat menarik.

Dia mencontohkan cara kerja penipuan ini. Pertama-tama akun palsunya akan mengikuti akun target atau calon korban. Lalu memberi komentar ke setiap unggahan korban. “Pemandangan indah sekali, di mana, nih?” atau “Bapak manis deh kayak gitu-gitu loh,” ungkapnya, terkekeh.

Setiap korban memiliki domisili negara yang berbeda. Maka dari itu, Rabiin harus menggunakan bahasa sesuai kewarganegaraan target. “Itu modalnya cuma translate doang,” terangnya. Dari sana juga dia harus cepat mencapai tujuan, yaitu menguras kekayaan korban. Dan ini tidak mudah.

Sehari, Rabiin bisa menarget sampai 200 akun. Tetapi itu pun belum tentu menghasilkan. Dia ditarget sebanyak mungkin untuk mencari keuntungan dari scamnya. Perusahaan tak peduli seberapa banyak akun yang dihubunginya. Mereka hanya ingin hasilnya saja.

Disiksa, Dijual ke Perusahaan Lain

Kekerasan terhadap korban TPPO bukan sekadar mitos. Mereka kerap mengalami siksaan ketika tidak mendapatkan hasil. Tak peduli mereka bekerja berapa lama, para petinggi perusahaan tak akan segan menyiksa korban jika tidak menguntungkan.

Selama lima bulan dikerjapaksakan, Rabiin telah mengalami setruman, tendangan, pecutan, dan lain-lain. Rabiin dianggap tak menguntungkan bagi perusahaan, dianggap tak becus bekerja. Rabiin akhirnya dijual ke perusahaan lain bernama PT Joyke. Lewat perantara tentara dia dikirim melalui jalur darat menggunakan mobil.

Untuk kerjanya? Masih sama. Menjadi scammer. Untungnya dia sudah memiliki akun dari perusahaan sebelumnya. Sehingga Rabiin tak perlu lagi membuat akun palsu Instagram dari awal. Beberapa akunnya bahkan sudah memliki followers yang banyak, begitu pula targetnya.

Di perusahaan keduanya ini Rabiin dipertemukan dengan empat korban asal Indonesia, yaitu Pepen dari Bekasi; Jack dari Lampung; Andi dari Semarang; dan Jo dari Kalimantan. Mereka berlima mendapat satu kamar bersama.

Rabiin bisa bertahan hingga satu tahun lamanya di perusahaan ini. Terkait kantornya, tidak ada yang beda dengan perusahaan sebelumnya. Memiliki satu gerbang dan dijaga tentara serta satpam perusahaan.

Di perusahaan ini Rabiin juga mengalami siksaan. Pertama-tama, setiap beres bekerja seluruh karyawan mesti melakukan dailiy report ke pimpinan perusahaan. Satu-satu dipanggi maju ke depan. Layaknya anak sekolah.

“Kerjanya mah kayak orang bener. Kayak perusahaan biasa, ada laporan, hasil kerja nih nanti dicek,” tandasnya. Ketika tidak menghasilkan keuntungan? “Ya, langsung dihajar.”

Dengan mata memerah, Rabiin menceritakan siksaan yang ia terima bisa berupa cambukan yang jumlahnya tergantung si penyiksa. Kadang 10 atau 20 cambukan, kadang setruman atau pukulan. “Sampai dia puas sajalah,” terangnya. Cara menyiksannya selalu sama. Para korban pasti disuruh menghadap ke belakang untuk memunggungi algojo. “Kita enggak bisa apa-apa,” ujarnya.

Mereka mulai bekerja dari pukul 10 pagi hingga 3 subuh. Terkadang, jika tidak menghasilkan, ia bisa lembur sampai pukul 6 pagi. “Jam 06.00 pagi baru tidur, jam 10.00 bangun lagi begitu terus,” ujarnya.

Rabiin tak pernah merasakan hari libur. Layaknya robot, dia terus bekerja setiap hari. Di pikirannya hanya satu; bertahan dan selamat. “Ya itu momen-momen terkekangnya itu yang enggak bisa kita lupakan,” tuturnya.

Tidak ada jalan keluar dari siksaan tersebut. Kalaupun nekat untuk kabur, Rabiin harus menghadapi tentara dengan moncong senjata. Kapan saja mereka siap menenmbak para pembangkang.

Sebetulnya ada dua cara untuk keluar dengan selamat dari penjara berkedok perusahaan ini. Pertama, tuker kepala. Jadi si korban harus mencari pengganti dirinya. Kedua, membayar uang kompensasi. “Kalau mau pulang ditawarin, bayar 5 ribu-8 ribu dollar bayarnya,” terangnya.

Selama bekerja ia tak pernah mengirimkan uang kepada keluarganya. Kalau pun dapat uang, tidak ada cara untuk mengirimnya. Rabiin bahkan jarang belanja di toko yang tersedia di perusahaan. Dia selalu mengandalkan pasokan makanan yang sudah disediakan perusahaan.

Pulang

“Indonesia, mau pulang? Cepat! Kamu bangun, kemas-kemas,” perintah salah satu pimpinan perusahaan kepada Rabiin saat dia sedang di kamarnya. Di sana  selama itu dia dianggap tak bernama. Orang perusahaan memanggilnya dengan nama negaranya, Indonesia.

Rabiin tak percaya dengan perintah pihak perusahaan. Bagaimana mungkin ia diminta pulang di tempat kerja paksa. Terlebih sebelumnya, Andi, teman satu kamar Rabiin, sempat dibuang dari perusahaanya karena sering sakit. Perusahaan menganggap Andi tak berguna.

Namun, Rabiin dan teman sekamarnya akhirnya berkemas dengan rasa heran dan curiga. Ia tiba di luar gedung dan mendapati banyak orang TPPO berkumpul di dekat gerbang.

Rabiin dan teman-teman juga dikagetkan dengan cek-cok antara korban dan tentara pemberontak Myanmar. Rabiin dan kawan-kawan akhirnya kembali lagi ke kamarnya. “Saya pikir bakal dieksekusi,” tuturnya.

Padahal, di saat cek-cok selesai para korban TPPO langsung diangkut mobil secara bergantian. Beruntungnya ada WNI lain asal Medan yang melaporkan bahwa Rabiin dan ketiga rekannya kembali ke kamar.

Petugas dari perusahaan kemudian menyusul kembali Rabiin dan kawan-kawan agar ikut rombongan. “Saya dijemput lagi. Go go go, pergi cepat ,” ungkap petugas ditirukan Rabiin. “Akhirnya masih untunglah kita mau ketinggalan, mau tertinggal keluar,” katanya.

Rabiin bersama rekannya dikirim ke KBRI di Thailand. Mereka akan menunggu jadwal keberangkatan pulang menggunakan pesawat. Rabiin menduga ia bisa pulang berkat campur tangan militer Thailand dan China.

Perjuangan Sang Istri

Selama terjebak perbudakan modern di Myanmar, keinginan pulang ke kampung halaman sama sakitnya dengan menanggung siksaan. Rabiin merindukan istrinya di rumah.

Dua minggu setelah menjalani kerja paksa ia mengabari kepada istrinya bahwa dirinya menjadi korban korban TPPO. Tidak mudah menjalin komunikasi dengan istrinya. Ia harus sembunyi-sembunyi. Biasanya dia memberikan kabar setelah beres bekerja sekitar jam 2-3 pagi. Apalagi ia tinggal di kamar sempit dan harus selalu mengecek situasi sekitar karena khawatir ada petugas yang memergokinnya bermain gawai.

Selama Rabiin diperbudak di Myanmar, Yuli Yasmi, sang istri, tentu dilanda cemas tak terkira. Setahun setenga dia khawatir akan keselamatan suami.

Begitu mengetahui Rabiin menjadi korban TPPO, dia berusaha berjejaring dengan berbagai lembaga pemerintah ataupun nonpemerintah. Dia banyak berkenalan dengan para penyintas TPPO dan keluarga korban lainnya.

Pada Kamis, 11 Juli 2024, Yuli melaporkan kasus yang menimpa suaminya ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. Dia meminta agar pemerintah segera mengusut dan memulangkan atau mengevakuasi para korban di Myanmar. 

Yuli dan solidaritas berusaha mendorong isu TPPO yang menimpa suaminya agar sampai ke telinga pemerintah. Dia berperan dalam penyebaran video permintaan tolong suaminya.

“Di TikTok kan sampai viral. Nah, akhirnya ya lumayan menjadi perhatian publik dan terutama pemerintah, ya. Tapi belum kunjung juga datang datang pertolongan gitu,” ujar Yuli, kepada BandungBergerak.

Bersyukur sekarang dirinya bisa lagi tersenyum lega. Sang suami yang dikhawatirkan telah kembali ke pelukannya. Dia dapat kembali berkumpul dengan keluarga.

Rabiin bangga dengan perjuangan istrinya selama ini.

“Saya tuh terharu dan kagum kepada istri saya. Dia terus berjuang untuk memulangkan saya,” tuturnya.

Desakan Membogkar Pelaku TPPO

Data korban TPPO yang masih tertinggal di Myanmar masih simpang siur. Menurut Harold Aaron, kuasa hukum Keluarga Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan Siber, ada 500an orang yang masih tertahan di camp militer di Myanmar. Dan menunggu untuk dipulangkan,” ucap Aaron, kepada BandungBergerak, Jumat, 7 Maret 2025.

Mengutip dari laman katalog.data.go.id, data penanganan TPPO oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), pada tahun 2023 Polda di seluruh Indonesia menyebut ada 1.061 kasus. Paling banyak laporan TPPO berada di Polda Jawa Barat dengan 107 kasus. Disusul Polda Kepulauan Riau sebanyak 91 kasus.

Bukan tanpa alasan Jawa Barat menduduki peringkat pertama. Mengutip dari laman databoks, Indramayu menjadi kabupaten yang menduduki peringkat pertama pekerja migram pada tahun 2023, yakni 19.178 orang, disusul Lombok Timur 13.111 orang, dan Cilacap 11.344 orang.

Harold Aaron menjelaskan, sindikat yang merekrut korban memanfaatkan kebutuhan ekonomi dan kurangnya informasi tentang pekerjaan di luar negeri. Mereka menjanjikan gaji besar dan pekerjaan mudah, namun setibanya di Myanmar, para korban dipaksa bekerja dan menjadi korban perbudakan siber.

Aaron menyatakan, kebutuhan orang untuk mencari uang semakin tinggi, sementara kepastian pekerjaan semakin sulit didapat, dan fleksibilitas tenaga kerja semakin besar. Ia mengapresiasi upaya pemerintah untuk bekerja sama dengan negara tetangga dalam penempatan tenaga kerja, tetapi menegaskan bahwa pemerintah harus memastikan adanya perlindungan dan keamanan bagi WNI yang bekerja di luar negeri.

Pemerintah harus menjamin keamanan dan memberikan perlindungan, bahkan jika terjadi masalah di negara tempat mereka bekerja, ujarnya. Aaron juga mengkritik lambatnya proses pemulangan para korban, yang menurutnya terkait dengan urusan politik antarnegara.

"Ini masalah politik antarnegara. Kami berharap semua yang dipulangkan mendapatkan perlindungan dan kejelasan kapan mereka akan kembali," katanya.

Aaron juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap dan memproses sindikat yang terlibat dalam perekrutan tenaga kerja ilegal ini. Ia menyebutkan ada tiga kasus di Jawa Barat dengan identitas pelaku yang sudah diketahui.

Aaron berharap kasus ini mendapat perhatian serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum, serta mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dan memverifikasi informasi sebelum menerima tawaran pekerjaan di luar negeri.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Yopi Muharamatau artikel-artikel tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//