• Opini
  • Quo Vadis Kepemimpinan NGO di Indonesia?

Quo Vadis Kepemimpinan NGO di Indonesia?

Salah satu tantangan yang dihadapi organisasi non-pemerintah (NGO) di Indonesia adalah menciptakan pemimpin lini kedua (capable second line-leaders) yang cakap.

Martin Dennise Silaban

Peneliti SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (UGM)

Aksi Indonesia Gelap dari elemen mahasiswa dan masyarakat sipil di gedung DPRD Jabar, Bandung, Jumat, 21 Februari 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

14 Maret 2025


BandungBergerak.id – Kepemimpinan dalam organisasi non-pemerintah (NGO) sangat jarang untuk dibahas.  Sebagian besar kajian dan teori kepemimpinan yang ada sering kali berakar pada sektor bisnis, politik, dan militer yang membuat pemahaman banyak orang tentang bagaimana pemimpin bekerja dan apa yang memotivasi mereka sering kali tergantung pada peran dan karakter pemimpin dalam bisnis, politik, atau sektor militer.  Perspektif dari sektor bisnis juga akhirnya semakin menjadi acuan dan cara untuk menganalisis, memahami, dan meningkatkan kepemimpinan dalam masyarakat.

Padahal, sektor NGO memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Dalam situasi ini, ada kebutuhan yang mendesak untuk menggali lebih dalam dan lebih cermat mengenai bagaimana kondisi kepemimpinan NGO di Indonesia? Tipe kepemimpinan NGO seperti apa yang cocok dengan mempertimbangkan tantangan sosial, perubahan nilai budaya, dan globalisasi yang terus terjadi?

Baca Juga: Kualitas Demokrasi di Indonesia Menurun, Budaya Berdemokrasi Masyarakat Sipil Perlu Diperkuat
Merawat Perjumpaan, Merebut Ruang Gerak Masyarakat Sipil di Jawa Barat
Menanti Napas Baru untuk Kemandirian Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia

Second Line Leaders vs Second line Managers

NGO merupakan organisasi yang digerakkan oleh nilai (value-driven organizations), di mana kepemimpinan dalam NGO sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipegang teguh dalam organisasi tersebut (Arora, 2012). Nilai-nilai ini bukan hanya menjadi dasar bagi misi dan visi organisasi, tetapi juga menjadi pendorong utama dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pemimpin dan anggota.

Hal ini jelas berbeda dengan organisasi di sektor bisnis, di mana fokus utama adalah pada peningkatan kompetisi dan pencapaian nilai ekonomi. Di sektor bisnis, kepemimpinan lebih banyak diarahkan untuk menciptakan keuntungan finansial, serta menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Sementara itu, sektor publik memiliki agenda yang lebih mengarah pada pencapaian tujuan politik dan kebijakan tertentu.

Namun, hingga saat ini, banyak NGO yang dihadapkan dengan masalah klasik yaitu transisi kepemimpinan dan regenerasi organisasi (Leadership Transition and Organisational Regeneration). Persoalan ini terjadi di berbagai NGO di Indonesia yang dihadapkan pada tantangan besar dalam menciptakan pemimpin yang tepat untuk memastikan bahwa nilai-nilai dan budaya organisasi tetap hidup dan berlanjut meskipun terjadi perubahan kepemimpinan dari pemimpin-pendiri ke second line leaders.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi NGO di Indonesia adalah menciptakan pemimpin lini kedua (capable second line-leaders) yang cakap. Pemimpin lini kedua ini harus memiliki kemampuan untuk mengambil alih peran kepemimpinan pada masa depan, memastikan proses keberlanjutan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi terutama di era yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) ini.

Namun, yang sering terjadi di banyak NGO adalah terbentuknya manajer lini kedua (second-line manager) yang lebih fokus pada tugas-tugas administratif dan operasional, daripada memiliki kemampuan kepemimpinan strategis yang bisa memperkuat keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang. Fenomena ini tidak jarang terjadi, dan terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut.

Salah satu alasan utama adalah fokus jangka pendek yang lebih dominan dalam operasional NGO. Banyak organisasi lebih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan operasional sehari-hari, seperti pengelolaan anggaran, pelaporan kepada donor, dan pelaksanaan program. Perhatian terhadap pengembangan pemimpin yang memiliki visi strategis dan mampu membawa organisasi ke arah jangka panjang sering kali terabaikan. NGO yang hanya bergantung bisnis proposal dan berharap pada keberlanjutan donor cenderung mengutamakan solusi cepat dan praktis, daripada memperhatikan pengembangan kepemimpinan di lini kedua.

Selain itu, keterbatasan sumber daya yang dimiliki NGO sering kali menjadi penghambat pengembangan kepemimpinan. Banyak NGO yang beroperasi dengan anggaran terbatas dan jumlah staf yang sedikit dan kadang melakukan berbagai pekerjaan di waktu yang bersamaan, sehingga mereka lebih cenderung mengalokasikan sumber daya untuk kebutuhan program dan operasi sehari-hari. Pengembangan kepemimpinan yang memadai, seperti pelatihan atau mentoring yang lebih mendalam, memerlukan biaya dan waktu yang tidak selalu tersedia. Sebagai hasilnya, para second-line managers seringkali hanya diberikan pelatihan yang berfokus pada tugas teknis atau administratif, bukannya pelatihan kepemimpinan yang dapat mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan strategis yang berdampak pada kelangsungan organisasi.

Faktor lainnya yaitu kurangnya perencanaan suksesi dan pengembangan kepemimpinan juga menjadi masalah utama. Banyak NGO yang tidak memiliki sistem yang jelas untuk mengidentifikasi dan menyiapkan pemimpin masa depan.  Sejauh ini sebagian besar NGO memiliki pandangan yang miring tentang suksesi. Hal ini juga sangat bergantung pada inisiatif pribadi (dari pemimpin-pendiri). Belum banyak diskusi terbuka yang dilakukan di kalangan NGO dan apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kepemimpinan lini ke dua. Tanpa adanya rencana yang matang untuk merencanakan suksesi atau pengembangan lini kedua, organisasi cenderung menghasilkan manajer yang lebih terfokus pada operasional daripada pemimpin yang dapat membawa perubahan dan inovasi dalam jangka panjang. Hal ini mengakibatkan banyak pemimpin yang hanya mampu menjalankan tugas-tugas rutin tanpa memiliki visi strategis untuk masa depan.

Tidak hanya itu, budaya organisasi yang terpusat pada pemimpin-pendiri juga menjadi salah satu penghalang. Banyak NGO yang masih bergantung pada sosok pemimpin utama yang karismatik dan memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Ketergantungan ini menciptakan hambatan bagi perkembangan kepemimpinan di lini kedua, karena jarang diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif strategis atau memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, mereka terjebak dalam rutinitas administratif dan tidak berkembang menjadi pemimpin yang dapat mendorong visi organisasi.

Ketimpangan antara visi untuk mempersiapkan second-line leaders dan kenyataannya yang menghasilkan second-line managers merupakan salah satu masalah utama yang dapat mengancam keberlanjutan organisasi NGO. Visi awal untuk menciptakan pemimpin-pemimpin di lini kedua yang dapat mengambil alih dan memperkuat arah strategis organisasi sering kali terhenti pada pengembangan manajer yang lebih fokus pada aspek administratif dan operasional daripada kemampuan untuk berpikir secara strategis. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan yang besar dalam kemampuan kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi dan menurunkan efektivitas organisasi dalam menghadapi tantangan jangka panjang.

Akibat dari ketimpangan ini, banyak NGO yang kesulitan dalam menjaga keberlanjutan organisasi mereka hingga di titik paling ekstrem akhirnya menutup organisasi. Mereka tidak memiliki pemimpin yang siap untuk mengisi posisi strategis pada masa depan, sehingga organisasi menjadi bergantung pada pemimpin-pendiri yang karismatik dan memiliki pengaruh besar dalam setiap keputusan penting. Tanpa adanya second-line leaders yang mampu mengisi kekosongan tersebut, organisasi bisa mengalami krisis kepemimpinan yang merugikan organisasi dan juga sektor masyarakat sipil.

Menemukan Model Kepemimpinan NGO di Indonesia

Sangat penting bagi NGO untuk menciptakan pemimpin yang memiliki visi, keterampilan komunikasi, dan kemampuan untuk membimbing, menginspirasi, serta mengembangkan kapasitas kepemimpinan pada tingkat yang lebih rendah dalam organisasi. Pemimpin lini kedua yang cakap akan memastikan bahwa keberlanjutan visi, misi dan nilai bisa terjadi meskipun terdapat perubahan dalam kepemimpinan.

Selain itu, penting juga agar organisasi tidak hanya mengandalkan satu atau dua pemimpin utama agar tidak berisiko kehilangan arah saat terjadi pergantian kepemimpinan. Pengembangan second-line leaders juga harus diikuti dengan pengembangan kepemimpinan di berbagai tingkat. leadership should multiply leadership atau kepemimpinan harus menggandakan kepemimpinan. Dengan menciptakan lebih banyak pemimpin di berbagai tingkatan, NGO dapat memastikan bahwa organisasi tidak hanya tetap berjalan dengan lancar, tetapi juga berkembang dengan adaptif terhadap perubahan yang terjadi (Arora, 2012).

Kepemimpinan yang tersebar di berbagai level memungkinkan organisasi untuk lebih responsif terhadap tantangan yang ada, meningkatkan kolaborasi antar staf, serta menciptakan rasa kepemilikan yang lebih kuat terhadap visi dan misi organisasi. Selain itu, dengan adanya pemimpin yang berkembang di berbagai tingkatan, organisasi akan lebih siap menghadapi ketidakpastian dan perubahan, seperti perubahan politik, ekonomi, atau sosial. Hal ini juga sekaligus menekankan pentingnya pengembangan kapasitas staf di semua level organisasi secara berkelanjutan yang bertujuan untuk mendorong delegasi yang lebih besar dalam hal kewenangan dan tanggung jawab, agar memungkinkan staf untuk memiliki kontrol lebih besar atas pekerjaan mereka dan mengambil keputusan yang lebih mandiri.

Selain itu, dalam proses pengembangan second-line leaders, kepemimpinan di NGO haruslah fleksibel dan mampu beradaptasi seiring dengan perubahan zaman serta kebutuhan yang berkembang dalam organisasi. Tidak ada jaminan bahwa pemimpin dengan karakteristik yang sama seperti yang ada saat ini akan tetap relevan di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kepemimpinan dalam NGO dapat berkembang sesuai dengan dinamika yang ada termasuk perubahan sifat masyarakat seiring perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi.

Kepemimpinan yang tidak responsif dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dapat menjadi hambatan besar bagi kemajuan dan perkembangan suatu organisasi, terutama dalam konteks NGO. Jika pemimpin dalam sebuah NGO tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal maupun internal, maka organisasi tersebut akan kesulitan untuk merespons kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks ini, gaya kepemimpinan di NGO tidak boleh bersifat kaku atau tetap (monolitik)(Siddiqi, 2001). Sebaliknya, kepemimpinan haruslah situasional, yang berarti pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada dan merespons perubahan sesuai dengan konteks dan kondisi yang dihadapi oleh organisasi.

Fleksibilitas dalam kepemimpinan ini sangat penting karena tantangan yang dihadapi oleh NGO tidak pernah statis. Setiap perubahan sosial, ekonomi, maupun politik membutuhkan respons yang cepat dan efektif agar organisasi tetap relevan dan dapat terus memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Dengan mengadopsi kepemimpinan yang fleksibel dan adaptif, NGO dapat memastikan bahwa mereka dapat bertahan dalam menghadapi perubahan dan terus memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkembang. Kepemimpinan yang demikian memungkinkan NGO untuk tetap efisien, inovatif, dan efektif dalam menghadapi tantangan, serta memastikan keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang.

Dalam konteks Indonesia, pengembangan kepemimpinan di NGO juga seharusnya tidak hanya mengadopsi pendekatan umum, tetapi juga memperhatikan pendekatan khusus budaya (Culture-Specific Approach) (Murniati, dkk., 2017). Mengingat bahwa setiap negara memiliki dinamika sosial dan budaya yang unik, penting bagi organisasi untuk merancang program pelatihan kepemimpinan yang tidak hanya berdasarkan teori universal, tetapi juga disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma budaya setempat. Dalam hal ini, gaya kepemimpinan Indonesia yang sangat menekankan pada hubungan antarindividu dan nilai sosial harus menjadi landasan dalam merancang dan melaksanakan program kepemimpinan. Pendekatan ini memastikan bahwa pemimpin yang berkembang tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain dalam lingkup pekerjaan mereka.

Selain itu, untuk mempersiapkan second-line leaders, sangat penting untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berbasis pada proses pengembangan kepemimpinan (Process-Oriented Leadership Development). Pendekatan ini menekankan pada proses berkelanjutan dan pertumbuhan individu secara bertahap, bukan hanya hasil akhir yang instan. Gaya kepemimpinan Indonesia, yang lebih berbasis pada hubungan sosial dan pembinaan pribadi, sangat mendukung pengembangan kepemimpinan melalui metode-metode yang bersifat personal dan relasional, seperti mentoring dan coaching. Dalam metode ini, pemimpin yang lebih senior berperan sebagai pembimbing yang tidak hanya memberikan arahan teknis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai, prinsip-prinsip etika, dan pemahaman tentang dinamika sosial yang relevan dalam konteks organisasi dan masyarakat.

Melalui pendekatan berbasis proses ini, second-line leaders tidak hanya akan siap secara teknis untuk memimpin, tetapi juga akan memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai organisasi dan konteks sosial budaya yang harus mereka jaga. Hal ini akan memperkuat keberlanjutan organisasi NGO di Indonesia, karena kepemimpinan yang berakar pada budaya dan hubungan yang mendalam dengan masyarakat akan lebih mudah diterima dan dihargai. Dengan demikian, proses pengembangan kepemimpinan yang holistik dan kontekstual ini akan memastikan bahwa para pemimpin masa depan di NGO tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang dan membawa perubahan yang positif dalam organisasi dan sektor masyarakat sipil di Indonesia.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang sosial dan politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//