Napak Tilas Lakon Wayang dalam Festival Musik Payday Fest 2025
Menyatukan lakon wayang kulit dan wayang golek dari dalang Batara Sena Sunandar Sunarya memuncaki Payday Fest 2025 yang menutup rangkaian Dies Natalis ke-70 Unpar.

Laurentius Setyo Aditia
Lulusan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
18 Maret 2025
BandungBergerak.id – Penampilan Wayang Kulit dan Wayang Golek dari dalang Batara Sena Sunandar Sunarya turut memeriahkan acara Festival Musik “Payday Fest 2025” di Lapangan Wiradhika, Secapa AD Bandung, pada hari Sabtu (15/02/2025). Upaya pengenalan Wayang di dalam konser di tengah tantangan minat kaum muda yang semakin memudar.
Musik adalah salah satu aspek penting dalam kebudayaan suatu masyarakat. Musik dapat mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan identitas budaya suatu masyarakat. Lebih dari itu, musik dapat menjadi penghubung antara masyarakat yang berbeda, baik dari identitas dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Semua dipersatukan dengan musik dan budaya di sini berperan penting bagaimana identitas dan nilai suatu masyarakat bisa berkembang atau kembali mengingat bagaimana menjadi masyarakat yang berbudaya sebagaimana mestinya.
Dalang Batara Sena bersama tim dari Napak Jagat Pasundan (NJP) turut berkontribusi dalam konser musik Payday Fest. Menyatukan tampilan wayang kulit dan wayang golek untuk memberikan showcase semangat lokal ke dalam tataran global yang diinisiasi oleh Unpar dalam euforia perayaan dies natalis ke-70. Ikon visual wayang yang diwakilkan oleh wayang Semar, Dewi Setia Ragen, Cepot, Dawala, dan Gareng, seakan hidup memberikan narasi tersendiri untuk direfleksikan kepada para penonton konser Sabtu lalu.

Baca Juga: Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Pesona Seni dan Budaya di Kampung Giriharja, Menyelami Keindahan Wayang Golek dan Lukisan di Bandung Selatan
Unpar Mengadakan Kelas Terbuka Seni dan Budaya, Unpas Menggelar Pasundan Education Week
Kolaborasi Budaya dalam Konser Musik
Bicara mengenai pagelaran wayang, mungkin tidak sedikit dari kita memikirkan pementasan wayang dengan durasi semalam suntuk, sesi yang sangat segmented, dan penuturan yang terkadang asing di telinga. Berbeda di acara Payday Fest 2025, dalang Batara Sena memberikan visual mengenai ikon-ikon wayang yang menjadi key visual acara konser tersebut dengan sangat sederhana, mudah dimengerti dan tentunya memukau penonton yang tidak menyangka akan ada tampilan sematan yang tradisional.
Tampilan wayang Batara Sena terdiri dari 2 babak. Babak pertama dimunculkan setelah Bakda Isya dengan menampilkan video wayang kulit di layar panggung. Video tersebut menceritakan asal muasal Rancasan, Antaga, Ismaya dan Manikmaya yang lahir dari sebuah telur di alam Mayapada atau dunia para dewa. Kelahiran tersebut menimbulkan perdebatan di antara mereka untuk memperebutkan status seorang Kakak, hingga terjadillah pertengkaran. Dalam pertengkaran tersebut menimbulkan korban jiwa, yaitu Rancasan yang terbelah menjadi dua.
Ismaya dan Antaga dihukum untuk turun ke Marcapada atau dunia tengah. Ismaya berpamitan dengan istrinya yang bernama Kanastren dan berpesan agar menguji kesetiaan Ismaya karena Marcapada adalah tempat dunia tipu daya. Saat mereka turun ke Marcapada, mereka kembali bertengkar hingga terjadi lomba memakan gunung. Dalam perlombaan tersebut Ismaya berhasil mengalahkan Antaga yang tidak berhasil memakan gunung secara utuh sehingga mulutnya menjadi lebar dan berubah menjadi Togok. Di samping itu, kemenangan Ismaya membuat perutnya menjadi buncit dan berubah wujud menjadi Semar. Karena Semar menjadi seorang pemenang, dari bayangannya Semar itulah terwujud tiga orang anak, yang kita kenal sebagai Cepot, Dawala, dan Gareng. Permulaan perjalanan Semar dan munculnya tiga orang anak yang akan menemani Semar itulah yang disebut oleh Batara Sena sebagai Infinite Journey.
Cerita tidak selesai begitu saja. Penampilan pembukaan wayang dari Batara Sena berlanjut dengan menceritakan balas dendam Rancasan yang telah dibunuh oleh Ismaya dan Antaga. Kini, Batara Sena beralih dari Wayang Kulit menjadi Wayang Golek. Menampilkan wayang-wayang yang seram, penjelmaan wayang monster dari Madyapada atau dunia gaib, Batara Sena membawakan pementasan wayang golek secara langsung. Alih-alih Batara Sena membuat narasi ingin mengumpulkan pasukan wayang dunia gaib untuk balas dendam, ternyata pasukan yang dipanggil itu adalah Band Kuburan. Dari situ selama 45 menit, dalang Batara Sena berkolaborasi dengan Band Kuburan, masuk ke dalam set list mereka sambil membawakan beberapa bobodoran sunda.
Babak pertama pun selesai, seakan terus menarik perhatian penonton, ikon wayang terus digaungkan baik dari visual bumper panggung, penyebutan alur acara oleh MC, hingga visual pemanggilan artis-artis. Puncaknya ada dalam babak kedua, pada saat Brand Moment sebelum menampilkan artis utama. Karya Batara Sena kembali ditampilkan dengan konsep penayangan video wayang kulit. Akan tetapi, bergabung juga Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Unpar dan nayaga dari Lingkung Seni Tradisional (LISTRA) Unpar, turut memeriahkan pementasan wayang tersebut. Dengan durasi 4 menit, kolaborasi karya Batara Sena, PSM dan LISTRA Unpar di Brang Moment tersebut menceritakan kisah cinta Semar dan Dewi Sutiragen yang akhirnya bertemu di Marcapada. Seraya mengambil perhatian penonton tampilan kolaborasi tersebut mengantarkan pula tampilan artis utama dari Payday Fest di puncak susunan acara.

Semangat Unpar dalam Lakon Wayang
Pada 17 Januari 2025 lalu, Unpar merayakan hari jadinya yang ke-70 tahun. Mengusung tema, Infinite Journey, seluruh sivitas akademik Unpar diajak untuk merefleksikan perjalanannya di tengah keragaman budaya yang ada di antara masyarakat. Infinite Journey dalam tema ini menggambarkan Unpar yang sedang dan akan selalu bertransformasi untuk mencapai puncak dan melanjutkan perjalanan lagi untuk mencapai puncak baru.
Acara Payday Fest selain sebagai penutup rangkaian Dies Natalis ke-70 Unpar, acara ini merupakan festival musik pertama yang diadakan dan diprakarsai oleh universitas di Bandung. Acara ini menjadi buah dari kolaborasi seluruh civitas Unpar. Payday Fest mendefinisikan ulang kolaborasi antara seluruh pihak yang terlibat di Unpar, baik itu mahasiswa, dosen, staf, alumni, mitra, dan yang lainnya. Penampilan dari artis nasional yang merupakan alumni dari Unpar.
Lakon wayang anak-anak semar, yaitu Gareng, Cepot, Dawala dengan karakteristik masing-masing menunjukkan dinamika dan keragaman dalam perjalanan komunitas Unpar yang telah berusia ke-70 tahun. Selain itu, ketiga wayang anak-anak Semar tersebut menunjukkan dinamika kehidupan secara umum dan beragam. Hal yang menarik juga lakon pasangan wayang Semar dan Dewi Setia Ragen memiliki cerita yang sarat akan romansa. Karakter Semar adalah sosok Dewa yang turun ke bumi dan melakukan perjalanan sebagai rakyat jelata. Dia memiliki sifat arif bijaksana, bersama Dewi Setia Ragen yang merupakan Putri Raja yang rela meninggalkan kerajaannya demi menjadi Istri Semar, menggambarkan cinta kasih, kesetiaan, fondasi yang solid dan dukungan dalam perjalanan panjang.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang seni dan budaya