100 Hari Kerja Bupati Labusel, Mau Membangun Apa?
Menilai pemimpin dari sejak 100 hari kerja sudah menjadi budaya dalam demokrasi.

M Hakim
Pegiat Ruang Ekspresi (Klub Belajar Sosial-Politik) dapat dihubungi di Instagram @naufihakiim atau di X @Nlmuhammad
18 Maret 2025
BandungBergerak.id – Pada 20 Februari 2025, Fery Syahputra Simatupang sudah resmi dilantik sebagai Bupati Kab. Labuhanbatu Selatan (Labusel) periode 2025-2030 oleh Presiden Prabowo. Dengan demikian tugas untuk membangun Labusel dengan sendirinya akan dilaksanakannya.
Tentu dalam aspek "politik modern" kita sudah mengenal fatsun (etika politik) 100 hari kerja dari setiap pemimpin –sekarang. Mulai dari presiden, gubernur, bupati, dll.
Fatsun tersebut bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan ada sejarahnya. Dulu saat masa pemerintahan Franklin D. Roosevelt (FDR) pada 24 Juli 1933, program 100 hari pertama kepemimpinan seorang presiden AS dijadikan sebagai tolok ukur awal efektivitas presiden (pemimpin) baru. Dengan demikian, hal itu kini sudah menjadi budaya di dalam demokrasi.
Seiring berkembangnya jaman, maka fatsun politik itu kian lama kian populer digunakan.
Misalnya dalam ruang publik sekarang, mulai dari warung kopi sampai media sosial (Instagram, Facebook, Tiktok, Youtube, dll), publik yang mencermati politik akan gegap gempita dalam memberikan pandangannya terkait suatu kepemimpinan politik yang sudah mencapai usia 100 hari kerja. Terbaru, Prabowo-Gibran, juga mengalami hal yang demikian.
Jadi, sebelum memasuki 100 hari kerja kepemimpinan Fery, langsung saja kita aktifkan dialektiknya dari sekarang, sekaligus meletakkan suatu "pengantar kritis" untuk kepemimpinannya, daripada menanti di hari tersebut.
Mengapa? Soalnya bila kita memang membaca teks dan mencermati politik (kekuasaan) dari sudut pandang sejarah, maka kita akan berefleksi bahwa kekuasaan itu memang cenderung korup. Seperti yang sudah diungkapkan oleh seorang sejarawan politik dari Italia, yakni Lord Acton bahwa "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely."
Lagian ketika suatu kekuasaan baru saja dilantik, saat itu juga publik diperkenankan untuk menyampaikan aspirasinya. Bahkan aspirasi yang paling absurd sekalipun. Itulah demokrasi.
Baca Juga: Mencari Sosok Kepala Daerah yang Layak
Pilkada Labusel, Kita Mau Menagih Kebijakan Apa?
Bahasa Kekuasaan
Ketika kekuasaan mengucapkan bahasa, maka dengan sendirinya mereka sedang menyusun sebuah siasat. Soal apa siasatnya, maka tugas publik lah untuk mencermatinya dengan lensa ilmu pengetahuan.
Bahasa di dalam politik adalah gudang ingatan. Di situ, ada kengerian sekaligus harapan. Namun tragisnya, sejarah lebih sering membawanya pada kengerian daripada merealisasikan harapan atau janji-janjinya saat waktu kampanye ataupun sudah berkuasa.
Ambil contoh konkret nan besar, dulu Napoleon, Hitler, Mussolini, Stalin, Soeharto, dipilih melalui mekanisme demokrasi. Kampanye mereka sangat luar biasa persuasifnya –sampai-sampai publik tersihir sekaligus menjadi tulus mendukung mereka untuk menjadi pemimpin. Bahkan saat itu publik bersedia mengeluarkan uang dari kantongnya, supaya perjuangan politik dari para pemimpin itu berlangsung lancar.
Lalu bagaimana politik sekarang? Lihat saja hasil penelitian dari Burhanuddin Muhtadi dalam Kuasa Uang (2020). Di situ ia menyingkap bahwa Indonesia berada diposisi ketiga terbesar di dunia dalam laku politik uang (buying vote).
Artinya politik kita sekarang sudah hancur praktiknya. Karena yang mengambil alih permainan ialah para primitif politik (transaksi atas dasar uang, perdukunan, kesolehan, moralitas komunal).
Dengan demikian membuat kuantitas politik kita menjadi medioker. Akibatnya penyaluran keadilan ke rumah publik yang dipinggirkan melalui politik, sekarang sudah langkah terjadi.
Mau Bangun Apa?
Dalam proses Fery menjadi Bupati Labusel, tentu ia tak lepas dari kondisi politik uang. Seorang warga Kotapinang berinisial J (44 tahun), mengatakan, “Grupnya memberi—bagi siapa yang mau mencoblos mereka di Pilkada 2024 itu, Kim.”
Namun dalam tradisi kritis, tentu saya dilatih untuk tidak langsung menerima mentah-mentah perkataan orang begitu saja. Mestilah diverifikasi dulu. Karena itu saya langsung memverifikasinya. Hasilnya apa? Silakan direfleksikan sendiri. Namun hasilnya itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, mungkin kalian dapat mengartikulasikannya.
Lagi pula persoalan politik uang ini bukanlah persoalan partikular yang terjadi di Labusel. Namun sudah menjadi persoalan umum di Indonesia. Makanya melihat politik sekarang sungguh sangat mengerikan praktiknya. Sebab politik sekarang bukan lagi mengedepankan gagasan, melainkan mengedepankan isi tas. Demikianlah realitasnya.
Sesungguhnya saya bukan dalam posisi pesimis ataupun optimis dalam mencermati kepemimpinan Fery. Melainkan saya dalam posisi determinisme. Artinya persoalan hari ini adalah hasil dari masa sebelumnya.
Oleh karenanya, apa yang mau dibangun Fery dalam kepungan politik uang sekarang ini? Seriuskah ia mau membangun Labusel? Atau jangan-jangan hanya sebatas "retorika politik" saja? Semoga saja tidak, meski entah mengapa nalar saya menolak itu.
Lagian soal bermain narasi politik di Labusel bukanlah sebuah kamus yang baru. Sebelumnya kita sudah mengalami betapa sembrono Edimin (2021-2024) dalam mengimplementasikan narasi politiknya: "Perubahan." Hasilnya apa? baca secara terbalik, yakni "Perusakan."
Apa faktanya? Dinas Pendidikan, Kesehatan, Dukcapil, DPMPTSP, dan 2 Puskesmas lainnya mendapatkan nilai jelek dari Ombudsman Sumatera Utara dalam hal pelayanan publik pada tahun 2022. Belum lagi soal demokrasi di Labusel, dalam aspek pilkadesnya, beliau tampak amnesia. Di era ia, praktik Pj. Desa membusuk lama-lama memimpin. Sehingga membuat hak masyarakat untuk memilih pemimpinnya melalui mekanisme demokrasi menjadi absen selama hampir 4 tahun.
Pada akhirnya, semoga saja kepemimpinan Fery ini kuat dalam alur pikir yang "membangun" dengan basis ilmu pengetahuan. Bukan sebaliknya, justru "menghancurkan” Labusel dengan cara sembrono juga. Semoga ia lebih meresapi suara publik yang terpinggirkan ketimbang meresapi suara dari para kartel politik.
Semoga di "100 hari" kerja Fery, ia sudah bisa memberikan distingsi yang tegas dalam membuat "kebijakan publik" dari para bupati yang pernah ada. Semoga saja.
Meski ini hanya soal bupati, namun ini berharga dan penting seperti kepemimpinan dari seorang presiden. Soalnya mereka akan sama-sama menjadi guru keadilan dan kemajemukan bagi publik yang dinaunginya. Apalagi secara konstitusional, Labusel adalah wilayah yang resmi dari bagian Indonesia. Artinya ketika Labusel memang dibangun, maka itu dengan sendirinya sedang membangun Indonesia. Sebaliknya juga begitu.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang politik