• Opini
  • Mencari Sosok Kepala Daerah yang Layak

Mencari Sosok Kepala Daerah yang Layak

Memilih pemimpin dalam pilkada artinya memilih delegasi. Di situ ada tarung akal yang metodis. Bukan tarung akal-akalan, apalagi tarung ketampanan dan kecantikan.

M Hakim

Pegiat Ruang Ekspresi (Klub Belajar Sosial-Politik) dapat dihubungi di Instagram @naufihakiim atau di X @Nlmuhammad

Suasana hari pemungutan suara Pemilu 2024 di Balai RW 11 Dago Elos, Kota Bandung, Rabu, 14 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 April 2024


BandungBergerak.id – Saya senang jika membahas Kabupaten  Labuhanbatu Selatan (Labusel) melalui lensa literasi karena di situ ada metodologi. Bukan hanya sekadar membahas namun asal bunyi (asbun) saja.  

Misal asbunnya: yang terpenting yang layak menjadi Bupati di Labusel adalah  keluarga kita atau orang kita, kendati ia buta huruf sama soal-soal perkembangan ilmu pengetahuan, namun itu lebih penting daripada orang lain yang menjadi bupatinya, agar dana APBD menjadi mungkin dapat kita kelola secara sewenang-wenang.

Begitulah. Pembahasan Itu lagi sering saya dengar ketika saya ke warung-warung kopi di sini. Ternyata sindrom poskolonial masih kental. Artinya takut pada yang berbeda masih rentan terjadi. Padahal, kalau memang keluarga kita atau orang kita memang tidak punya kapasitas, lantas, kenapa masih dipertahankan?

Kini, ada sekitar tujuh bulanan lagi waktu menuju November 2024. D bulan itu akan dilakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Indonesia. Termasuk di Labusel. Namun, dalam esai singkat ini saya akan spesifik membahas Pilkada Labusel sekaligus generik dalam mengutarakan siapa yang layak menjadi Bupati Labusel selanjutnya.

Beberapa nama telah berseliweran  mau maju sebagai bakal calon Bupati Labusel. Akan tetapi, tentu saya tidak mau merincikan siapa-siapa saja namanya. Namun, di sini saya mau menegaskan secara umum saja, bahwa betapa pentingnya untuk para bakal calon itu untuk mempunyai modal intelektual yang memadai. Karena pada realistisnya, Labusel adalah sinopsis dari konstruksi keadilan di Indonesia. Di situ ada agenda mencerdaskan dan menyejahterakan.

Baca Juga: Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan
Hitung-hitungan Biaya Pilkada Jabar, KPU Diingatkan Hati-hati dalam Penggunaan Dana
Film Kejarlah Janji: antara Cinta, Kepala Kambing, dan Golput

Siapa yang Layak Memimpin?

Persoalannya, siapa orang yang layak memimpin di Labusel?  Kalau memang dirinya, berkapasitaskah ia untuk merealisasikan dua agenda etis itu?

Saya kira, pemilihan bupati di November 2024 ini adalah sebuah langkah awal akademis yang perlu untuk kembali serius menata kelola Labusel dengan metode: transparansi, inklusifitas, dan akuntabilitas.

Namun, untuk menerapkan semuanya itu harus punya modal intelektual. Bukan hanya sekadar mengumbar slogan-slogan tapi resonansi tindakannya medioker. Bagaimanapun satu hal logis yang tidak boleh diingkari: bahwa memilih pemimpin artinya memilih delegasi. Di situ ada tarung akal yang metodis. Bukan tarung akal-akalan, apalagi tarung ketampanan dan kecantikan.

Sebab, 15 tahun umur Labusel berdiri namun belum banyak pembangunan yang berorientasi progresif untuk mencerdaskan dan menyejahterakan. Mulai dari Wildan (2011) sampai Edimin (2021) bagi saya jenis kepemimpinan mereka hanya cenderung terhenti di ranah teknis saja. Akibatnya, APBD Labusel tak terorganisir dengan etis penggunaannya. Ketika Wildan menjabat, ia terjebak pada korupsi (pencuri). Ketika Edimin menjabat, ia terjebak pada patrimonial. Mungkin tinggal menunggu waktunya saja Edimin akan berstatus sama dengan Wildan. Padahal, keduanya itu adalah pemimpin yang dipilih secara demokratis.  

Lagi pula, memang harus saya akui, bahwa dialektika politik di Indonesia hari-hari ini memang lagi banal. Pengaruh dunia yang multipolar memang telah menggerogoti ke berbagai aspek. Termasuk di aspek politik di Indonesia. Namun, karena itulah mengapa kepemimpinan intelektual menjadi urgen untuk diaplikasikan di Labusel.

Di sini kepemimpinan intelektual yang saya maksudkan itu merujuk ke pemikiran Gary Michael Gutting. Dalam tulisannya yang berjudul Intellectuals and Politics (2011), ia mengatakan bahwa seorang intelektual adalah harapan bagi masyarakat. Ia adalah orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ia hidup untuk mengetahui serta memahami situasi dunia, dan menghayati apa artinya  menjadi manusia. Itulah alasan kenapa saya begitu antusias menantikan jenis kepemimpinan intelektual hadir di Labusel.

Karena itu, setiap pemimpin intelektual secara substansi memang telah akrab dengan literasi, sehingga hal itu dapat membuat mereka jernih dalam mencermati apa itu pendidikan, ekonomi, hukum, hak asasi manusia, sosial, lingkungan, kesehatan, teknologi, dan sejenis aspek lainnya.

Artinya seorang pemimpin intelektual itu sudah punya konsep meritokrasi  ketika memimpin. Sehingga ide abstrak mencerdaskan dan menyejahterakan lebih membumi buat diimplementasikan di Labusel. Bagi saya, seseorang yang seperti itulah yang layak memimpin Labusel selanjutnya.

Hanya dengan jenis kepemimpinan itu,  APBD Labusel mungkin dapat terimplementasi menjadi bermutu. Karena meskipun nilai APBD kecil, tapi kalau pemimpinnya intelektual, maka ia dapat mendistribusikan keadilan dengan maksimum. Namun sebaliknya. Bila memang pikiran sang pemimpin picik, dan tak punya relasi etis, APBD yang bernilai seribu triliun sekalipun tak akan mampu ia distribusikan ke masyarakatnya. Karena kepentingan melahap atau mengorupsi APBD lebih diutamakan ketimbang membuat peradaban pikir di Labusel.

Pemimpin Intelektual

Memang banyak faktor sosiologis mengapa perkembangan di Labusel cenderung tidak progresif. Mungkin salah satu faktor sosiologisnya adalah soal ketiadaan kampus yang reguler di Labusel. Dengan tiadanya kampus membuat Labusel tidak punya penjaga formal untuk mengawasi kinerja setiap pemimpinnya. Kalau kampus reguler di Labusel ada, tentu metode pengajaran kepemimpinan itu sudah terlaksana secara tidak langsung. Dengan demikian hal itu menjadi bahan penting untuk para bakal calon Bupati di Labusel mengenali apa itu Labusel secara kebudayaan dan keilmuan. Sehingga hal yang demikian menjadi referensi untuk setiap pemimpin yang terpilih agar tidak gagap mengenali perilaku sosial masyarakatnya

Lebih lanjut lagi, sesungguhnya, saya bukan dalam rangka mau mengecilkan atau membesarkan tentang siapa yang layak menjadi Bupati Labusel yang akan datang. Karena mereka sudah punya horizonnya satu sama lain. Hanya saja, di zaman multipolar yang saya jelaskan tadi, rekam jejak sosial itu memang sudah dapat diakses dengan mudah. Performa para bakal calon bupati yang ada, sudah dapat ditelusuri melalui media cetak ataupun media elektronik.

Untuk itu, soal pendapat yang saya ajukan tadi, tentang siapa yang layak menjadi Bupati Labusel, hanya bersifat dinamis, yang berpijak dari material historis.

Banyak sejarah yang telah mengajarkan tentang suatu kepemimpinan. Banyak juga di antaranya terbenam sama perilaku korupsi ketika telah terpilih. Itulah risiko dari berdemokrasi. Salah memilih adalah dampak buruknya. Tapi dampak baiknya, ketika salah memilih ada kesempatan lagi untuk memilih kembali sang pemimpin.

Toh, begitulah kepemimpinan yang diproses dari demokrasi. Dari mulai Wildan sampai Edimin mereka sudah menjadi fakta sejarah yang telah mengajarkan Labusel tentang arti kepemimpinan. Mereka adalah dua orang yang telah memberikan penanda penting mengapa Labusel memerlukan eksperimen kepemimpinan intelektual.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//