• Narasi
  • Ruwatan Ageung Gunung Manglayang untuk Membersihkan Alam, Membersihkan Diri

Ruwatan Ageung Gunung Manglayang untuk Membersihkan Alam, Membersihkan Diri

Ruwatan Gunung Manglayang merupakan kearifan lokal yang sudah mentradisi pada masyarakat sekitar Gunung Manglayang untuk menjaga kesucian diri sendiri dan alam.

Oscar Yasunari S.S., M.M.

Dosen Koordinator Pendidikan Agama Katolik dan Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Dasar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Proses pembacaan Piagam Uga Pamali oleh Bapak Hadian Supiatna, Kepala Desa Cibiru Wetan (Foto: Oscar Yasunari/Dok.Pri)

20 Maret 2025


BandungBergerak.id – Setahun sekali dalam bulan Februari dilaksanakan Upacara Ruwatan Gunung Manglayang. Upacara Ruwatan Gunung Manglayang pada tahun 2025 dilaksanakan pada 24 Februari 2025. Upacara tersebut diadakan di daerah wisata Batu Kuda di Kampung Cikoneng, Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. 

Kawasan Gunung Manglayang memiliki pemandangan yang indah sehingga menjadi tujuan wisata alam yang menarik untuk kegiatan hiking atau berkemah, seperti lokasi wisata alam Batu Kuda, Curug Cilengkrang, maupun Tangga Seribu. Kawasan Sekitar Gunung Manglayang, khususnya Situs Batu Kuda, dirawat dan dijaga keasriannya oleh Perangkat Desa Cibiru Wetan dan juga oleh beberapa komunitas seperti Padepokan Bumi Ageung Saketi dan juga Komunitas Desa Wisata Edukasi Cibiru Wetan. Selain menjadi tujuan wisata alam, kawasan Gunung Manglayang dijadikan masyarakat sebagai tempat suci. Gunung ini tetap dijaga kelestariannya dan disucikan karena selain bermanfaat sebagai sumber kehidupan, gunung ini, sejak zaman para leluhur, dijadikan tempat orang membersihkan diri dan mencari kedalaman hidup spiritual.

Upacara Ruwatan Gunung Manglayang sebagai suatu bentuk kearifan lokal, sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Ruwatan merupakan suatu bentuk upacara pembersihan diri. Pembersihan terhadap seseorang, ataupun alam agar terbebas atau terlepas dari ancaman atau bahaya sebuah kutukan. Singkatnya terbebas dari mara bahaya.

Upacara Ruwatan yang dilakukan setahun sekali ini memiliki arti yang sangat penting karena melalui kegiatan tersebut masyarakat terus menerus diingatkan untuk menjaga dan merawat hutan, hidup selaras dengan alam serta menghormati kehidupan lewat nilai-nilai kearifan lokal. 

Upacara tradisi Ruwatan Gunung Manglayang sendiri juga dimaksudkan untuk pembersihan diri agar kotoran-kotoran yang ada terlepas sehingga masyarakat Kota Bandung terbebas dari mara bahaya.  

“Seperti baju yang dipakai ingin dibersihkan bagaimana? Tentunya dicuci. Demikian juga gunung telah dikotori oleh kita setahun ini, sekarang waktunya dibersihkan. Setahun sekali melakukan pembersihan supaya masyarakat hidup tenteram dan selamat, juga  gunungnya, pepohonannya, termasuk warga sekitar Kota Bandung, tidak ada kekisruhan. Ngaruwat gunung ini diniatkan untuk ngerawat semuanya,”  ujar Abah Undang,  juru kunci Gunung Manglayang.

Papan penanda Situs Batu Kuda di Gunung Manglayang. (Foto: Oscar Yasunari)
Papan penanda Situs Batu Kuda di Gunung Manglayang. (Foto: Oscar Yasunari)

Baca Juga: Lemahnya Pemahaman Moderasi Beragama di Indonesia, Bercermin dari Kasus Persekusi di Tangsel dan Gresik
Meruwat Air, Menghormati Kehidupan

Ruwatan Ageung Gunung Manglayang

Pemaknaan upacara tradisi Ruwatan Ageung Gunung Manglayang begitu penting sehingga dilaksanakan dari tahun ketahun untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat dalam menjaga hutan yang sudah seharusnya dipelihara, dirawat dan dilindungi. Pemerintah, budayawan, masyarakat, komunitas-komunitas adat dan seluruh masyarakat Kota Bandung harus memliki pemahaman tentang prinsip-prinsip hidup yang selaras dengan alam dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi atau kearifan lokal.

Kegiatan Ruwatan Ageung Gunung Manglayang yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sangat didukung dan difasilitasi oleh Kepala Desa Cibiru Wetan, Bapak Hadian Supiatna, beserta jajarannya. Kepala Desa Cibiru Wetan menyatakan bahwa  esensi dari ruwatan ini sebenarnya adalah bagian dari advokasi dan edukasi, kepada masyarakat dengan cara  mengajak dan mengingatkan kembali agar senantiasa merawat kelestarian, keasrian, keberadaan Gunung Manglayang, yang merupakan sebuah tempat yang banyak memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Karenanya, sudah sewajarnya semua pihak harus menjaga dan memelihara, terutama yang berkaitan dengan kekayaan flora dan fauna, keragaman ekologi, jenis-jenis tanaman endemik, dan juga satwa-satwa endemik.

Sementara itu, Bapak Ferdi Setia Rahmadian, yang akrab disapa Kang Fey, Ketua Desa Adat Wisata Edukasi Cibiru Wetan, juga menegaskan bahwa Gunung Manglayang menjadi salah satu figur atau benteng bagi masyarakat, khususnya yang berada di lereng Gunung Manglayang. Gunung ini perlu untuk dirawat keasliannya dan juga ekosistemnya sehingga bisa menghadirkan kebutuhan-kebutuhan untuk warga masyarakat di sekitar lerang Gunung Manglayang.

Abah Enjum,  Papuhu Lingkungan Seni Reak Tibelat dan Papuhu Padepokan Bumi Ageung Saketi. (Foto: Oscar Yasunari)
Abah Enjum, Papuhu Lingkungan Seni Reak Tibelat dan Papuhu Padepokan Bumi Ageung Saketi. (Foto: Oscar Yasunari)

Abah Enjum, Papuhu Lingkungan Seni Reak Tibelat dan Papuhu Padepokan Bumi Ageung Saketi, menekankan pada kesadaran semua manusia bahwa bukan hanya untuk  merawat dan menjaga hutan ataupun alam namun yang lebih penting seluruh manusia harus juga merawat diri dan pikirannya. Dibutuhkan kesadaran yang jernih agar manusia tidak dirasuki pemikiran yang kotor dan zalim. Pemikiran manusia perlu diruwat agar alam bisa dirawat dalam kejernihan pikirannya. Kalau hutan ditebang bisa pulih kembali tapi jika diri dan pikiran manusia telah dirasuki keinginan untuk membabat hutan, memiliki niat jahat ke sesama dan zalim terhadap alam, mustahil untuk memulihkan kembali.

Ruwatan Ageung Gunung Manglayang eksistensinya bukan hanya sekedar membersihkan Gunung Manglayang agar manusia dan alam terbebas dari bencana alam namun secara substansial menyadarkan manusia bahwa keselarasan alam akan terjadi ketika manusia bisa meruwat atau menjernihkan dan mengendalikan hati serta pikirannya untuk menghilangkan segala nafsu serakah dan bersikap zalim terhadap alam dan sesama. 

Manusia selain menghargai eksistensi dirinya tentunya juga harus menghargai eksistensi  alam sehingga terjadi keselarasan dalam menciptakan kehidupan yang Bahagia. Keselarasan  hubungan manusia dengan alam sebagai guru tak terbatas yang penuh dengan  kejbijaksanaan dan  hikmat.  Manusia, jagad nu alit, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta, jagad nu ageung, harus memiliki sikap hidup yang menekankan pentingnya hidup dalam harmoni, yang selaras  dengan keteraturan alam. Tentu saja hal ini membutuhkan kemampuan manusia untuk membersihkan pikirannya melibatkan pengenalan  manusia itu terbatas dan mempunyai  tanggung jawab moral  terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Dalam konteks hubungan manusia dengan alam perlu ditekankan pentingnya menggunakan sumber daya alam dengan bijaksana dan bertanggung jawab.

Proses ritual doa di Situs Batu Kuda di Gunung Manglayang, Cibiru, Bandung. (Foto: Oscar Yasunari)
Proses ritual doa di Situs Batu Kuda di Gunung Manglayang, Cibiru, Bandung. (Foto: Oscar Yasunari)

Berefleksi pada Alam

Henry Manampiring dalam buku Filosofi Teras mengungkapkan tentang filsafat stoik bahwa fokus utama manusia dalam menjaga keseimbangan ekologi dan keberlanjutan alam adalah hidup selaras dengan alam (Manampiring, 2019, hlm. 39). Hidup selaras dengan alam menuntut kita, manusia, untuk menyadari adanya keterikatan (interconnectedness) di kehidupan ini. Hidup manusia bersama alam tentunya membutuhkan kejernihan pikiran manusia tentang nilai-nilai etis, nilai-nilai tanggung jawab serta pengendalian diri yang penuh agar semua berjalan sesuai dengan harmoni dan pencapaian pada kebahagiaan. Alam dan manusia akan hidup secara harmoni ketika manusia tidak merusak alam dan alam memberikan kebutuhan dan keindahannya kepada manusia. Alam tentunya tidak akan memberikan keangkaramurkaannya berupa bencana karena ulah manusia sehingga  manusia akan hidup bahagia bersama alam.

Ruwatan Ageung Gunung Malayang memberikan perspektif kepada kita bahwa pemikiran manusia perlu dibersihkan untuk mengembangkan keselarasan hidup dengan alam, kebajikan etis dalam mengelola alam, dan mampu berjalan untuk mengikuti mekanisme dan logika alam sehingga manusia tidak serakah dan zalim terhadap alam. Dengan Ruwatan Ageung Gunung Manglayan ini, pada akhirnya manusia diharapkan mampu mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan mampu mendapatkan makna hidup dari alam. Kess Bertens dalam buku Etika mengungkapkan bahwa Aristoteles, seorang filsuf, menyatakan bahwa semua orang akan menyetujui tujuan tertinggi yang dicapai oleh manusia adalah  kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan dapat dicapai ketika seseorang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi yang khas dalam diri manusia adalah menjalankan akal budi atau rasio. Untuk itu bisa dikatakan bahwa manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya (Bertens, Etika, , hal. 188). Dalam konteks ini maka tentunya manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika manusia bisa menggunakan akal budinya dalam berinteraksi dengan alam. Manusia dapat mempertimbangkan dengan akal budinya apakah yang dilakukan merugikan alam atau tidak.  Bentuk kebahagiaan yang nyata pada manusia tentunya dapat diwujudkan dengan cara hidup selaras dengan alam. Akar dari bencana adalah kerusakan alam yang terjadi akibat sikap egois manusia untuk menguasai alam karena keserakahannya. Untuk itu, melalui sikap dan perilaku menghormati kesucian alam serta memelihara kelestarian dan keberlanjutan kehidupan setiap makhluk, manusia dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya bersama dengan sesama manusia, makhluk lainnya, serta alam dalam keharmonisan.

Melalui Upacara Ruwatan Ageung Gunung Manglayang manusia diajak berefleksi untuk menjernihkan, mengendalikan hati dan pikiran agar tetap bersih dari segala nafsu dan kejahatan terhadap alam di mana alam menjadi bagian sangat penting dalam kehidupan manusia. Ruwatan ini merupakan salah satu kearifan lokal yang sudah mentradisi pada masyarakat sekitar Gunung Manglayang untuk menjaga kesucian diri sendiri dan alam. Kesadaran kita dibuka agar memiliki sikap hidup dan perilaku yang selaras dengan alam. Menghormati dan merawat alam menjadi tanggung jawab kita bersama yang tidak bisa ditunda.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang budaya

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//