AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #14: Mengapa Harus Kartini
Kartini dan Pramoedya Ananta Toer adalah prosa perlawanan itu sendiri. Keduanya melawan dengan kertas dan pena.

Aldy Istanzia Wiguna
Aktivis Pemuda Persatuan Islam. Memiliki minat pada kajian sejarah, biografi, media, budaya, serta sastra.
26 Maret 2025
BandungBergerak - Pertemuan pertama saya dengan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang namanya sohor berkat Tetralogi Buru, terjadi ketika saya mulai membaca buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Sebuah buku biografi yang ditulis Pram dengan begitu elok, menjelaskan kiprah perempuan priayi asal Rembang, Jawa Tengah yang menolak diskriminasi terhadap kaum perempuan. Lewat buku ini, saya bercermin sembari menyimak tuturan Pram tentang sosok besar lain dalam sudut sejarah Indonesia.
Kartini, yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini, tentu bukanlah sosok biasa jika kemudian Pram menuliskan senarai kisah hidupnya. Perempuan pejuang kesetaraan yang namanya selalu dielu-elukan setiap tanggal 21 April tersebut seolah menjadi representasi dari gerakan perlawanan yang sedang Pram jalankan.
Surat-surat Kartini kepada para sahabat Belanda-nya sebagaimana direkam dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane adalah bukti bahwa suara kebenaran tidak bisa dibungkam begitu saja. Berkat buku ini, perlawanan Kartini membela nasib perempuan bumiputera terasa begitu dekat. Ia diceritakan dari sudut dunia berbeda. Lepas dari segala titel feodalisme-nya, Kartini menurut Pram adalah perempuan tangguh tanpa perlu embel-embel Raden Ajeng di depan namanya.
Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #13: Tentang Keberanian untuk Menentukan Sikap
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #12: Apa Katamu tentang Indonesia Hari Ini, Pram?
Tentang Perlawanan dan Kemandirian
Kartini dan Pramoedya Ananta Toer adalah prosa perlawanan itu sendiri. Keduanya melawan dengan kertas dan pena. Dengan gagasan yang tak bisa dibungkam dan dengan suara yang terus terdengar sampai hari ini.
Seperti suara “Aku mau” yang disampaikan Kartini kepada kakaknya RM Sosrokartono, hari ini kita melihat para perempuan Republik bangkit dan berusaha merebut apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Betapa gambaran perempuan berdikari seperti yang digambarkan Pram dalam bukunya mewujud nyata. Lewat Aksi Kamisan, misalnya, kita masih mendengar suara-suara Kartini lain yang kehilangan suami, anak, dan saudara akibat tragedi-tragedi pilu sejak1960-an sampai 1990-an. Para perempuan tidak kehilangan nurani. Mereka tetap menyala menjadi Kartini yang bersuara panjang lewat “Aku mau”-nya.
Bagi kita, Pram dan Kartini adalah juga lambang kemandirian itu sendiri. Meski dipingit, Kartini tetap merdeka. Ia bebas menuliskan apa saja untuk para sahabat Belanda-nya, termasuk cita-citanya untuk mendirikan sekolah dan menempuh pendidikan tinggi. Cita-cita yang kemudian berhasil ia wujudkan setelah menemukan banyak halang rintang di hadapan. Begitu juga Pram, yang berkali-kali dipenjara rezim dari masa Hindia Belanda, Orde Lama, hingga Orde Baru. Diasingkan ke Pulau Buru, ia tetap gigih menulis. Bercerita tentang ketidakadilan serta feodalisme yang mencederai bangsa ini.
Pram dan Kartini adalah simbol abadi perlawanan. Mereka melawan sebab ada bau ketidakadilan di sekeliling mereka. Berbicara lantang lewat kertas dan pena, suara mereka masih terdengar jelas dan jernih sampai hari ini. Lewat buku Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis Pram, saya akhirnya bisa leluasa mengenal sosok perempuan hebat ini meski ada bau sumir bahwa penulisan buku tersebut dibiayai sejumlah pihak yang tak menyenangi sosoknya. Meski suara Kartini seolah hendak diredam dengan sejumlah kesaksian tentang tokoh-tokoh perempuan lain yang jasanya luar biasa untuk Republik, dari tuturan Pram saya menemukan wajah itu. Wajah emansipasi yang tidak lantas melunturkan sisi keperempuanan sebagai istri dan ibu.
Dan suara Pram sebagaimana ia tuturkan dalam buku Panggil Aku Kartini Saja adalah suara kesahajaan. Suara tentang bagaimana perlawanan harus tetap hadir di mana saja. Suara yang tak boleh bungkam meski yang disuarakan hanya tentang posisi kecil seorang perempuan yang dengannya kita akan melihat lebih jelas sejauh mana sosok mereka hadir menjadi simbol abadi dalam rumah besar bernama Indonesia. Sebagaimana Nyai Ontosoroh, ibu dari tokoh Minke dalam Tetralogi Buru, Kartini adalah perempuan yang menuntut keadilan tentang kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan tanpa melanggar fitrah dan kodrat perempuan itu sendiri.
Maka, Panggil Aku Kartini Saja akan menjadi pintu pertama mengenal Pram dan buku-bukunya yang abadi. Tabik!
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer