• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #13: Tentang Keberanian untuk Menentukan Sikap

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #13: Tentang Keberanian untuk Menentukan Sikap

Membaca Pram seperti menggali diri kita yang hilang, yang tertimbun oleh rasa takut yang kita tumpuk setiap hari oleh rutinitas dan kerumunan-kerumunan digital.

Sampul buku Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer oleh Penerbit Wira Karya Tahun 1994. (Foto: Bawana Helga Firmansyah)

16 Maret 2025


BandungBergerak - Tetes demi tetes air jatuh menyentuh bumi. Di luar, anak-anak menjerit, mempercepat langkahnya menuju rumah. Air semakin deras mengetuk kaca jendela kamar. Bersamanya, angin dingin berembus memberi napas pada ruang itu. Kusimpan jauh-jauh ponselku. Kopi di atas meja. Masih hangat.

Tampak sesosok wajah dengan mata yang awas, memata-matai di balik hijau dedaunan. sementara di belakang, mungkin sebuah senjata tajam. Menumpuk dan bersinggungan, tampak mengancam, mengganggu biru gunung yang tenang. Lama aku menimang-nimang. Sampul buku tersebut menyita perhatianku. Mungkin, ini salah satu cover buku Pramoedya Ananta Toer terbaik yang pernah aku lihat.

Perburuan. Perayaan Seabad Pramoedya Ananta Toer memanggilku untuk membuka kembali lembar-lembar halaman karyanya itu. Konon, inilah novel penting Pram yang pertama, yang memenangkan sayembara Balai Pustaka 1949. Berkisah mengenai kegagalan pemberontakan tentara PETA pada masa pendudukan Jepang, yang mendorong Syodanco Hardo dan kawannya mengasingkan diri dari masyarakat. Sekilas, mengingatkanku pada sosok pahlawan nasional Supriyadi yang entah ke mana hilang jejaknya hingga hari ini.

Mengisi Ruang Imajinasi

Pertemuanku dengan sosok Pram sudah terjalin cukup lama. Waktu itu aku masih mengenakan seragam putih biru. Sekitar kelas 8 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Toko buku yang berlokasi di Jalan Buah Batu itu cukup dekat dengan sekolah. Berbekal uang yang dikumpulkan selama sepekan, aku kerap mengunjunginya untuk sekadar berjalan kaki, menemukan kejutan-kejutan kecil pada rak-raknya atau mencari buku yang sudah kurencanakan sebelumnya.

Buatku, mengunjungi toko buku seperti sebuah ziarah. Di sana aku bisa mengeja sebuah nama atau mendengar suara-suara yang sudah bergema lebih dari seratus tahun atau berpuluh-puluh tahun. Suara-suara dari dunia yang belum pernah kujejaki. Suara-suara dari peristiwa yang tidak kualami, yang tak jarang memberikanku sebuah petunjuk. Dan di situlah, suara Pram bergema di antara tumpukan-tumpukan lainnya.

Uang yang kukumpulkan selama seminggu hanya cukup untuk membeli beberapa judul buku Pram yang terbilang tipis. Untuk mendapatkan bukunya yang tebal, aku perlu mengumpulkan uang sekitar dua hingga tiga minggu. Cukup lama menunda dan menimbang-nimbang untuk membelinya. Hingga akhirnya, di hari ulang tahunku, ayah memberikan padaku salah satu buku yang di kemudian hari kuketahui sebagai seri kedua Tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa. Buku Pram pertama yang kubaca sekaligus yang mengantarkanku kepada karya-karya lainnya di antaranya Bumi Manusia, Arus Balik, Arok Dedes, Gadis Pantai, Bukan Pasar Malam, dan Sekali peristiwa di Banten Selatan.

Bagiku, Pram sangat berjasa dalam mengisi ruang-ruang imajinasi yang tidak hadir di ruang kelas, terutama saat pelajaran sejarah. Sekolah hanya mengajarkan peristiwa, tanggal, dan hal-hal lainnya yang tidak menggugah untuk dipelajari. Tanpa mengesampingkan buku-buku sejarah sebagai karya ilmiah, Pram hadir membawa cerita yang terasa personal, masuk ke kerumitan manusia dalam berjuang menghadapi takdir dan ketidakjelasan. Cerita yang membuatku berempati dan mengubah persepsi terhadap manusia dalam pusaran arus sejarah.

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #12: Apa Katamu tentang Indonesia Hari Ini, Pram?
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #11: Bioskop Dulu, Baru Buku

Menyerahkan pada Waktu

Banyak garis pensil yang kutorehkan pada buku ini. Membaca Perburuan rasanya seperti membaca sosok Pramoedya Ananta Toer itu sendiri. Membaca pandangannya tentang kebebasan, keadilan, juga respons manusia mengenai situasi yang kerap mengantarkannya pada maut. Pram mengajakku ke dunia yang dilanda krisis, kota yang penuh tunawisma dan bagaimana pendudukan Jepang yang sangat represif, tak segan untuk menebas kepala para pembangkang.

Dalam kondisi seperti itu, manusia akan mempertahankan hidupnya dengan cara apa pun. Bahkan dengan berkhianat sekali pun, demi kenyamanan, uang, dan jabatan. Sebagai seorang anak wedana, Hardo bisa saja berdiam diri dan berkompromi terhadap dunia. Namun, ia memilih untuk berpaling dan mempertahankan prinsip di tengah-tengah manusia yang tak kuasa menahan nasib. Seperti yang Hardo katakan:

Dunia hanya berisi tindis-menindis. Dan kalau cita-citamu kau kerjakan juga - kalau engkau mau menentang tindisan yang dipaksakan pada orang seorang - tahu engkau? Engkau akan menghadapi seluruh dunia”. ( Hal. 52)

Dalam sosok Hardo, Pram tidak semata-mata menunjukkan sifat berontak dan ketidakpatuhan. Sebagai seorang tentara PETA, Hardo bisa saja memenuhi dendamnya kepada siapa pun yang turut menghancurkannya. Namun hal tersebut tidak hadir dalam prinsipnya. Ia tidak bertindak sebagai hakim terhadap orang-orang yang berseberangan. Ia lebih memilih untuk menyerahkannya pada waktu, untuk menjawab keyakinannya.

Pada akhirnya, pembaca akan menyaksikan kehancuran orang-orang yang berkompromi dengan Nippon. Keluarganya hancur, ayahnya kehilangan jabatan wedana dan menggadaikan segalanya untuk berjudi, sementara Lurah Kaliwangan berkhianat dengan mengorbankan anaknya, yang juga merupakan tunangan Hardo.

“Manusia tak selamanya menang. Manusia hidup untuk menang dan kemudian manusia hidup untuk kalah atau sebaliknya.” (Hal. 23)

Sampul buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak)
Sampul buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak)

Menentukan Sikap

Sesekali cahaya kilat mengedipkan ruangan, guntur menggetarkan jendela kamar. Dan hujan masih terus berlangsung meski percikan-percikannya air tidak terlalu deras, bahkan terkesan tenang. Sementara dari kejauhan, terdengar arus kendaraan yang pantang terhadap cuaca. Aku berhenti membaca, sejenak memandangi beberapa karya Pramoedya Ananta Toer yang telah kukumpulkan dari waktu yang lalu.

Aku tetap merasakan dunia yang berbeda meski karya Pram menjadi penghubung diriku dan peristiwa-peristiwa masa lalu yang dikisahkannya. Tentu ada beberapa hal yang berkesinambungan dan terasa masih relevan, tapi sungguh kontras jika membandingkannya dengan apa yang terjadi di abad ke-21 ini. Rasanya tak ada suatu gejolak besar yang menyeret langsung kehidupan personal. Kalaupun ada, rasanya tidak sebanding dengan kisah Hardo yang dikejar-kejar kempei.

Menurutku, yang membuat karya-karya Pram relevan adalah makna kehadiran tokoh-tokohnya. Aku tidak memandang tokoh-tokoh yang hadir sebagai seorang yang serta merta berdiri sangat lantang melancarkan perlawanan, tapi sebagai orang-orang yang dihancurkan lalu merespons dan memaknai keadaannya.

Dalam novel Gadis Pantai, kita akan merasakan suatu gejolak batin yang dalam dari seorang anak nelayan yang diserahkan kepada seorang priayi, terkungkung oleh feodalisme Jawa. Kita juga bisa menengok petuah Rama Cluring kepada Wiranggaleng mengenai dunia yang jatuh, kemerosotan dan keterdesakan maritim Nusantara oleh Portugis, serta ambisi Trenggono menguasai seluruh Jawa.

Pram mengajakku untuk berani mengambil sikap. Di periode yang terbilang tenang, yang tak jarang membuat bagian dari hidup kita dilumat oleh kenyamanan. seseorang mudah sekali untuk melebur, tunduk pada kerumunan. Di ruang digital, seseorang seolah membangun monumennya sendiri. Kehidupan terasa lebih padat, dan waktu tidak pernah berkompromi kepada diri kita yang semakin hilang. Tindakan-tindakan kita semakin hari semakin disetir oleh informasi dan opini orang lain. Tanpa sadar, kita mengonfirmasinya, menganggukkan kepala dan lanjut scroll video berikutnya.

Membaca Pram seperti menggali diri kita yang hilang, yang tertimbun oleh rasa takut yang kita tumpuk setiap hari oleh rutinitas dan kerumunan-kerumunan digital yang tidak memberi jeda, yang meniadakan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi petunjuk untuk mengenal diri lebih dalam. Kita menjadi mudah untuk menerima, sulit untuk menentukan sikap.

Di hidup yang terlampau singkat ini, Pram mengajak pembacanya untuk memiliki keberanian dalam menorehkan sesuatu. Apa yang hendak kau suarakan? Bahkan ketika hal itu masih dilakukan di dalam hati masing-masing. Setidak-tidaknya kau melawan!

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//