Menjaga Anak dari Kekerasan di Momen Lebaran: Kesadaran yang Sering Terlupakan
Sebaliknya, ajarkan anak bahwa ada banyak cara lain untuk menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang tanpa harus melibatkan sentuhan fisik.

Yayasan JaRI
Berkomitmen memberikan pendampingan bagi korban kekerasan di Bandung, Jawa Barat, sejak 1998
1 April 2025
BandungBergerak - Lebaran sering dipandang sebagai momen penuh kebersamaan dan kehangatan keluarga. Suasana rumah yang riuh oleh suara obrolan, gelak tawa, dan aroma makanan khas Lebaran menciptakan rasa nyaman yang membuai. Namun, di balik euforia ini, ada sisi lain yang kerap terabaikan: keamanan anak-anak.
Menurut dr. Nurul Aida Fathya, SpFM., M.Sc, dokter forensik sekaligus relawan dari Yayasan JaRI, perayaan Lebaran bisa menjadi situasi rentan bagi anak-anak, terutama terkait dengan kekerasan seksual. Tidak hanya di hari-H Lebaran, tetapi juga dalam perjalanan mudik yang panjang dan melelahkan, di mana anak-anak bisa menjadi sasaran ketika orang tua lengah. “Dalam kendaraan umum yang gelap saat malam hari, ada celah bagi pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan,” ujarnya.
Selain itu, konsep “kumpul keluarga” yang mengharuskan semua orang berbagi ruang dalam waktu lama juga bisa menciptakan situasi rawan. Tidak jarang anak-anak tidur berdekatan dengan saudara jauh atau kerabat yang bahkan tidak mereka kenal baik. “Tidur bersama di kasur lantai dengan banyak orang dalam satu ruangan bisa menjadi celah terjadinya kekerasan seksual,” tambah dr. Nurul.
Kekerasan Seksual yang Dianggap "Biasa"
Salah satu bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi dalam momen Lebaran adalah pelecehan yang dibalut dalam kedok kasih sayang. Mencium bibir anak, meraba tubuh mereka, atau memaksa mereka untuk duduk di pangkuan seseorang sering kali dianggap sebagai bentuk keakraban. “Orang tua kerap tanpa sadar ‘memaksa’ anak-anak untuk menerima kontak fisik dari kerabat dengan alasan kesopanan,” jelasnya.
Padahal, pola pikir seperti ini bisa berdampak jangka panjang. Anak yang dibiasakan untuk selalu "menyenangkan" orang dewasa lewat sentuhan akan lebih sulit mengenali dan menolak tindakan yang tidak pantas. Lebih parahnya lagi, kebanyakan pelaku pelecehan seksual justru berasal dari lingkaran orang-orang yang dikenal dan dipercaya anak.
Kekerasan seksual pada anak sering kali tidak terlihat secara kasat mata, tetapi bisa dikenali melalui perubahan emosi, perilaku, dan kondisi fisik mereka. Anak yang tiba-tiba menjadi pendiam, mudah marah, atau menunjukkan ketakutan pada sosok tertentu bisa jadi sedang mengalami sesuatu yang tidak mereka mengerti atau sulit mereka ungkapkan. Dari segi perilaku, mereka mungkin menghindari tempat atau orang tertentu, mengalami gangguan tidur, atau tiba-tiba menunjukkan perilaku seksual yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Secara fisik, tanda-tanda seperti kesulitan berjalan atau duduk, rasa sakit saat buang air, atau luka pada area genital harus menjadi alarm bagi orang tua.
Baca Juga: Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Menghapus Mitos-mitos Kekerasan Seksual yang Menghambat Kesetaraan Gender
Mengajarkan Anak untuk Berkata "Tidak"
Menanamkan kesadaran pada anak bahwa mereka memiliki kendali atas tubuh mereka sendiri adalah langkah awal yang krusial. Dr. Nurul menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak agar mereka merasa aman untuk berbicara jika mengalami ketidaknyamanan. “Anak harus tahu bahwa mereka berhak menolak dicium, dipeluk, atau dipangku oleh siapa pun, termasuk keluarga sendiri,” tegasnya.
Seperti yang ditekankan dalam buku Anak Aman oleh Yayasan JaRI, "Tubuhku adalah milikku. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya tanpa persetujuanku."
Pesan ini seharusnya menjadi pegangan bagi setiap anak—dan tugas orang tua untuk memastikan mereka benar-benar memahaminya.
Mengubah pola pikir orang tua dan lingkungan juga menjadi kunci. Jangan lagi mengatakan bahwa menolak pelukan kakek-nenek itu "tidak sopan." Sebaliknya, ajarkan anak bahwa ada banyak cara lain untuk menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang tanpa harus melibatkan sentuhan fisik. “Berjabat tangan adalah pilihan yang lebih aman dan bisa mulai diajarkan sejak kecil,” tambahnya.
Lebaran yang Lebih Aman untuk Anak-Anak
Penting bagi orang tua untuk tidak terjebak dalam romantisme momen Lebaran tanpa menyadari potensi bahayanya. Lebaran seharusnya menjadi momen yang penuh kehangatan tanpa ada anak yang merasa tidak nyaman atau terancam di tengah keluarganya sendiri.
Jadi, di tengah kebahagiaan bersilaturahmi, jangan lupakan hak anak atas tubuh mereka sendiri. Karena perlindungan terhadap mereka bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga membangun masa depan yang lebih aman dan sehat bagi generasi selanjutnya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Kekerasan terhadap Anak