• Berita
  • Menghapus Mitos-mitos Kekerasan Seksual yang Menghambat Kesetaraan Gender

Menghapus Mitos-mitos Kekerasan Seksual yang Menghambat Kesetaraan Gender

Beragam mitos tertanam kuat mengangkangi upaya mewujudkan kesetaraan gender. Mitos-mitos bahkan memojokan korban kekerasan seksual.

Ilustrasi. Kekerasan seksual bisa terjadi kapan pun dan mana saja, membutuhkan penegakan hukum yang tegas pada pelaku. (Ilsutrator: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah24 Maret 2025


BandungBergerak.id“Ketika rasa malu dipadukan dengan mitos pemerkosaan (rape myth), terciptalah tabu terhadap pengalaman sebagai korban kekerasan seksual,” tulis Aubrey Kandelila Fanani, salah satu peserta terpilih dalam Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara: 28 Hari, 28 Kritik.

Aubrey memaparkan bagaimana mitos-mitos kekerasan seksual masih saja berlaku hingga saat ini. Bahkan lama mengakar pada sistem hukum, medis, pendidikan, dan bantuan publik.

Langgengnya mitos-mitos ini akan berdampak pada korban kekerasan seksual. Mereka akan cenderung untuk menutup diri dan memendam segala penderitaan pahit yang mereka alami. 

Gagasan Aubrey soal mitos kekerasan seksual ini menjadi pokok diskusi buku antologi Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara dengan tajuk ‘Patahkan Mitos Kekerasan Seksual: Saatna Ngalawan!’ yang digelar Bandung Bergerak, Satgas PPKS UPI, GREAT UPI, dan Kurawal Foundation, Jumat, 21 Maret 2025 di Gedung LPPM lantai 4 UPI, Bandung.

Hani Yulindrasari, seorang akademisi dan Ketua SPPKS UPI, yang menjadi salah satu narasumber diskusi, mengatakan kekerasan seksual memiliki variasi yang paling. “Dari yang sangat halus sampai ke yang jelas sekali,” ujar Hani Yulindrasari. 

Bentuk kekerasan seksual itu meliputi ucapan maupun tindakan yang merendahkan ataupun terkait dengan seluruh tubuh atau privasi orang lain tanpa persetujuan orang tersebut.

Hani menyebut ada tiga ciri utama kekerasan seksual, seperti perasaan tidak nyaman, tidak adanya persetujuan, dan relasi kuasa yang timpang. Perasaan tidak nyaman itu memang bersifat subjektif sehingga dalam advokasinya banyak perdebatan. 

Perdebatan juga muncul dalam bentuk kekerasan seksual yang bersifat halus. Hani memberikan contoh dari pengalaman pribadinya. Hal itu berawal dari salah satu temannya di dalam grup WA alumni mengirimkan sebuah meme saat mengomentari isu kenaikan BBM yang bermuatan vulgar. Saat itu juga Hani menegur dan menyatakan ketidaknyamanannya atas meme tersebut. 

Sang pengirim merasa marah dan menyatakan hal itu adalah sebuah candaan saja. Tidak perlu dianggap terlalu serius.

“Nah, kekerasan seksual seringkali dinormalisasi dengan candaan-candaan seperti itu,” ujarnya.

Hadirnya UU TPKS hingga Permendikbud 46 dan 55 (revisi Permendikbud 30) menjadi sebuah dasar untuk dapat mengklasifikasi bentuk, variasi hingga jenis kekerasan seksual. Terdapat sebanyak 26 bentuk kekerasan seksual yang tercantum dalam Permendikbud no. 46 dan no. 55. 

Banyaknya jenis kekerasan seksual membuktikan pendekatan penanganan kasus kekerasan seksual ini berbeda jauh dengan kasus kekerasan fisik biasa yang meninggalkan bekas luka. 

“Kekerasan seksual belum tentu ada bekasnya. Jadi kayak bukti fisik, kalau kita nanya kekerasan seksual syaratnya harus ada bukti fisik, itu artinya kekerasan seksual tertentu saja yang bisa ditangani,” jelas Hani. 

Mitos-mitos Terus Dilanggengkan

Keberadaan mitos seputar kekerasan seksual selalu dilanggengkan. Dalam kesempatan diskusi tersebut Hani menyampaikan beberapa mitos yang kerap kali dinormalisasi. Seperti candaan seksis yang terkadang dianggap bukan suatu permasalahan yang besar, padahal di sisi lain ada orang yang tersinggung terhadap candaan tersebut. 

Lalu ada mitos seputar perkosaan. Bahwa aktivitas seksual itu menyenangkan. Hani menyinggung salah seorang anggota dewan yang berkomentar soal kasus pemerkosaan, bahwa sang korban pasti menikmatinya juga. Namun, secara fakta, aktivitas seksual tidak selalu memuaskan kedua belah pihak. 

Komentar-komentar yang menyudutkan korban kekerasan seksual membuatnya enggan melapor. “Karena dia merasa orang enggak bakal percaya gitu sama dia. Kalau dia itu merasa violated, merasa dilanggar dan merasa direndahkan harkat martabatnya,” ungkap ketua Satgas PPKS UPI tersebut.

Mitos ketiga adalah bagaimana kekerasan seksual terjadi karena adanya kesempatan. Contohnya adalah ketika sebuah kasus kekerasan seksual itu terjadi, fokus yang akan disorot yaitu bagaimana cara korban berpakaian ataupun bagaimana sang korban itu menggoda sang pelaku. 

Hal seperti itu yang ditentang Hani. Menurutnya kekerasan seksual itu bukan terjadi ketika salah satu pihak seakan-akan memberikan kesempatan pada pelaku. Tetapi, karena memang itu muncul dari niat sang pelaku itu sendiri. Padahal seseorang yang memiliki moralitas bagus, meskipun di depannya ada uang sebesar satu miliar, dia tidak akan tergoda untuk mengambil hal yang bukan hak miliknya. 

“Kalau menurut saya semua satu penyebab kejahatan itu. Ya, ada niat dari pelakunya,” tegasnya. 

Selain itu, reflek yang diberikan korban pun beragam. Tidak serta merta ketika kasus kekerasan seksual itu terjadi korban langsung memberontak. Hani menjelaskan bisa saja korban memberikan respons freezing ketika hal itu terjadi. 

Anggapan terkait korban kekerasan seksual hanya terjadi pada perempuan pun merupakan sebuah mitos. Kekerasan seksual sendiri dapat menimpa siapa saja, baik perempuan ataupun laki-laki. Bahkan pelakunya pun bisa saja seorang perempuan. Hal ini berdampak pada mitos selanjutnya, bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban. Jika mitos-mitos ini terjadi, korban akan menerima dampak yang besar dari masyarakat.

“Victim blaming terus korban tidak dipercaya. Bukan hanya di victim blaming korban itu, tapi juga di demonize. Seakan-akan dia yang jahat. Seakan-akan dia yang penggodanya,” jelasnya.

Hani sendiri menyarankan upaya pencegahan  terbaik (self-defence) sendiri adalah menghindari situasi-situasi yang membahayakan atau berisiko. Seperti menghindari berjalan di tempat yang gelap dan lain sebagainya. 

Baca Juga: Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam
Kekerasan Seksual di Kampus Unpad, Isu Serius yang Harus Diperhatikan Secara Khusus

Peran Media Dalam Melanggengkan Mitos 

Keberadaan mitos tersebut tidak terlepas dari peran medial. Diskusi dengan moderator Cici, Ketua Great UPI ini juga membahas isu kesetaraan gender dari perspektif jurnalis. Iman Herdiana, sebagai narasumber kedua dari BandungBergerak.id, berbicara bagaimana media memiliki andil yang besar dalam melanggengkan mitos-mitos ini. 

Secara historis, ketika masa sebelum dan sesudah reformasi, wawasan mengenai kekerasan seksual masih sangat minim. Di tengah pesta pora merayakan kebebasan berekspresi saat Orde Baru tumbang, pers kuning pun mulai bermunculan. Pers inilah yang mulai menerbitkan konten-konten vulgar terkait perempuan. Hal ini pun semakin masif diproduksi karena konten ini sangat disukai oleh masyarakat.

“Di situ muncul diksi-diksi yang tidak berperspektif gender, seperti menghaluskan istilah perkosaan atau kekerasan seksual menjadi ‘menggagahi’. Itu kan jadi memperkuat mitos ya. ‘Meniduri’ gitu, seolah-olah orang yang berbuat KS sama hanya dengan tidur aja gitu. Itu kan mengaburkan si pelaku,” jelas Iman. 

Iman mengatakan, dunia pers dan media masih didominasi dengan laki-laki. Jika komposisi dalam media tersebut seimbang antara perempuan dan laki-lakinya, juga bukan berarti mereka sudah menerapkan jurnalisme berspektif gender pada produk jurnalistik yang mereka hasilkan.

Jurnalisme berperspektif gender memiliki beberapa indikator selain keterwakilan perempuan, yakni kemauan media menjalankan jurnalisme inklusi, menempatkan perempuan pada posisi-posisi strategis di redaksi, memberi tempat pada narasumber-narasumber perempuan. 

Di sisi lain, adapula kesadaran jurnalis itu sendiri untuk mengedepankan peliputan yang lebih berspektif gender dengan hadirnya aliran-aliran di ilmu jurnalistik seperti jurnalisme inklusif, jurnalisme berpespektif gender, jurnalisme damai, jurnalisme keberagaman, dan seterusnya.

Akan tetapi menyuarakan isu kesetaraan gender tidak bisa mengandalkan pers sepenuhnya, masyarakat sipil memiliki peran tersendiri, salah satunya dengan menulis.

“Mungkin para jurnalis atau perusahaan media bisa jadi mereka berusaha memperbaiki diri sendiri ya supaya tidak terjebak kepada budaya laki-laki tadi menyebarkan mitos. Tapi dari sisi kita, dari teman-teman mahasiswa, teman-teman komunitas yang bisa juga kita menyampaikan suara kita dengan tulisan esai yang kritis gitu. Untuk menyuarakan bahwa situasi ini merugikan perempuan,” jelas Iman saat mengakhiri pemaparannya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Kekerasan Seksual

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//