Perlawanan Warga Padang Halaban untuk Mempertahankan Ruang Hidup dari Penggusuran oleh Perusahaan Sawit
Warga Padang Halaban menghadapi penggusuran. Mereka mempertahankan lahan yang tersisa dari ribuan hektare yang semula mereka kuasai sejak zaman Sukarno.
Penulis Resha Allen Islamey 9 April 2025
BandungBergerak.id - “Kami semua diangkat, bahkan ada kawan kami yang kena tembak, [pada tahun] 2012,” sebut salah satu warga Padang Halaban, menceritakan kasus-kasus kekerasan aparat ketika warga merebut kembali ruang hidup mereka yang terancam bersengketa dengan perusahaan sawit.
Saat ini warga Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara tengah dalam ancaman penggusuran setelah keluarnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Rantau. Bersama koalisi masyarakat sipil warga Padang Halaban tengah berupaya mempertahankan hak hidup mereka. Itu pun mereka hanya menuntut hak lahan yang tersisa, 83,5 hektare dari yang semula 3.000 hektare.
Warga Padang Halaban menceritakan perampasan ruang hidup itu dalam sebuah film dokumenter Padang Halaban: Desa yang Hilang yang diputar di Perpusatakaan Bunga di Tembok, Rabu, 26 Maret 2025. Selepas nonton bersama, acara dilanjutkan dengan seri diskusi Batjaan Liar yang kelima, bertajuk “Ekonomi Politik Penggusuran Padang Halaban”. Disusi ini merefleksikan kasus-kasus perampasan lahan yang marak terjadi dan memerlukan solidaritas.
Warga Padang Halaban mulanya mantan buruh perkebunan sawit milik perusahaan Belgia-Belanda dan Inggris, ketika boom komoditas sawit awal abad ke-20. Setelah revolusi kemerdekaan, kata Pandu Sujiwo, peneliti Agraria Resource Center, warga telah menduduki lahan seluas 3.000 hektare sebagai permukiman. Bahkan warga telah melakukan reforma agraria sebelum disahkannya kebijakan Sukarno pada tahun 60-an.
“Jadi, mereka secara mandiri melakukan land reform (reforma agraria) secara mandiri. Masing-masing individu dapat dua hektare,” tegas Pandu, di acara diskusi.
Orang dan Ruang yang Hilang
Pandu mengulas balik pemberangusan (genosida) dengan nuansa politik yang berimbas pada perasampasan lahan milik warga Padang Halaban, pascaperistiwa G30S 1965. Warga masih ingat betul peristiwa yang menimpa di masa penuh tragedi. Pandu mencatat, hampir 200 orang hilang pada momen gelap pemberantasan PKI. Itu pun baru dari satu desa.
Kekersaan tragedi 1965 diwakili kesaksian warga yang dikutip dalam film dokumenter Padang Halaban: Desa yang Hilang. “Mau minum? Minum! [korban dipaksa meminum] air kencing. Saksikan ini, Pak, gembong PKI,” kata kesaksian warga, mengingat kekerasan yang dialami warga kala tragedi 1965.
Berbeda dengan banyak pembacaan atas peristiwa 65 yang berfokus pada proses kekerasan, Pandu menemukan tesis bahwa sebetulnya peristiwa itu merupakan naluri ekspansif kapitalisme. Padang Halaban merupakan contoh terjadinya perubahan struktur masyarakat di Indonesia tadinya bercorak sosialis menjadi kapitalistik.
Sejak awal keberadaan warga dan perusahaan, Pandu menjelaskan, Padang Halaban dapat dikategorikan memiliki struktur masyarakat perkebunan. Berbeda dengan setelah tahun 1942, strukur masyarakat menjadi sosialis dengan membagi rata lahan, ekonomi membaik, dan politik berjalan demokratis. Sehabis genosida 65, kembali masyarakat menjadi perkebunan kapitalis.
Pandu melihat tragedi 1965 yang membasmi gerakan politik kiri juga bersinggungan dengan motif penguasaan lahan. “Ketika orang sudah dihabisi sebagai identitas politik, kemudian lahan mereka diambil alih,” sebut Pandu.
Secara formal, negara mengakui daerah administratif Padang Halaban melalui Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) pada tahun 1954. Tahun 1967 warga memutuskan kembali ke tanah mereka meski harus berhadapan dengan teror. Namun, Pandu mengungkap temuan risetnya bahwa perusahaan dan negara menarik paksa KTTPT melalui kepala desa dengan dalih menaikan statusnya menjadi hak milik.
“Ketika KTTPT-nya sudah diambil, perusahan dengan bantuan tentara melakukan penggusuran dan penghapusan satuan desa. Tiga desa di Padang Halaban [digusur menjadi kebun sawit] dan tiga desa lain diperkecil. Permukimannya dihilangkan seolah tidak pernah ada permukiman,“ jelas Pandu. Sebagian warga yang bertahan dipaksa kerja di perusahaan penggusur dan perusahaan yang dikuasai tentara lainnya.
Selain proses penggusuran yang panjang, Deti Sopandi seorang perwakilan PBHI mengatakan, warga Padang Halaban mengalami kekerasan berlapis. Walaupun warga telah memiliki dasar hukum kepemilikan tanah, Deti menyebut, negara melakukan pendekatan pertahanan.
“Sialnya negara melakukan pemberangusan, pembantaian, bahkan dokumen-dokumen yang penting untuk warga [dirampas]. Penindasasnnya berlapis,” kata aktivis hukum dan hak asasi manusia ini.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Menyerukan Setop Penggusuran Padang Halaban
Warga Sukahaji Menolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpuluh-puluh Tahun
Padang Halaban Melawan
Tanggal 28 Februari 2025 lalu, warga Padang Halaban menerima surat perintah penggusuran sebagai tindak lanjut putusan PN Rantau Prapat. Berkat solidaritas masyarakat sipil, dua warga Padang Halaban diberangkatkan ke Jakarta demi menggalang solidaritas dan audiensi untuk menarik mundur aparat dari ruang hidup mereka.
Sedangkan di Padang Halaban, polisi meminta warga melepas lahan. Sehari sebelum rencana penggusuran 6 Maret, polisi dan tentara juga meminta warga untuk berbuka bersama hingga mendirikan tenda. Kedua tawaran tersebut tentu ditolak warga.
Melihat perlawanan warga, Deti merefleksikan konflik agraria yang terjadi di Bandung. Dia menerangankan, proses hukum dapat dilakukan secara ligitasi melalui peradilan dan nonlitigasi yang dilakukan dengan mendesak instansi negara di luar peradilan, seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI agar berpihak para rakyat yang bersengketa. “Apakah perusahaan melakukan mal-administrasi soal HGU (hak guna usaha)?” tanya dia, ketika harus berusan dengan konflik agraria di Bandung.
“Selain tadi ada pola-pola upaya hukum, kita juga jangan luput dalam membaca internal perjuangan rakyat,” Deti mengingatkan. “Untungnya warga Padang Halaban punya karakter kolektif. Itu menjadi modal dasar untuk berjuang,” katanya.
Menyambung Deti, Iman Herdiana, Editor Bandung Bergerak, turut merefleksikan persoalan media yang sering luput mengawal kasus agraria. Ia melihat, menjamurnya media yang ada di Indonesa mengawal kasus agraria hanya ketika ramai diperbincangkan dan setelah itu ditinggalkan. “Sementara jauh jauh sebelum itu seolah tidak ada,” ucapnya.
Hal itu menurutnya karena ekosistem bisnis media yang kepemilikannya terpusat dan terbatasnya sumberdaya media alternatif. Mengakhiri diskusi, Iman berpesan agar kita selalu berpihak kepada isu masyarakat banyak. Persoalan yang menimpa Padang Halaban meski secara geografis jauh, menurutnya, bukan isu yang jauh dari keseharian. Melainkan persoalan agraria yang juga menimpa warga Bandung seperti Tamansari dan Dago Elos.
“Perlu jadi perhatian kita karena kemarin KPA merilis [bahwa negara] akan merevisi juga UU Pokok Agraria. Tentu akan lebih berpihak kepada investor dari pada rakyat kecil,” pungkasnya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lainnya dari Resha Allen Islamey, atau artikel-artikel lainnya tentang PENGGUSURAN