Koalisi Masyarakat Sipil Menyerukan Setop Penggusuran Padang Halaban
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Padang Halaban menyerukan #KamiBersamaPadangHalaban. Negara harus menghormati hak asasi manusia.
Penulis Iman Herdiana25 Maret 2025
BandungBergerak.id - Koalisi masyarakat sipil mengecam keras upaya penggusuran penduduk di Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Perjuangan warga di Perkebunan Padang Halaban, khususnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPH-S) sudah berlangsung sejak lama.
Menurut Koalisi dalam keterangan resmi yang diakses BandungBergerak, Selasa, 25 Maret 2025, warga di Perkebunan Padang Halaban yang terdiri dari enam desa merupakan korban pengusiran orang secara paksa (penggusuran) yang terjadi pada tahun 1969-1970, yaitu Desa Sidomulyo, Desa Karang Anyar, Desa Sidodadi/Aek Korsik, Desa Purworejo/Aek Ledong, Desa Kartosentono/Brussel, dan Desa Sukadame/Panigoran. Luas keseluruhan dari desa tersebut lebih kurang adalah 3.000 hektare.
“Warga telah menempati dan bermukim di wilayah ini sejak masa pendudukan Jepang. Wilayah yang pada mulanya merupakan area perkebunan sawit dan karet milik perusahaan asal Belanda - Belgia selama periode penjajahan Belanda, secara perlahan berubah menjadi dusun-dusun dan area pertanian rakyat,” kata Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari organisasi masyarakat dan individu.
Akan tetapi, dalam catatan Koalisi, pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan lebih berpihak kepada kepentingan kapital daripada kepentingan rakyat malah menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) yang mencakup area permukiman dan pertanian rakyat di Perkebunan Padang Halaban. Sejak tahun 1970, berbagai upaya untuk mendapatkan keadilan telah dilakukan oleh warga Perkebunan Padang Halaban, namun tetap tanah yang diperjuangkan tidak kunjung dikembalikan.
Akibat kebuntuan proses dan tidak mendapatkan kepastian, hingga pada tahun 2009, secara kolektif perwakilan dari enam desa warga perkebunan Padang Halaban menduduki (reclaiming) area yang merupakan bekas desa mereka seluas 83,5 hektare dari keseluruhan 3.000 hektare, yang saat itu telah menjadi HGU perusahaan.
Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat pada tahun 2014 yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan pada tahun 2015 dan Putusan Mahkamah Agung pada tahun 2016 telah membuat warga Perkebunan Padang Halaban sebagai korban pengusiran secara paksa menjadi kehilangan harapan atas sejarah yang pernah mereka miliki.
Pengadilan telah menjatuhkan putusan No. 488/PAN.PN/W2.U13/HK2/II/2025 untuk melakukan eksekusi penggusuran atas lahan yang telah mereka tempati pada Jumat, 28 Februari 2025. Selama dalam penguasaan, lahan tersebut menjadi tempat permukiman serta lahan yang dimanfaatkan untuk menghasilkan tanaman pangan sebagai upaya bertahan hidup.
Warga Perkebunan Padang Halaban hanya butuh penghidupan untuk masa depan anak cucu mereka sehingga penting bagi mereka untuk mempertahankan tanah tersebut sebagai identitas yang melekat pada jati diri mereka. Terlebih lagi mereka merupakan korban pelanggaran berat HAM masa lalu, yaitu kejahatan tahun 1965-1966.
Penggusuran ini menambah catatan hitam operasi perkebunan besar di Indonesia, terutama perkebunan sawit. Dalam sepuluh tahun terakhir (2015-2024), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat operasi industri perkebunan besar di Indonesia telah menyebabkan 1.243 letusan konflik agraria di atas tanah seluas 2,8 juta hektare dan berdampak pada 431 ribu keluarga di berbagai daerah. Sementara perkebunan sawit menyebabkan 488 letusan konflik dengan luas mencapai 1,2 juta hektar dengan (satu) juta hektar dengan korban terdampak 200 ribu keluarga (2018-2024).
Seperti yang terjadi saat ini. Aparat kepolisian dan tentara serta alat berat telah ditempatkan di area pemukiman warga perkebunan Padang Halaban. Oleh karena itu, kami mengajak seluruh masyarakat untuk turut bersolidaritas dan menekan sejumlah lembaga pemerintahan agar tidak melakukan penggusuran di perkebunan Padang Halaban dan agar menarik seluruh aparat kepolisian dan tentara dari area tersebut. Apabila tindakan ini tidak dilakukan, kami khawatir akan terjadi kekerasan yang sangat masif dan terjadi kembali pelanggaran berat HAM di perkebunan Padang Halaban untuk kesekian kalinya.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut menghentikan seluruh proses penggusuran di Perkebunan Padang Halaban, terlebih lagi waktu yang bertepatan dengan bulan suci Ramadan; aparat negara dituntut mundur dari perkebunan Padang Halaban; Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dituntut memberi perlindungan terhadap hak atas lahan warga Padang Halaban serta mencabut izin Hak Guna Usaha (HGU) di sana; Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dituntut melakukan pemantauan dan menjamin perlindungan HAM kepada warga Perkebunan Padang Halaban.
Baca Juga: Warga Sukahaji MeWarga Sukahaji Menolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpunolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpuluh-puluh Tahun
Banjir, Kawasan Bandung Utara, dan Penggusuran
Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Aksi Kamisan
Dua perwakilan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) mengikuti Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka pada Kamis, 27 Februari 2025. Mereka datang dari Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara (Sumut).
Dikutip dari Tempo, kedua wakil petani Sumut itu adalah Misno (62 tahun) dan Suherman (71 tahun). Dua pria kurus berbatik itu mengikuti acara dengan takzim. Mereka memperhatikan setiap orasi, pembacaan puisi, hingga penampilan musik oleh peserta Aksi Kamisan.
Misno mendapat kesempatan berorasi. Ia mengatakan, setuju tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diungkapkan peserta aksi. Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya juga mengalami hal serupa.
"Sejak 1970, bukan hanya sebatas orang yang hilang," kata Misno di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada Kamis, 27 Februari 2025. "Enam desa hilang, empat desa diperkecil dan tiga desa tidak tersisa."
Ia menjelaskan, pada tahun tersebut, warga enam desa tersebut mengalami penggusuran paksa. Pada petani itu terus berjuang saat reformasi pada 1998 lewat berbagai demonstrasi maupun surat-surat kepada para pejabat.
"Jadi pada 2009, kami beranikan diri untuk me-reclaiming atau menguasai lahan seluas 83,5 hektare," tutur Misno.
Lahan Perkebunan Padang Halaban itu mereka pertahankan hingga saat ini. Sehingga sudah 16 tahun tanah tersebut mereka duduki kembali. Namun, lahan tersebut akan dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang memutuskan lahan tersebut dikuasai korporasi.
*Kawan-kawan bisa mengakses artikel lainnya tentang PENGGUSURAN dalam tautan ini