• Opini
  • MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #5: Guyang, Rantang, dan Lapang

MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #5: Guyang, Rantang, dan Lapang

Lebaran di Bandung zaman baheula menunjukkan perkawinan tradisi dan agama. Saling mengantarkan kebahagiaan dan mengikat tali silaturahmi.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Karikatur tradisi ngadulag pada saat lebaran di masyarakat Priangan tempo dulu. (Sumber: buku Ramadhan di Priangan, Haryoto Kunto)

10 April 2025


BandungBergerak.idSaat asyik membaca koran Pikiran Rakyat seorang kawan lama datang menghampiri: "Lebaran di Lembur?". Kujawab dengan singkat, "Insyaallah!". "Ari di Garut (Bungbulang) masih aya tradisi ngabedahkeun balong sateuacan lebaran?" lanjut temanku. "Duka ayeuna mah, pami kapungkur waktos abdi masih alit mah osok pisan!", jawabku. 

Justru pikiranku melayang ke kampung halaman di Bungbulang, Garut Kidul yang terkenal dengan sebutan Kandangwesi. Terbayang suasana riang gembira jelang (saat) Idul Fitri, ngadulag di masjid, ngarak bedug keliling Alun-alun, ngabedahkeun balong (Pa Haji); lauk kumpay, perang lumpur, nganteuran rantang, takbiran sambil mengetuk rumah warga untuk meminta jajabur, salat Id di lapangan dengan memakai baju anyar, rekreasi, dan jalan-jalan ke sungai (Rancabuaya, Cijayana), gunung (wayang, bedil, buled), sawah dan curug (Sang Hyang Taraje). 

Foto atas, lebaran 2009 Kaka Fia, anak pertama, lahir di Puskesmas Bungbulang, Garut Kidul. Bawah, Kaka Fia usia 2 tahun di Babakan Dangdeur Cibiru; 3 tahun di Sawah Joglo Bungbulang setelah lebaran; 4 tahun di Villa Kancil Kampoeng Sunda (foto kiri ke kanan). (Sumber: Dokumen Penulis)
Foto atas, lebaran 2009 Kaka Fia, anak pertama, lahir di Puskesmas Bungbulang, Garut Kidul. Bawah, Kaka Fia usia 2 tahun di Babakan Dangdeur Cibiru; 3 tahun di Sawah Joglo Bungbulang setelah lebaran; 4 tahun di Villa Kancil Kampoeng Sunda (foto kiri ke kanan). (Sumber: Dokumen Penulis)

Tiga Aktivitas Menyambut Lebaran

Untuk tulisan ini difokuskan pada tiga aktivitas berbagi, bersilaturahmi, dan beribadah. Selepas salat, ngaji subuh sambil ngabeubeurang satu (dua) hari menjelang lebaran, kemudian dilanjutkan tradisi ngabeudahkeun balong. Bada salat asar sambil ngabuburit ikut tradisi nganteuran ke sanak saudara dengan membawa rantang, pipiti (besek) bagi Pa Lebe, Naib, Abah, Enin, Uyut yang jauh; nyiruan (piring) untuk tetangga dekat. Besoknya melaksanakan salat Idul Fitri di lapangan (Alun-alun) sambil salam-salaman, meminta maaf atas segala khilaf dan dosa, wilujeng boboran siam!.

Ingat, tradisi ngabedahkeun balong menjadi bukti nyata atas pentingnya berbagai kebahagian dan harmonisasi budaya Sunda dengan Islam sebagai petanda identitas muslim Jawa Barat yang berpijak pada khazanah kearifan lokal.

Ngabedahkeun Balong

Dahulu, saat masih kecil di Kampung Darussalam. Aktivitas ngabeudahkeun balong memang sangat asyik dan ditunggu-tunggu anak-anak. Pasalnya, setelah mengeluarkan (mengeringkan) air kolam untuk dibersihkan, menangkap ikan dengan jala, sirib, ayakan, tangan kosong alakadarnya, tibalah waktunya guyang, perang lumpur dengan sanak saudara, handai taulan.

Dalam satu tahun kebiasaan ngabedahkeun balong dilakukan dua (tiga) kali: menjelang lebaran (Idul Fitri), Rayagung (Idul Adha). Untuk yang tiga kali biasanya (ditambah) dilakukan pada saat munggahan. Sungguh indah kebersamaan.

Mang Obar, tukang beberes di Pa H Hasan, tokoh masyarakat, mertua Pa H Kodir Eka Jaya, orang terkaya pada masa itu yang dibuktikan dengan banyaknya sawah, balong, tanah yang luas. Bru di juru bro di panto, ngalayah di tengah imah. Saat janari gede (kongkorongok hayam), air balong disaatan, dalam waktu 1-2 jam air dalam kolam surut, hingga kelihatan ikan berenang ke sana ke mari. Mulai dari ikan emas, tawes, tambakan, nila, gurame, mujaer, nilem, lele, bogo, beunteur, beureum panon, sepat, tampele, patin, impun, tumras sampai udang (hurang).

Tentunya di atas balong selalu ada pacilingan tempat khas perdesaan untuk bubuang kakus, miceun, kabeuratan. Pacilingan biasa terbuat dari bambu, berdinding anyaman bilik tapi tak beratap, berlantaikan dari potongan bambu golondongan dengan memakai lubang untuk pancuran tepat di tengah-tengah bangunan. Pintunya terbuat dari anyaman bambu, malah terkadang ada yang sengaja dipasang dari karung goni (spanduk partai, pilkada, pilgub, pilpres).

Tinggi pacilingan disesuaikan dengan ukuran kolam. Rupanya pacilingan tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembuangan kotoran, tapi menjadi sarana gegeroh, mencuci piring, sisa makanan langsung dibuang dan disantap ikan. Cemplung!

Waktu carangcang tihang jadi pertanda dimulainya mengambil ikan. Sebelumnya dilakukan berdoa terlebih dahulu oleh kokolot, orang tua, pemilik balong agar saat ngabedahkeun terhindar dari marabahaya, petaka yang tidak diinginkan. Nabedahkeun diharapkan mendapatkan keberkahan berlimpah dari hasil panen ikan.

Sepekan (atau tiga) hari menjelang ngabedahkeun balong Pa H Hasan (Pa H Ruslan, Pa H Iing) anak-anak sudah mendapatkan informasi berharga itu. Tiba waktunya ngabedahkeun, selepas ngaji subuh (balebat) biasanya sarung, peci, baju salat disimpan di masjid. Pakaian main, kaos oblong partai, kolor cap tepung jadi andalan untuk mengikuti tradisi leluhur ini.

Orang tua, pemilik balong, tetangga dekat ditugaskan langsung mengambil ikan-ikan besar menggunakan sirib, ayakan yang hasil tangkapannya dimasukkan ke buleng, tolombong. Sebelumnya telah dibuatkan kokobak, ya semacam penampungan sementara ikan-ikan yang akan dijadikan bibit untuk nantinya dilepas, dipelihara di kolam yang sudah dibersihkan terus dikeringkan selama 1 minggu (1 bulan). Bentuk kokobak mirip balong, tapi kecil ukurannya 1x2 meter (2x2 meter) dan tepat berada di mata air atau air yang biasanya dialirkan ke pacilingan dipakai sementara untuk mengairi kokobak ini.

Anak-anak tidak diperbolehkan menangkap ikan-ikan besar, kecuali nyungseb ke dalam lumpur. Eta bisa aya leled samak! Hanya bisa menangkap ikan dengan alakadarnya, menggunakan tangan. Ya boleh memakai ayakan untuk mengambil impun, tumras, hurang. Sungguh senang, bahagia ketika ada ikan-ikan yang bisa melewati sirib, ayakan, sesekali terdengar gelak tertawa saat ikan-ikan masuk ke dalam celana (kolor cap gajah), termasuk saat ikannya bersarang di sepatu boot. Pasti geli (ajret-ajretan) minta tolong untuk diambilkan ikannya.

Selesai ikan-ikan besar di masukan ke kokobak. Ada yang dipilih untuk dibagi-bagikan (sengaja dijual) kepada tetangga, kerabat. Saat itulah waktu yang ditunggu-tunggu anak-anak beraksi untuk perang lumpur. Guyang sambil main ucing-ucingan, saling lempar lumpur jadi kebanggaan. Yang muka cemong dengan lumpur terbanyak jadi tanda kalah permainan dan yang sedikit dijadikan pemenangnya.

Terkadang pemilik balong suka ikut-ikutan berbuat jahil dengan memanggil anak-anak untuk memberi tahu ada ikan besar melawati aliran air yang berasal dari kokobak, tanpa komando barudak langsung mencari ikan, ketika rame-rame berkumpul di aliran itu tiba-tiba salah seorang anak didorong, hingga jatuh tersungkur di tengah-tengah balong, mukanya penuh lumpur. Tak ada kata-kata marah-marah, sumpah serapah, mencari kesalahan siapa yang melakukan perbuatan itu justru semakin menjadi perang lumpur, nya bari guyang siga munding, istilah Mang Obar untuk menggambarkan kondisi semakin brutal anak-anak ucing-ucingan.

Dur bedug lohor menjadi pengingat untuk berhenti dari ngabedahkeun balong dengan segala aktivitas guyangnya. Walhasil, mandi dan bersih-bersih diri, mencuci pakaian di Cibalubur Loa (Sasak) jadi penutup kebiasaan menjaga, merawat tradisi leluhur karuhun urang, yang sekarang mulai ditinggalkan dan dilupakan diganti dengan permainan gedget.

Dalam buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) dijelaskan menguras empang ikan (Sunda Ngabedahkeun balong) dan kongkurs lelang ikan dilakukan sebelum memasuki Ramadan, secara gotong royong.

Seperti kita ketahui, kawasan selatan Kota Bandung baheula banyak dijumpai balong (empang ikan). Seperti yang terdapat di Buahbatu, Cigereleng, Ancol, Leuwipanjang, Tegallega, Pasirkoja, dan Kopo. Nah, pada hari-hari menjelang Ramadan, banyak peternak ikan yang umumnya para tuan tanah dan saudagar Bandung, menguras balong ikannya.

Selain dijual di Pasar Ikan Cigereleng (kini Jl. Moh Toha dekat PT Inti) hasil tangkapan bibit ikan emas yang istimewa ukuran, berat, warna, dan kebugarannya diperlombakan dalam sebuah kongkurs untuk akhirnya dilelang kepada masyarakat umum.

Ikan emas yang umumnya dipelihara lebih dari satu tahun, sering kali diberi nama kesayangan, seperti: Si Geboy, Si Nyonya, Si Nona, Si Kumpay, Si Oneng, Si Randa Midang, dan lain-lain. Saking sayangnya si pemilik ikan emas dari Pasirkoja kepada Si Nyonya peliharaannya, sirip ikan itu dipasangi anting emas sepasang.

Konon bibit emas Si Nyonya yang beratnya sekitar 15 kilogram itu, sempat menggondol Prijs No. 1 dalam kongkurs ikan di Pasar Cigereleng. Dan tatkala pepes Si Nyonya dengan bumbu ala Majalaya dihidangkan sebagai lauk pauk berbuka puasa hari pertama Ramadan, keluarga menak Bandung yang menyantapnya begitu ponyo, enak, dan nikmat, sehingga perut buncit dan padat. Susah bangkit, ruku, dan sujud ketika mengikuti salat tarawih di Masjid Agung (Haryanto Kunto, 1996:31-32).

Mari kita bandingkan dengan buku Mosaik Ramadan: 13 Cerita Seru Seputar Ramadan terdapat tulisan Ramadanku di Kebun Raya Bogor, yang ditulis Rizanti Kadarsan, menegaskan tradisi ngabedahkeun balong justru dilakukan sebelum lebaran tiba.

Mengenang masa-masa indah saat kecil selalu membuatku semringah. Membangunkan emosi yang kadang menggugah senyum, kadang juga membuat mata berkaca-kaca. Lembar-lembar kenangan berkelebat cepat di memoriku, lalu jari-jari ini berpacu untuk menuangkannya dalam tulisan.

Semua orang mempunyai kenangan masa kecil, seperti rumah masa kecilku yang sangat istimewa dan terlalu indah untuk dilupakan. Sejak lahir, kami tinggal di sana, sampai kenduri pernikahan pun semua terjadi di rumah tersebut. Ya, kami empat saudara yang sangat beruntung. Rumah masa kecil kami terletak di dalam Kebun Raya Bogor karena Ayah dinas di sana. Rumah berdinding batu dan beratap sirap itu menjadi saksi kami tumbuh dan berkembang.

Seperti juga rumah-rumah Sunda pada umumnya. Aki pun mempunyai kolam ikan, namanya Balong. Kolam itu berisi bermacam ikan domestik seperti ikan tawes, mujair, nilem, dan lainnya. Aki terkadang menyuruh kami ngabedahkeun balong yaitu menangkap ikan-ikan dengan cara menyurutkan sebagian airnya. Lalu, kami jaring memakai kecrik.

Ternyata tidak mudah menangkap ikan. Walaupun sudah berkelebatan di air yang dangkal. Badan ikan yang licin membuatnya mudah lepas dari tangan. Aki tertawa gembira melihat cucu-cucunya kepayahan. Sebuah kegiatan yang sangat menyenangkan. Ikan-ikan itu pun kemudian digoreng atau dipepes untuk dijadikan lauk berbuka puasa (Yeni Akram, ‎Rizanti Kadarsan, ‎Rohmah Rahmawati · 2020:10-11).

Ikan-ikan hasil ngabedahkeun balong tidak dibawa pulang ke rumah menggunakan plastik (keresek) karena belum lazim dan tidak biasa di wilayah Turki (turunan pakidulan), tapi dilakukan dengan cara ditiir. Ya, semacam tali terbuat dari bambu yang ditusukkan melalui insang ke luar dari mututnya. Bila ikan yang ditiirnya banyak dapat tersusun rapih sampai atas, hingga agak susah untuk dipegang (dijinjing) anak-anak. Ampun beurat yeuh!

Mengirim hantaran memakai rantang dengan isi berbagai jenis masakan yang dibuat Ema di rumah, merupakan kebiasaan sehari sebelum lebaran. (Ilustrasi hasil olah foto dari berbagai sumber oleh T. Bachtiar)
Mengirim hantaran memakai rantang dengan isi berbagai jenis masakan yang dibuat Ema di rumah, merupakan kebiasaan sehari sebelum lebaran. (Ilustrasi hasil olah foto dari berbagai sumber oleh T. Bachtiar)

Nganteuran

Selain ngabedahkeun balong, kebiasaan nganteuran, silih anteuran, ngiriman jeung mawakeun jadi tradisi bersilaturahmi di tengah-tengah masyarakat perdesaan kerap terjadi dan menjadi bukti takzim kepada guru, berbakti kepada orang tua, mencintai antara sesama, dan menyayangi anak-anak.

Bapak Totong, panggilan cucu-cucunya kepada Kakek dari Ibu yang berada di Kampung Panyingkiran dekat SMP Bungbulang pernah menjelaskan adanya kebiasaan nganteuran rantang  untuk mempererat tali persaudaraan, bertatap muka dengan kokolot, saling berbagi kebahagiaan menjelang lebaran supaya heunteu pareumeun obor.

Pada umumnya nganteuran rantang terdiri dari empat susun yang bisa dibawa dengan cara dijinjing dan berjalan kaki oleh anak-anak saat bersilaturahmi kepada sesepuh (Uyut, Kakek, Kaka tertua) Paraji, tokoh (Pa Lebe, Naib, Ajeungan) sambil ngabuburit. Terkadang saling berpapasan dengan rombongan barudak lain yang juga nganteuran (satu set, dua set rantang) ketika mengunjungi kerabat jauh dan disitulah baru tahu bahwa kita bersaudara, ada ikatan keluarga.

Isi rantang terdiri dari nasi panas, tumis kentang, bihun, ikan (emas, nilai, mujaer), daging (kerbau, domba, kambing), tempe, tahu, kerupuk udang. Setibanya di tempat tujuan, rumah saudara, bukan berarti tugasnya selesai, tapi harus menunggu rantang dikosongkan dan diisi kembali oleh Ema Ejot di Kampung Sindangwari atau Buruyut di Nagrak Cihikeu yang tadi dikirim rantang. Terkadang rantang yang terkirim langsung ditukar dengan rantang lainnya yang sudah disiapkan. Pakirim-kirim!

Meskipun jaraknya jauh dari Kampung Darussalam ke Kampung Sindangwari, ya sekitar 2-4 km jarak yang harus ditempuh dengan cara berjalan kaki sambil membawa rantang, apalagi ke Cihikeu yang berbeda Desa yang berjarak 4-6 km dengan kondisi jalan alakadarnya.

Namun, anak-anak selalu bersemangat menghantarkan rantang sebab pulang dari Ema, Buruyut selalu diberi oleh-oleh buka dan dikeupeulan acis (100-500 perak) untuk dijadikan bekal membeli makanan, minuman di jalan saat ngabatalan. Bila kapoekan dan telah datang waktu berbuka puasa di jalan sambil membawa cempor, obor yang terbuat dari paralak kelapa, oleh-oleh tadi (kolek cau, candil, sale) jajanan (es kalapa, sirop) jadi pembuka takjil.

Jika tiba di rumah lebih awal sebelum magrib, uang itu bakal dijadikan pegangan untuk membeli baso aci besok setelah salat Idul Fitri, sambil bersilaturahmi ke sanak saudara, kerabat, dan handai taulan.

Dalam tulisan Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (6): Sehari Menjelang Lebaran, T. Bachtiar menuliskan dengan detail ihwal berkirim kebahagiaan ini.

Seperti lebaran tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, sehari menjelang lebaran, Ema sudah memasak makanan khas lebaran untuk dibagikan kepada saudara dan tetangga dekat. Begitulah lazimnya, kami selalu saling berkirim kebahagiaan, saling mengabarkan kesehatan.

Tampak dari atas suasana Alun-alun Bungbulang, Garut Kidul. (Sumber: situs resmi Kecamatan Bungbulang)
Tampak dari atas suasana Alun-alun Bungbulang, Garut Kidul. (Sumber: situs resmi Kecamatan Bungbulang)

Selain berkirim kepada saudara dan tetangga, ada seorang yang selalu Ema kirim satu rantang susun makanan, yaitu paraji, orang yang sangat berjasa menolong persalinan Ema dengan baik dan selamat. Termasuk kelahiran saya tentunya, yang bayinya cukup besar, seperti pisang kastroli, katanya (sampai sekarang saya belum pernah mengetahui pisang kastroli!).

Panggilan kepada paraji itu didahului dengan kata ma, ibu: Ma Onoh. Rumahnya dekat irigasi, sungai buatan untuk mengairi sawah di selatan. Jaraknya sekitar 500 meter ke arah selatan dari rumah.

Sehari menjelang lebaran, saat masih kelas 2 SD tahun 1966, saya ikut mengantarkan makanan. Bila dibandingkan dengan tinggi badan, saya sesungguhnya tak sesuai untuk menjinjing rantang susun empat. Agar rantang tidak menyentuh tanah, badan saya sedikit dimiringkan ke kiri bila tangan kanan yang menjinjing, dan miring ke kanan bila tangan kiri yang menjinjing rantang. Saya kebagian mengirimkan hantaran kepada lima orang.

Isi rantang sudah disusun sehingga saat terguncang karena tersandung atau karena hal lain pada saat dijinjing, kuah masakan itu tidak sampai menetes ke makanan yang ada di bawahnya. Dua rantang paling bawah (rantang 4) diisi makanan yang sedikit berkuah, seperti lapis daging kerbau atau daging kerbau ungkep, dan gulai kering kacang merah. Di rantang ke tiga (3) disimpan ikan mas bumbu acar atau pesmol bumbu kuning dan sambal goreng kentang. Antarmasakan yang berbeda dialasi dan dibatasi daun pisang menggala. Rantang kedua (2) diisi nasi, sementara rantang paling atas (1) diisi kerupuk udang. Inilah kerupuk yang jarang kami makan karena sehari-hari cukup dengan kerupuk blek yang banyak dijual di warung Ma Uka.

Bila Ema selesai memasak pukul 11.00, pada siang itulah saya mulai mengirimkan hantaran dalam rantang itu. Berkeringat juga. Dan, yang paling menggoda adalah mencium wangi masakan. Lapis daging kerbau wanginya minta ampun.

Bila hantaran sudah selesai diantarkan, Ema membolehkan saya puasa setengah hari, sampai bedug lohor. Keputusan ini yang paling saya tunggu-tunggu setiap menjelang lebaran. Dapat dipastikan, saya tak henti-hentinya makan apa saja yang tersedia. Setelah itu saya tak berani ke luar karena akan ketahuan saya tidak berpuasa (Bandung Bergerak, 11 Mei 2021).

Pada cerita Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (9): Tradisi Kirim Makanan dalam Rantang Susun oleh Iman Herdiana menggambarkan secara apik betapa super sibuk ema-ema saat menjaga tradisi kearifan lokal di tengah-tengah gempuran modernisasi dan globalisasi.

Menjelang lebaran ibu-ibulah yang paling sibuk. Pasalnya harus memasak menyiapkan makanan menyambut lebaran, membikin masakan untuk tradisi nganteuran. Selesai membuat hantaran, Ema-ema masih mesti mengirimkan makanan ke masjid (musala, tajug). Pada hari lebaran, masjid kerap dipakai makan bersama sebagai bentuk rasa syukur setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa.

Ihwal saling mencicipi makanan lewat tradisi hantaran ini pernah dikaji Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) lewat penelitian ilmiah berjudul "Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa yang akan Datang" (2011) oleh tim peneliti yang dipimpin dosen sejarah Mumuh Muhsin Z, dengan anggota: Nani Sunarni, Dade Mahzuni, Rina Adyawardhina, Awaludin Nugraha, Sandya Maulana, N. Kartika.

Tim peneliti Unpad menemukan tradisi nganteuran lebaran sudah ada sejak tahun 1950-an, ketika tiga hari menjelang lebaran. Masa itu, masyarakat di Jawa Barat masih kental menjalankan tradisi saling kirim makanan lebaran dalam rantang. Di balik tradisi ini, tim peneliti melihat terdapat semangat silaturahmi dengan keluarga atau tetangga.

Dalam adat istiadat Sunda, budaya ini disebut silih anteuran. "Menyambut tibanya lebaran dan masih beberapa hari lagi puasa, masyarakat siap-siap memasak ketupat, opor ayam, tumis kentang dengan pete dan cabe hijau disertai nasinya. Bukan diada-adakan melainkan sudah menjadi tradisi ingin saling ngasaan masakan. Selain itu, silaturahim pun kian erat. Sebagai ungkapan rasa syukur, masyarakat mengentalkan dan mengeratkan silaturahimdengan cara saling asaan masakan," papar tim peneliti Unpad.

Sampai tahun 1960-an, tim mencatat, budaya saling kirim masakan lebaran masih tetap ada walau jumlahnya tidak terlalu banyak. Tahun-tahun berikutnya, budaya ini kian memudar atau meredup, mungkin karena kondisi ekonomi yang kian terpuruk sehingga ekonomi setiap keluarga masyarakat melorot. "Atau mungkin saja, semangat dan jiwa kekeluargaan semakin memudar?"

Peneliti menyimpulkan, banyak faktor menyebabkan hilangnya tradisi silih anteuran. "Akan tetapi yang jelas, sebenarnya budaya saling kirim itu sangat baik dalam merekatkan silaturahim."

Riset ini menegaskan tradisi hantaran yang dilakukan masyarakat Jawa Barat ketika lebaran sebagai bagian dari aktivitas tolong-menolong. Lewat tradisi ini, masyarakat saling berbagi. Orang yang tidak mampu bisa merasakan hidangan mewah hari raya.

Aktivitas mulia itu merupakan kelaziman di masyarakat. "Pada masa lalu, sekitar tahun 1950-an, ketika tiga hari menjelang Lebaran, masyarakat di Jawa Barat masih kental dengan budaya saling kirim makanan dalam rantang. Budaya ini ternyata merekatkan jalinan silaturahmi, dengan keluarga atau tetangga" (Bandung Bergerak, 13 Mei 2021 dan Pikiran Rakyat, 9 April 2024).

Dengan demikian, tradisi nganteuran rantang jelang lebaran melambangkan semangat gotong royong, kebersamaan, saling peduli, berbagi dan silaturahmi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda, terutama di Bungbulang Garut Kidul.

Baca Juga: MERAWAT ZIARAH INGATAN KURBAN #1: Nyate, Munding, dan Nyeker
MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #4: Godin, Dobling, dan Ucing

Keterampilan membuat kulit ketupat, juga pengetahuan tentang usaha dan jejaring pemasarannya, diwarisi warga secara turun-temurun.
Keterampilan membuat kulit ketupat, juga pengetahuan tentang usaha dan jejaring pemasarannya, diwarisi warga secara turun-temurun.

Lebaran

Rasanya tak afdal bila malam takbiran (Idul Fitri, Idul Adha) tanpa bedug, ngadulag di mesjid (keliling kampung, desa, kota). Pasalnya, aktivitas ngabedug membuat anak-anak, kawula muda gembira, saling membantu, membangun kebersamaan (gotong royong), hingga menjadi penanda kuatnya harmonisasi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.

Walhasil, saat tiba lebaran, mulai dari sahur, dilanjut setelah salat Subuh, Duhur, Asar, Magrib, Isa, malam takbiran, hingga selesai salat Idul Fitri terus dilakukan aktivitas ngadulag sebagai tanda meraih kemenangan atas sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

Bisanya warga Darussalam, Pasar Lama melaksanakan salat Idul Fitri, Idul Adha dengan menggelar sajadah di pojok selatan Alun-alun Bungbulang, tepatnya di depan SDN Bungbulang II (Sekarang SDN Bungbulang I). Bila sudah penuh bergeser ke sebelah utara, tepat di depan Kawadanaan (sekarang Kantor Kecamatan Bungbulang yang berdampingan dengan Kantor Desa Bungbulang) belakang GOR, Pasar Ceplak.

Alun-alun menjadi tampat syiar dan berbagai kegiatan dakwah Islam, termasuk saat salat Id. Sejak pagi warga Sabilissalam, Babussalam, Sukamanis, Warung Gantung mulai berdatangan, mengenakan pakaian baru, ginding, yang berwarna cerah, serba putih. Tentunya dengan membawa keluarga, sanak saudara di kota yang berbaris rapih di depan Puskesmas, Pasar Ceplak. Untuk warga Pasantren, Panyingkiran, Kaum yang lebih awal hadir biasanya menempati posisi tepat di depan Masjid Agung, KAU Bungbulang. 

Sungguh indah, sangat meriah, penuh kebersamaan suasana salat Id di wilayah selatan yang terkenal dengan Leuwi Jurig, Puncak Guha. Sebelum salat Id dimulai, sayup-sayup terdengar suara takbir yang menggema melalui pengeras suara (toa), bedug yang menandakan hari kemenangan telah tiba. Warga yang hadir biasanya sudah menyebar di sekitar Alun-alun, membawa sajadah, tikar, samak untuk salat berjamaah.

Selesai salat, suasana menjadi penuh kehangatan, rasa kebahagiaan dengan saling bermaaf-maafan, berjabat tangan, dan berpelukan. Suasana kebersamaan, keakraban semakin terasa, sebab banyak orang di dayeuh (dong sih, di gedong beberesih) pada mudik yang saling bertegur sapa dan berbagi cerita masa lalu, hingga meraih keberhasilannya.

Semakin Bahagia

Pada Idul Fitri tahun 2009 kebahagiaan semakin terasa dan bisa berkumpul dengan keluarga besar karena anak pertama, incu hiji-hijina istri lahir tepat saat lebaran tiba di Puskesmas Bungbulang.

Waktu takbiran berlangsung, ya sekitar pukul 23.30 perut istri terasa mulas. Padahal sebelumnya pada sore hari sambil ngabuburit diperiksa Bidan dan perkiraan lahiran awal Oktober, setelah ngobrol disepakati periksa lebih lanjut ke Puskesmas sambil jalan membawa segala keperluan anak balita. Tidak ke Ma Paraji. Alhamdulillah berkat bantuan seorang dokter, dua perawat lahirlah putri cantik tepat pukul 03.10 WIB.

Setelah salat Id, keluarga yang datang melaksanakan salat Idul Futri di Alun-alun tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tapi menjenguk orok ke puskesmas. Emang, Bibi, Aki, Nini pernah berkata: 

"Namina pasti Fitri nya pan lahirna waktos Idul Fitri?" 

“Henteu,” jawabku. 

Keluarga justru memberikan nama Fathia Khalfia, dengan harapan pada hari penuh kemenangan ini dapat memberikan dukungan untuk meraih segala keberhasilan, kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.

Saat asyik membuka album foto kelahiran anak pertama, Kaka Fia, tiba-tiba Aa Akil ikut nimbrung sambil berkata: "Ini Kaka Fia, ayo ceritain waktu Kaka nangkep ikan, tapi ikannya masuk ke celana dan sepatu boot, ya Bah! Cag, ah.

 

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang Ramadan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//