MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #4: Godin, Dobling, dan Ucing
Ramadan di masa kecil penuh dengan permainan tradisional. Ada juga godin, buka puasa di siang hari di tempat tersembunyi.

Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
30 Maret 2025
BandungBergerak.id - Saat asyik membaca buku Biografi dan Pemikiran Dadang Kahmad, Memilih Langkah Jalan Tengah yang ditulis Ensa Wiarna & Rudi Hartono dengan editor Iu Rusliana (Penerbit: Suara Muhammadiyah, 2025), tiba-tiba anak kedua, Aa Akil, yang selesai les di Komunitas Rumah Belajar Musi, bertanya, "Bah apa bedanya Mokel sama Godin?”
Kujawab singkat, "Sami-sami buka puasa teu acan waktosna!"
Aa Akil terus bertanya, "Emang ga boleh kan lagi sakit?"
"Ieu benten buka puasa dihaja, bari nyumput pas siang, teras saum deui dugikeun ka magrib!"
"Oh, kaya grebeg godin di Garut yang viral itu ya, Bah!
Justru pikiranku melayang ke kampung halaman di Bungbulang, Garut Kidul yang terkenal dengan sebutan Kandangwesi. Terbayang suasana Ramadan di Darussalam. Ngojay di Cibalubur (Sasak, Loa, Cirompang); Ngabeubeurang ka Ciparat, Tanjakan Kapten, Babakan Garut; ucing sumput, ucing babuk, ucing baledog, ucing bancak, ucing beling, ucing jida – pokona mah ucing-ucingan di Pasar Lama, ngabuburit ka alun-alun, kaum, Kawadanaan.

Rindu 3 Aktivitas Iseng
Dalam tulisan ini dibahas tentang tiga aktivitas iseng selama Ramadan: saat ngabeubeurang kerap diisi dengan segala permainan tradisional, salah satunya yang paling sering diminati ucing babuk menggunakan sarung. Untuk di siang hari selalu ada cerita, ngagodin; saat salat tarawih berlangsung, saling ngadobling.
Dulu orang tua mengajarkan anak berpuasa sejak dini. Saat kecil, sebelum melakukan puasa selama sehari penuh dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, untuk anak-anak diperkenalkan istilah puasa setengah hari. Ya, puasa sampai bedug lohor, kira-kira pukul dua belas siang, selebihnya bisa makan dan minum. Tentunya dengan iming-iming mendapatkan baju dulag lebaran bila tamat satu bulan penuh. Asalkan tidak ada yang batal (bocor) puasanya.
Ya, seperti anak-anak pada umumnya terkadang tamat puasa dalam satu hari, terkadang bocor. Rupanya agar terlihat masih puasa, padahal sudah makan minum hingga terjadilah keisengan selama Ramadan. Biasanya aktivitas ngagodin dilakukan secara sembunyi-sembunyi di sawah (joglo), cangkudu (Astana Anyar) sambil mengembala kambing, domba, kerbau, sapi dengan memakan mentimun yang ditemani kerupuk, tomat dirujak gula merah milik petani; di sungai (Cibalubur Loa, Cibalubur Sasak, Cirompang) minum air kelapa, (cai wahangan saat teuleum), ngadu (ngalinting) bako, merokok gudang garam merah selesai berenang.
Dengan alasan tidak kuat menahan lapar dan haus dan agar tidak ketahuan orang dewasa (orang tua), maka aktivitas ngagodin dilakukan secara diam-diam dan disengaja. Selesai makan, minum, merokok dilanjutkan puasa hingga waktu berbuka tiba. Walhasil, dikenal istilah puasa ayakan (nu aya nya dihakan).
Dalam tulisan Asal-usul Godin atawa Kenakalan Puasa Orang Sunda, Abdullah Alawi menguraikan: Pertama, kata godin berasal dari bahasa Arab yang diambil dari jalinan lafal niat puasa. Ya, niat puasa yang diajarkan guru ngaji dan orang tua adalah “Nawaitu shauma ghadin an adai fardhi syahri ramadhana hadzihis sanati fardhal lillahi ta’ala….”
Pada kalimat itu terdapat kata ghadin, yang berarti esok hari. Kenapa ada esok hari? Pasalnya niat puasa dibacakan selepas salat tarawih malam harinya.
Rupanya makna ghadin dalam jalinan kalimat niat puasa itu “diselewengkan” secara semena-mena. Di Sunda, godin artinya menjadi berbuka puasa. Penyelewengan itu menjadi berlapis karena berbuka puasanya dilakukan sebelum waktu magrib, siang hari. Ini artinya buka puasa ilegal. Jadi, godin, adalah penyelewengan makna kata yang berlapis-lapis.
Kedua, kata godin itu pada mulanya untuk mendeskripsikan anak kecil yang berbuka puasa sebelum magrib (puasa setengah hari). Godin digunakan karena di dalam bahasa Sunda tak punya istilah berbuka puasa ilegal. Pada awalnya tak sengaja, tapi berakhir jadi kebiasaan dan kesepakatan bersama.
Parahnya istilah itu justru dimanfaatkan orang-orang dewasa yang dilakukan secara terang-terangan. Semakin bermasalah lagi ketika dilakukan secara berjamaah.

Dulu, ketika orang dewasa yang melakukan godin dinilai sebagai aib, mereka akan menjadi perbincangan tetangga dan disindir ajengan. Karena itulah, biasanya godin dilakukan secara gerilya, di hutan, di tepi sungai yang sunyi, di danau sawah yang terpencil, di dalam goa yang gelap. Kalau bisa, pokoknya di tempat tanpa malaikat pencatat (NU Jabar, Jumat, 16 April 2021 | 14:00 WIB).
Ingat, sebagian masyarakat masih menganggap tindakan ngagodin itu sesuatu yang sebaiknya dihindari, bahkan terlarang. Pasalnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dapat merusak keutamaan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Untuk aktivitas ngadobling biasanya dilakukan saat salat tarawih berlangsung, terutama pada waktu ruku, sujud, terlebih bagi jemaah yang berada di paling belakang. Justru jadi incaran anak-anak, remaja.
Pada awalnya anak-anak salat tarawih (23 rakaat) tertib, aman untuk rakaat 2, 4, 6, 8, baru pada posisi belasan mulai goyang, tak terkendali, terjadi becanda, saling dorong ke kiri ke kanan, hingga membuat gaduh ketika terjadi saling dobling.
Biasanya diawali dari saling melepaskan (morosotkeun) sarung, berakhir saling menusukan kedua tangan yang digabungkan ibarat mau sungkeman, tapi bukan untuk salaman, melainkan ditujukan kepada pantat tepat saat seseorang (orang tua, dewasa, remaja yang sering terjadi antara anak-anak) tengah ruku (sujud) yang tentunya membuat seueul (mules, eungap) ulu hati ketika di-dobling. Sakitnya bikin mata berkunang-kunang.
Walhasil, keributan terjadi saat salat tarawih dan marbot masjid (Mang Ase, Mang Apud) menjadi penengah bila terjadi pertengkaran antar-barudak. Namun jarang terjadi baku hantam, adu jotos karena selesai salat seperti biasa. Ngadobling tidak memicu permusuhan, pertengkaran berarti. Justru jadi perekat salat tarawih dan kerinduan yang tak bisa dilupakan (dilakukan) saat beranjak menjadi dewasa. Era euy geus gede mah!
Dalam buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe), Haryoto Kunto menulis tentang keisengan di bulan puasa. Mulai dari Godaan Setan-Setan Kecil, sampai Ingar Bingar di Mesjid Agung yang berujung pada peristiwa openbaar H. Tajuddin.
Godaan setan-setan anak kecil kerap terjadi di Mesjid ”Asyukur” di Kebonkawung. Pada awalnya masjid ini merupakan sebuah surau wakaf ukuran kecil dengan model rumah panggung. Lantainya masih menggunakan palupuh, belahan bambu yang ditata sejajar.
Lewat lubang-lubang di antara bilahan-bilahan bambu di lantai, angin dan udara tertiup semilir membuat ruang surau menjadi sejuk, dingin, dan nyaman. Suasana ini bikin mengantuk orang-orang yang lagi tafakur dan puasa. Dari lubang-lubang palupuh di lantai surau itu "setan-setan" keisengan menggoda orang yang melaksankan salat tarawih.
Setiap bulan puasa datang, surau kecil di Kebonkawung meluas dibanjiri orang-orang yang datang tarawih. Anak-anak kecil yang biasanya belajar mengaji sambil menunggu bedug berbuka puasa nyaris tak tertampung di kala salat tarawih berlangsung. Mereka yang sering dianggap tukang bikin gaduh, diusir oleh marebot, penabuh bedug untuk mengikuti tarawih di emperan luar sekeliling surau.
Begitu tarawih dimulai, anak-anak bengal menyusup ke kolong surau, tepat di bawah tempat imam berdiri. Lewat celah bambu, sebatang lidi ditusukan pada telapak kaki imam yang memimpin salat, sehingga sang imam meliuk-liuk, menggeliat karena kegelian. Tentu saja, lafal bacaannya tersendat-sendat tak karuan. Sedangkan "setan-setan" kecil yang menggoda bubar lari berhamburan. Selain memasukan lidi ke telapak kaki, setan kecil terkadang melempar mercon tikus ke kolong surau. Membikin kaget dan galau orang yang lagi khusuk sembayang.
Ingar bingar di Masjid Agung. Sebagai bocah cilik, pada awalnya kita salat cuma ikut-ikutan. Tengok kiri, kanan, menyesuaikan gerakan badan. Ketika orang menyahut amin, anak-anak kecil berteriak nyaring “Amiiin!”. Istilah Sunda, ibadah kita kala itu baru menginjak taraf rubuh rubuh gedang.
Dulu pada dinding dan pilar ruang depan serambi Mesjid Agung, banyak kita dapati paku-paku yang menancap. Sebelum mengerjakan salat jamaah pria yang datang umumnya berganti busana dulu. Setelah memakai sarung, pantalon, dan celana dalam ditinggalkan, lalu digantungkan pada paku-paku yang tersedia di dinding dan pilar. Dengan kata lain, di balik sarung semua serba polos openbaar.
Sekali peristiwa tatkala Haji Tajudin, tetangga Uwa di Ancol lagi ruku salat tahiyyaatul masjid, buntut sarungnya terinjak anak-anak yang lalu lalang, langsung sarung melorot dan wow... aurat, aurat. Dengan gerak refleks dan sigap, Wak Haji menyambar sarungnya, lalu digulung dan cepat menguber setan alit pembuat gara-gara. Tentu saja mesjid jadi ramai, ingar binger, diselingi gelak tawa pengunjung.
Mohon dimaklum, kala itu belum ada satpam, keamanan dan ketenteraman masjid ditangani oleh marebot, penabuh bedug. Maka beliaulah yang paling berwenang mengambil alih, menangani "setan-setan" alit di Mesjid Agung. Namun karena sang marebot kelewat galak pada anak-anak, akibatnya fatal. Begitu usai salat tarawih, bedug yang biasanya seru dipalu orang kini sunyi sepi tak berbunyi. Ternyata mang marebot lari ke sana ke mari mencari kayu pemukul (panakol) bedug yang hilang disembunyikan anak-anak (Haryoto Kunto, 1996: 68-72).
Aktivitas yang tak kalah menarik isengnya, ketika terjadi ucing babuk, anak-anak sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan perang sarung. Biasanya dilakukan hampir setelah salat wajib (subuh, zuhur, asar, magrib dan isa) tapi yang lebih berkesan selesai salat subuh (tarawih), setelah orang tua, bapak-bapak, ibu-ibu tadarusan, anak-anak bermain di serambi masjid sambil ngadulag. Bosan dengan permainan ucing sumput, ucing-ucingan.
Tibalah waktunya ucing babuk sambil ngabeubeurang. Tempat yang asyik untuk perang sarung bukan di serambi masjid Darussalam, tapi bergeser ke Pasar Lama yang berjarak sekitar 10 meter dari masjid Darussalam. Ya terpaut satu rumah (Ceu Dewi) posisi kiri dari jalan raya dan 2 rumah (Pa H Ruslan, Pa H Iing) dari kanan menuju pasar.
Dulu lapangannya luas bekas Pasar Bungbulang karena dipindahkan lokasinya ke Sukamanis, warung Gantung yang sering disebut Pasar Baru. Proses pemindahan pasar dari yang lama ke baru terjadi pada era 1990an, tepatnya saat kenaikan kelas tiga ke empat SD tahun 1993/1994. Sekarang Pasar Lama, tanahnya milik Pa H Ruslan, berubah menjadi rumah, lapangan voli, sekolah Taman Kanak-kanak (TK).
Sebelum bermain "ucing babuk" biasanya dimainkan anak-anak setelah salat subuh, (ngaji pagi) sambil ngabeubeurang, bada salat asar, (ngaji sore) sambil ngabuburit, selesai berbuka puasa (menjelang salat isa), sesudah salat tarawih, menjelang sahur selama bulan Ramadan. Sarung yang digulung lancip mirip pedang jadi alatnya. Tentunya tidak ada benda tajam yang mengikat (dimasukkan pada ujung sarung). Apalagi untuk melakukan peperangan (menyerang lawan, musuh) saat tawuran terjadi.
Tujuan ucing babuk sebatas bersenang-senang, menghibur diri, merawat keceriaan di kalangan anak-anak, remaja. Tidak seperti sekarang banyak tawuran yang bahkan sampai merenggut nyawa orang lain. Ih serem!
Biasanya, permainan tradisional yang mirip kejar-kejaran ini melibatkan dua kelompok: Pertama, kelompok "ucing" (kucing) yang berusaha menghindar; Kedua, kelompok "babuk" (pemburu) yang berusaha menangkapnya. Setiap kelompok terdiri dari 5-10 orang.
Untuk kelompok ucing posisinya berada di depan masjid Darussalam. Sementara kelompok babuk di depan Pasar Lama. Jika jumlah besar antara 15-20 orang, lapangan Pasar Lama jadi tempat asyik buat ucing babuk. Kelompok ucing berada di lapangan Pasar Lama pojok kiri depan rumah Pa H Ruslan dan kelompok babuk di pojok kanan depan masjid kecil yang sering disebut Cicaduk Indah.
Dengan aturan main saling mengejar, yang kena langsung keluar (diam di tempat). Agar permainan berjalan lancar pasti ada yang diangkat sebagai wasit (penengah) bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. A Ipan (anak Ua) yang jadi algojonya. Anak-anak yang lain jadi penontonnya. Jika kena ujung sarung baik yang dialamatkan kepada ucing maupun babuk, pastilah terjadi teriakan "kena, beunang euy" dengan lantang sambil terdengar gelak tawa terbahak-bahak, bahagia.
Selama ucing babuk berlangsung, jarang, bahkan tidak pernah terjadi keributan, perkelahian, adu jotos apalagi. Pasalnya segala permainan tradisional (Ucing Sumput, Ucing Babuk, Ucing Baledog, Ucing Bancak, Ucing Beling, Ucing Jidar) didasarkan atas kegembiraan, kebersamaan, kejujuran, kebugaran fisik (jasmani), sesekali diwarnai kejahilan (keisengan) anak-anak. Indahnya berkumpul sambil bermain.
Baca Juga: MERAWAT ZIARAH INGATAN KURBAN #3: Pawai Obor, Syiar, dan Syair
MERAWAT ZIARAH INGATAN KURBAN #2: Samen, Pantai, dan Jalan Kaki
MERAWAT ZIARAH INGATAN KURBAN #1: Nyate, Munding, dan Nyeker

Ramadan Ceria
Suasana Ramadan selalu disambut suka cita semua orang, tak terkecuali anak-anak, remaja. Di saat bulan suci barudak bisa bermain ucing-ucingan, termasuk perang sarung. Meskipun ucing babuk bukan satu-satunya permainan dari sarung, sebab alat salat ini bisa (sering digunakan) untuk permainan tradisional lain, seperti berenang, membuat permainan, babalonan, drum sarung, eentogan.
Dalam liputan Ironi Perang Sarung di Bulan Suci, Tawa Hilang Nyawa Melayang dijelaskan, tempo dulu perang sarung lebih dikenal sebagai bentuk kejahilan anak-anak, remaja. Itu tidak berbahaya dan tak lebih layaknya permainan biasa. Mereka kejar-kejaran saling menyabetkan sarung mengenai musuh diteruskan teriakan, "kena, kena".
Ketua Komunitas Tjimahi Heritage Machmud Mubarok mengatakan, perang sarung sudah ada sejak tahun 1980-an. Awalnya perang sarung hanya candaan. Pasalnya sarung yang digunakan sama sekali tidak dipadukan dengan benda-benda yang membahayakan.
"Dulu itu namanya ucing babuk (kucing pukul), memang sama sarung diiket ujungnya untuk memukul lawan. Cuma tidak kriminal seperti sekarang," ujar Machmud.
Menurutnya, zaman dulu perang sarung menggunakan sarung murni, dan memang hanya sebatas candaan anak-anak ketika menunggu atau selepas salat tarawih.
"Dulu memang sarung saja. Ada di setiap Ramadan semua pada ngumpul di masjid sebelum tarawih main. Saya juga heran perang sarung sekarang malah batu, itu niatnya untuk mencelakai," katanya (Suara Kamis, 30 Maret 2023 | 09:14 WIB).
Ingat, segala bentuk permainan tradisional anak-anak ini bisa membawa keceriaan, mempererat persahabatan, dan memberikan gelak tawa di kalangan barudak. Permainan Ucing Sumput, Ucing Babuk, Ucing Baledog, Ucing Bancak, Ucing Beling, Ucing Jidar, Ucing-ucingan diharapkan dapat membantu anak-anak tetap aktif bergerak, enerjik, semangat yang membara yang sangat cocok dengan suasana gembiraan, keceriaan Ramadan.
Ketika asyik membaca, mencari informasi, referensi tentang Ramadan ceria bersama permainan tradisional, tiba-tiba anak kedua dan ketiga, Aa Akil dan Kakang datang membawa sarung, "Bah tolong buatin ninja-ninjaan dari sarung pasti seru dan sudah lama tidak main?"
Ku jawab singkat "Nya!"
"Daripada main perang sarung lebih baik ninja-ninjaan dari sarung, benar kan Bah," tegas Aa Akil sambil bernyanyi “Ramadhan Tiba / Pura Pura Puasa”:
Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
"Ramadhan tiba, Ramadhan tiba, pura-pura puasa, mulut bau rokok Surya. Kalau siang makan siang, kalau buka ikut buka.
Tidak puasa, tidak puasa. Indomie habis dua, minumannya Kukubima. Sahur makan nasi kuning, siang muntah nasi goreng.
Setelah subuh, ngantuk tertidur. Habis dzuhur, capek tertidur. Habis ashar, tanggung tertidur. Setelah maghrib, lanjut lagi tidur.”
Jadi teringat lagu Doel Soembang, “Tuturut Munding”:
Tuturut munding (meureunan reuseup ka munding)
tuturut munding (meureun kasurupan munding)
tuturut munding (boa boa ngelmu munding)
tuturut munding (kalakuan siga munding)
Batur lieur, milu lieur
Batur ngaco, milu ngaco
batur gelo, milu gelo
diajak baleg teu daek
Batur saur milu saur
batur buka milu buka
ti beurang batur puasa
manehna jajan samangka
Batur saur milu saur
batur buka milu buka
ti peuting batur taraweh
manehna cindeukul gapleh
Malem lebaran
batur di masjid takbiran
manehna sorangan
mabok ao di pengkolan
Poe lebaran
batur salembur solat id
manehna ngajoprak
dipepende ku jin iprit.
* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang Ramadan