Samen, Pantai, dan Jalan Kaki
Satu tradisi masyarakat Sunda untuk merayakan kelulusan, pembagian rapor siswa sekolah adalah “samen”. Tradisi itu hingga kini masih bertahan.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
2 Juli 2024
BandungBergerak.id – Saat asyik menulis tentang lima sekolah, pondok pesantren mahasiswa yang dekat dengan kampus. Tiba-tiba istri menelepon. "Bah uih iraha?"
Kujawab dengan singkat, "Magrib."
Selesai salat langsung pulang dan berpamitan kepada kawan, satpam yang masih jaga. "Tipayun nya. Markipul. Assalamualaikum!"
Memang sudah hampir satu pekan, aktivitas pulang dilakukan setelah salat Magrib. Biasa mengerjakan laporan tentang kegiatan rutin sehari-hari. Maklum akhir bulan harus beres.
Setibanya di rumah istri berkata, "Bah nilai 100 na hiji, biasana mah pan langkung, tapi Alhamdulillah rapot mah sae!"
"Alhamdulillah. Nuhun A, Wios diajar sing rajin nya!" Sambil mengusap rambut Aa Akil.
"Nya, tapi hadiahna henteu janten. Pan kedah tanggung jawab," ujar istri.
"Iya Bu!" jawab Aa Akil.
Hampir sebulan ini Aa Akil ini sedang asyik belajar, membaca komik, dan karikatur.
Mendengar jawaban anak keduaku ini, justru pikiranku melayang ke kampung halaman di Bungbulang Garut Kidul yang terkenal dengan Pantai Rancabuaya, Cijayana. Terbayang suasana samen, panggung ala kadarnya, tarian, silat, bagi rapor, pulang bawa bungkusan hadiah, liburan ke laut, jalan-jalan menaiki gunung, lembah, sawah, dan curug.
Masih segar dalam ingatan, ketika pasapon memukul lonceng tanda jam pelajaran berakhir. Anak-anak tidak langsung pulang, tapi siap-siap berlatih menari untuk perempuan.
Lapangan upacara Sekolah Dasar Bungbulang II dibagi dua setengah ke arah utara diperlukan perempuan, menari yang diiringi dengan musik khas Sundaan; ke arah selatan dipakai laki-laki, silat yang dibarengi kendang, tepak tilu. Silat Abah Eme jadi jurus andalan yang harus dihafal, dipraktikkan saat tampil di panggung acara samenan.
Sesekali terdengar gelak tawa, sambil bertepuk tangan, teriakan satu, dua, tiga. Ketika salah gerakan, tidak kompak dengan iringan kendang dan penca, tibalah teriakan khas guru, "Salah-salah, ulang-ulang!" Latihan biasa dilakukan dua kali dalam seminggu, Senin dan Kamis. Sudah kaya puasa aja!
Baca Juga: MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #3: Sirene, Pupujian dan Imsak
Rumah Ibadah di Tengah Pusaran Komodifikasi Agama
MERAWAT ZIARAH INGATAN KURBAN #1: Nyate, Munding, dan Nyeker
Panggung Samenan
Tiba waktunya tampil. Siswa laki-laki memakai pakaian pangsi, serba hitam-hitam, lengkap dengan aksesorinya. Sedangkan siswa perempuan berkebaya, dengan konde khasnya.
Waktu pemanggilan para juara dari kelas satu sampai enam menjadi momen yang ditunggu-tunggu orang tua, siswa, guru. Pasalnya menyangkut murid berprestasi. Walhasil, peringkat satu dari kelas satu sampai enam pernah semuanya diboyong oleh satu keluarga Apa Encur, Kakek dari Bapak.
Salah seorang guru, Bu Entit biasa dipanggilnya, "Atuh ieu mah sabondoroyot keluarga Aki Encur. Selamat!" ucapnya sambil bersalaman.
Gemuruh tepuk tangan meriah tak terelakkan. Setiap juara kelas mendapatkan bingkisan hadiah beriisi buku, pensil, bolpoin, penghapus yang membuat semangat untuk belajar meraih berprestasi.
"Alhamdulillah bisa dapat membanggakan keluarga Apa Encur," ucap Eka, anak pertama pamanku, Pa Guru biasa dipanggilnya.
Selesai samen, keenam juara kelas pulang bareng dari Sekolah ke rumah Kakek yang berjarak sekitar 100 meter. Sambil membawa hadiah. Suasana kekeluargaan sangat terasa, indah.
Berkat Mang Ihin, pamanku (sekarang mengajar di SMPN Bungbulang) yang selalu menyambut dan memberikan dorongan, motivasi untuk terus giat belajar, berprestasi, hingga dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Ada yang berhasil kuliah di UGM, Unhas, UPI, IPB, UIN Bandung, hingga menyeberang ke Tunisia untuk mencari ilmu sebagai bekal mengarungi samudra kehidupan. Sungguh membuahkan prestasi yang membanggakan keluarga besar tercinta.
Liburan ka laut menjadi agenda yang ditunggu-tunggu. Berbagai persiapan dilakukan untuk pergi mantai ke Rancabuaya yang berjarak sekitar 29,4 kilometer dari Darussalam, mulai dari makanan, air, beras, kastrol, sampai terpal buat berkemah ala kadarnya.
Tidak seperti sekarang kendaraan ke Rancabuaya mudah didapatkan. Ada elf jurusan Garut-Rancabuaya, Bandung-Rancabuaya, Bungbulang-Rancabuaya. Dulu tahun 1990an masih jarang, kecuali ikut naik truk, mobil bak terbuka sambil papalidan. Jalan kaki sambil bernyanyi, menjadi andalan untuk bepergian ke daerah, termasuk liburan ke Puncak Guha yang terkenal dengan keindahan alamnya. Ya bisa sembilan sampai sepuluh jam untuk jalan kaki sampai ke laut.
Waktu itu kumpul di masjid Darussalam. Setelah salat dan ngaji subuh berangkat mantai sambil pamitan ke Ajengan. Meminta doa keselamatan selama di perjalanan, menginap di laut, kembali ke Pasarlama. A Ipan, anak Ua didapuk menjadi pemimpin rombongan.
Selama perjalanan bisa istirahat empat sampai lima kali untuk sampai ke laut kebanggaan Pemerintah Garut. Botram disepanjang jalan, terutama setelah tanjakan kapten yang terkenal dengan mitosnya jadi tempat ngalaleleson pertama. Cape euy!
Sore menjelang magrib saat ufuk merah menenggelamkan matahari menjadi pemandangan yang tak bisa dilewatkan, ketika tiba di laut yang terkenal dengan pulau seperti Buaya.
Liburan di Pantai
Pantai Rancabuaya berbatas langsung dengan Samudera Hindia dan memiliki ombak yang sangat besar. Berhati-hatilah saat berenang. Ketika air laut surut, tampak hamparan batu karang yang cukup luas. Biota laut seperti ikan, siput, kepiting, dan agar laut semakin memberikan pesona pantai Rancabuaya yang asyik untuk dinikmati. Sambil minum kopi, wedang jahe, bakar-bakar ikan laut.
Konon, Rancabuaya berasal dari kata Ranca dan Buaya. Ranca berarti rawa dan buaya merujuk pada hewan buas yang hidup di dua alam. Orangtua dulu sering menegaskan pantai ini bukan berarti rawa-rawa tempat buaya, karena di Ranca tidak terdapat buaya.
Dulu lebih dikenal sebagai Pantai Ciliab. Nama Rancabuaya diambil dari sebuah pulau yang menonjol ke tengah lautan dan bentuknya persis seperti buaya. Bila dilihat dari Puncak Guha, pulau yang indah pemandangannya bak buaya itu tepat berada di Desa Purbayani.
Bosan liburan ke Rancabuaya, pantai Cijayana menjadi tujuan papalidan setelah samen. Seperti biasa selesai salat dan ngaji subuh di masjid Darussalam siap-siap berangkat ke Cijayana yang terkenal dengan sebutan laut di atas awan.
Ya, jalan kaki, saking peduli masyarakat, orang tua yang mengemudikan kendaraan truk ketika anak-anak berjalan sekitar enam orang. Mobil berhenti dan Pak Supir bertanya, "Jang kamarana?"
Kujawab "Ka Laut!"
"Hayu atuh pan ieu ge bade ka Laut!"
"Alhamdulillah aya nu nawisan papalidan, janten hente kedah jalan teras," celetuk Alo.
Padahal jarak ke Cijayana masih terpaut empat kilometer. Ya baru jalan setengah lebih. Jarak dari Darussalam ke Cijayana sekitar 12,6 kilometer. Bila jalan kaki bisa tiga sampai empat jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pantai yang memiliki masjid Al Jabbar.
Cijayana memiliki air yang biru. Bila terkena sinar matahari maka hamparan laut berkilau seperti permata. Indah banget!
Tiba di bibir pantai setelah zuhur, cari tempat adem, rindang untuk berkemah. Jelang sore hujan besar dordar gelap turun, hingga pagi hari. Walhasil tidak bisa menikmati sunset, suasana api unggun, bakar ayam yang sudah dibawa dari rumah, bakar ikan yang dibeli dari pantai, mancing ikan, main bola, bikin istana dari pasir, termasuk menikmati sunrise sambil berenang.
Jelang siang hari, sekitar pukul sepuluh seorang Bapak berumur 50 tahun datang menghampiri tenda sambil bertanya, "Jang tos lami kemping!"
"Muhun ti kamari siang Pa!"
"Wengi pas hujan ageung didieu? Bapak nu tos biasa sieun. Syukur alhamdulillah ari sarehat, salamet hente aya nanaon mah" ucapnya.
"Abdi mah ngemutan teh tos kamana-mana, boa-boa ieu akhir hirup teh!" ujar Alo.
Gunung Wayang, Gunung Bedil, Cirompang, Leuwi Jurig, Leuwi Jubleg, Kabuyutan jadi tempat liburan asyik setelah samen.
Hikayat Samen
Dalam liputan Pikiran Rakyat bertajuk "Samen, Tak Lekang Dimakan Zaman" dijelaskan salah satu tradisi masyarakat Sunda untuk merayakan kelulusan, pembagian rapor siswa sekolah adalah samen. Tradisi itu hingga kini masih bertahan.
Keceriaan menghinggapi para siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Cijawa, Kampung Cijawa, Desa Sukahaji Kecamatan Cipendeuy Kabupaten Bandung Barat, Selasa (25/6/2024).
Hari itu sekolah tengah menggelar samen, perayaan tamatnya pendidikan siswa kelas VI dan kenaikan kelas bagi murid-murid di bawahnya.
Panggung pun didirikan untuk perayaan tersebut. Berbagai atraksi kesenian yang ditampilkan para siswa, sejumlah murid yang berprestasi naik ke atas panggung. Mereka menerima sertifikat penghargaan dari sekolah.
Murid-murid yang lulus kelas VI tampak berdandan rapi. Siswa laki-laki terlihat necis dengan memakai jas dan berdasi. Sementara siswa perempuan terlihat anggun dengan memakai kebaya. Rasa terima kasih para orang tua murid kepada guru pun diperlihatkan dengan pemberian bingkisan, kado kepada para pengajar. "Kami minta maaf jika anak-anak kami selama enam tahun berbuat salah," kata seorang orang tua murid saat memberikan pesan kepada guru-guru yang mendidik anaknya.
Tradisi samen memang sudah berlangsung sejak lama. Darsih (70), pensiunan guru, mengaku mengenal samen sejak pertama kali mengajar di wilayah kecamatan Cipeundeuy pada tahun 1977.
Menurutnya tradisi itu justru tak dikenal, akrab dilakukan di wilayah asalnya, Yogyakarta. Dalam samen, berbagai pertunjukan kesenian dari para siswa memang digelar oleh para murid. "Deklamasi kesenian daerah," tuturnya sambil menjelaskan jenis-jenis kesenian yang ditampilkan.
Setelah pertunjukan kesenian, siswa-siswi masuk kelas untuk bagi rapor. Walaupun perpisahan siswa kelas VI sebetulnya tidak selalu menjadi bagian dari samen. Terkadang, acara perpisahan bisa dibuat tersendiri di luar samen.
Dalam dokumen, catatan lawas. Istilah samen bisa ditemukan dalam buku Gandasari: Boekoe Batjaan pikeun Kelas III di Sakola Soenda Dijilid III pada tahun 1933 yang ditulis R. Rg. Sastraatmadja, M. Soemawidjaja, Soeria Di Radja. Dalam buku itu, terdapat salah satu cerita bertajuk "Samen baheula"
"Ama-ama, dinten Saptoe pajoen samen teh, saoer Djoeragan Goeroe," tjeuk Eman.
Demikian penggalan cerita dalam bahasa Sunda itu tentang pemberitahuan Eman kepada orang tuanya bahwa samen berlangsung Sabtu depan berdasarkan keterangan guru.
Sosok Eman dalam cerita itu juga menyebutkan kegembiraannya tamat sekolah. Dus, samen dalam buku yang terbit sebelum negeri ini merdeka juga bermakna “kelulusan sekolah”.
Istilah samen muncul pula dalam buku kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul Awewe Dulang Tinande yang ditulis Tjaraka. Buku yang menggambarkan tiga zaman kehidupan orang sunda, yakni zaman Hindia Belanda, Jepang dan setelah Indonesia merdeka. Dalam salah satu cerita di buku itu, Tjaraka menulis kisah Jang Ojod yang memiliki diploma setelah bersekolah di Gubernemen Kelas II.
"Tapi sanggeusna ka luar diploma ti Sakola Gubernemen Kelas II, teu kungsi lila milu samen (ujian) guru desa serta hasil (Setelah memiliki diploma dari Gubernemen Kelas II, Jang Ojod mengikuti samen guru desa dan berhasil lulus)," tulis Tjaraka.
Tak pelak, istilah samen bisa berarti "ujian, tes" dimasa itu. Sementara dalam bahasa Belanda, samen memiliki arti "bersama". Baik istilah bersama, ujian, keduanya lekat pula dengan bentuk kegiatan samen saat ini, yakni perayaan kelulusan, kenaikan bersama dari para siswa yang telah mengikuti ujian. (Pikiran Rakyat edisi 26 Juni 2024).
Ekspresi Kelulusan
Untuk di daerah Cibiru, terutama Kebon Terong, Babakan Dangdeur perayaan kelulusan, kenaikan bersama, perpisahan lebih dikenal dengan sebutan Wisuda.
Paling tidak kebagian itu terpancar saat anak pertama, Kaka Fia lulusan dari TK Al-Hidayah (2015-2016), anak kedua, Aa Akil tamat dari Paud Mekar Bhakti (2019-2020), anak tetangga yang selesai dari SD Cibiru (2023-2024).
Kala itu panggung dibuat tepat di garasi mobil milik Pa H Hanafi yang posisinya berada di belakang masjid Al-Hidayah.
Penampilan tarian anak-anak jadi pembuka prosesi wisuda. Setelah itu dilakukan pembacaan Al-Quran, dilanjut dengan sambutan-sambutan mulai dari Kepala Sekolah, DKM Masjid, RW, sampai perwakilan orangtua, pentas kreasi dan pemanggilan siswa untuk mendapatkan penghargaan, selempang dan ucapkan salam jadi agenda utama. Selamat ya!
Kaka Fia tampil dua kali di panggung dengan memakai kebaya, berkerudung merah. Dengan memegang mik sebagai tanda anak wanter, bagus dan lantang suaranya. Pertama ketika membaca surat-surat pendek bersama teman-temannya. Kedua waktu menyanyikan 10 malaikat lengkap dengan tugasnya.
Sore hari saat ibu-ibu ngobrol terdengar salah seorang tetangga berkata "Alhamdulillah anak saya sudah di wisuda tadi, tapi masih bingung mau melanjutkan sekolah kemana? Negeri atau swasta ya!"
Dalam benakku, terbesit "Bukankah anaknya masih kecil dan belum ada anaknya yang kuliah?"
Rupanya yang dimaksud dengan wisuda itu kenaikan kelas dari TK ke SD (SD ke SMP, SMP ke SMA), ada panggung, dilakukan bersama-sama, proses acaranya tidak berlangsung di sekolah, melainkan di rumah makan (restoran, hotel, gedung pertemuan) terkenal, dimeriahkan dengan pentas kreasi seni dan tukar-menukar hadiah baik dari siswa untuk siswa, siswa kepada guru maupun orangtua terhadap guru. Sebagai ucapan terima kasih atas segala jasa, ilmu yang sudah diberikan selama ini.
Memang ekspresi kelulusan setiap daerah berbeda-beda ada yang dinamakan samen, kenaikan bersama, wisuda, tapi intinya sama dalam rangka merayakan keceriaan, kebahagiaan, kemenangan. Dengan harapan dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Terkadang menyiksa luka yang begitu berat, dalam ketika ada seorang (beberapa) teman seangkatan yang tidak lulus, bahkan malah ditunda kelulusan akibat belum membayar SPP yang menunggak akibat tidak mampu melunasi administrasi sekolah.
Saat mencari dokumen samen, referensi pelengkap khazanah tradisi Sunda. Tiba-tiba Aa Akil datang, "Bah mana foto wisuda Aa kaya Kaka di koran, Ada kan?" Cag Ah!
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang tradisi