CATATAN DARI BUKU HARIAN #36: Menyelami Jejak Karya Tatang Ramadhan Bouqie Selama Empat Dekade
Kisah Tatang Ramadhan Bouqie, sosok di balik perancang logo dan desain visual sejumlah media nasional, hingga kini dikenal sebagai peluki kontemporer di Indonesia.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
13 April 2025
BandungBergerak.id – Setiap generasi memiliki sosok yang menginspirasi, seseorang yang membuka jalan dengan dedikasi dan karya. Tatang Ramadhan Bouqie adalah salah satunya –seorang seniman yang tak hanya melukis di atas kanvas, tetapi juga di hati dan pikiran banyak orang. Melalui puluhan tahun pengabdiannya di dunia seni dan desain grafis, ia bukan hanya berkarya, tetapi juga menyalakan semangat kreativitas bagi generasi penerus. Ia adalah bukti bahwa seni bukan sekadar estetika, melainkan kebebasan, keberanian, dan bentuk ekspresi tertinggi dari jiwa manusia.
Tatang Ramadhan Bouqie adalah seniman yang telah mendedikasikan dirinya pada dunia seni, membiarkan jiwanya larut dalam goresan warna dan bentuk selama lebih dari empat dekade. Ia bukan hanya seorang pelukis, melainkan juga seorang pengajar yang tak pernah lelah menyalakan nyala api kreativitas bagi generasi kini dan nanti.
Sebagai pelukis kontemporer Indonesia, Tatang dikenal dengan karya-karya yang ekspresif, sering kali menggugah pikiran dengan sentuhan satir yang tajam. Meskipun secara aktif melukis sejak 2009, perjalanannya di dunia seni telah dimulai jauh sebelumnya dengan menorehkan jejak sebagai desainer grafis dan creative director di berbagai perusahaan media ternama.
Lukisan-lukisan Tatang adalah cerminan keresahan, penggambaran absurditas manusia yang menyelinap dalam realitas. Dengan kanvas besar dan warna-warna berani, ia merangkai narasi yang menggugah, menyisipkan kritik sosial dalam sapuan kuasnya. Tema "Human Absurdity" kerap hadir dalam setiap karyanya, sebuah refleksi atas dunia yang terus berputar dalam kekacauan dan keindahan yang bersisian.
Di sepanjang perjalanan seninya, Tatang telah menggelar berbagai pameran tunggal maupun kelompok, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu pameran tunggalnya yang paling dikenang adalah "Celebrating Disorder" di Galeri Nasional Indonesia. Undangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia membawanya berpameran hingga Budapest, Hungaria, memperkenalkan karyanya ke panggung dunia.
Baginya, melukis adalah bentuk kebebasan tertinggi. Ia percaya bahwa kebebasan berpikir dan mencipta akan melahirkan sesuatu yang abadi. Setiap hari, ia melukis dengan disiplin, seolah menjadikannya ritual yang tak boleh terlewatkan. Bukan sekadar kerja, melainkan perjalanan spiritual yang terus ia tempuh.
Lahir di Bandung pada 11 Mei 1953, Tatang tumbuh dengan jiwa yang selalu haus akan penciptaan. Bersama sang istri, Jeanelle C. Virginia, ia dikaruniai dua buah hati: Jennifer Kharis dan Kemalreza Gibran, serta dua anak angkat yaitu Slamet Abidin dan Fabianus Ola Kia Mebe. Setelah menuntaskan pendidikan di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa & Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) pada tahun 1980, ia meniti karier sebagai perancang grafis di berbagai media massa, menghabiskan hampir empat dekade di Jakarta. Tempo, Matra, Editor, Pasar Raya, hingga Media Indonesia dan Metro TV pernah menjadi rumah bagi gagasan-gagasannya. Bahkan setelah pensiun, dedikasinya masih berlanjut sebagai Konsultan Desain Visual di Media Grup dan Metro TV, sebuah peran yang mempertegas namanya dalam dunia desain grafis Indonesia.
Bersama waktu yang terus berlalu, Tatang juga tetap setia pada dunia pendidikan. Selama lebih dari 40 tahun, ia mengajar desain grafis di berbagai perguruan tinggi, seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Universitas Indonesia (UI), Sekolah Tinggi Desain InterStudi (STDI), dan Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo (LPDS). Ia bukan sekadar pengajar, melainkan penyulut nyala kreativitas bagi banyak generasi.
Kini, selain berkarya sebagai konsultan desain visual dan pendidik, Tatang kembali menyelami seni murni dengan lebih mendalam. Ia terus menggelar pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 2010, karyanya berhasil meraih penghargaan utama dalam kompetisi Indonesia Art Award, Philip Morris, sebuah pencapaian yang semakin mengukuhkan namanya.
Tak hanya melukis dan mengajar, Tatang juga aktif berbagi ilmu melalui seminar dan lokakarya. Pendekatan desain grafisnya telah menjadi inspirasi bagi banyak mahasiswa ITB, bahkan beberapa di antaranya menjadikannya sebagai bahan penelitian akademis.
Pada tahun 1991, sebuah posternya untuk pentas Teater Ketjil, pimpinan Arifin C. Noer, memenangkan kompetisi desain dan cetak di London, Inggris. Sebagai seorang seniman grafis, ia dikenal dengan ketajaman dalam pemilihan tipografi, keberaniannya bereksperimen, dan kemampuannya menciptakan karya yang tidak hanya estetis tetapi juga efektif sebagai alat komunikasi visual. Poster "SUMUR TANPA DASAR" menjadi contoh nyata, sebuah karya yang tak hanya memikat secara artistik, tetapi juga mengukuhkan efektivitasnya sebagai medium periklanan.
Dalam setiap sapuan kuas, dalam setiap guratan desain, Tatang Ramadhan Bouqie telah menorehkan kisahnya. Sebuah perjalanan yang tak hanya diisi oleh warna, tetapi juga oleh makna, oleh keteguhan hati seorang seniman yang terus menggali dan merayakan absurditas kehidupan.

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #34: Jejak Miya Rumiyana Soelandjana, 60 Tahun BerkaryaCATATAN DARI BUKU HARIAN #35: Mengenal Joey Cardinal, Penyiar Senior yang Tetap Berkarya
Perkenalan dengan Remy Sylado
Dalam percakapan yang mengalir tenang, Tatang mengenang jejak awal perjalanannya –sebuah langkah kecil yang membawanya bertemu dengan seniman besar, Remy Sylado.
Tahun itu, sekitar 1969 atau 1970, Bandung masih berselimut udara sejuk, dan di sebuah sudut kota yang ramai oleh geliat budaya, Tatang, yang saat itu masih bocah SMP, berkenalan dengan seorang lelaki yang kelak akan meninggalkan jejak mendalam dalam hidupnya. Remy Sylado –seniman serba bisa, seorang jurnalis, penulis prosa dan puisi, kritikus seni dan kebudayaan, pemerhati musik, serta seorang pengajar yang tak pernah lelah menanamkan cinta pada sastra dan seni.
Saat itu, Remy telah membangun kelompok teaternya, Dapur Teater 23761, dan salah satu anggotanya, Yuyu Romila –seorang aktris muda yang juga tetangga Tatang– sering dikunjunginya. Hampir setiap hari, Remy datang ke rumah Yuyu, dan di sanalah, di antara obrolan dan riuh rendah diskusi, Tatang kecil pertama kali bertemu dengannya.
Sebagai anak SMP, Tatang terpesona oleh dunia yang dijalani Remy –sebuah dunia yang penuh dengan kata-kata, panggung, dan musik. Namun, ia hanya berdiri di tepian, menjadi pengamat yang diam. Sesekali, diajak ikut serta, tetapi hanya sebagai “anak bawang” yang lebih banyak menyimak daripada berperan.
Suatu hari, di tengah perbincangan hangat, Remy bertanya padanya,
"Kelak, kau ingin menjadi apa?"
Tanpa ragu, Tatang menjawab, "Aku ingin menjadi pengarang. Seperti Kak Yapi."
Remy mengangguk, matanya berbinar.
"Bagus! Kalau begitu, kau harus mulai belajar menulis."
Namun, Tatang ragu.
"Nanti saja, kalau aku sudah SMA."
Remy tertawa kecil, lalu menukas, "Kenapa harus menunggu? Menulis tidak butuh waktu yang sempurna, tapi butuh keberanian untuk memulai. Mulailah sekarang, aku akan mengajarkanmu."
Tatang mengangguk. Esoknya, ia mulai belajar merangkai kata, menata kalimat. Hari-hari berlalu, minggu berganti. Namun, setelah tiga bulan, kesabaran Tatang runtuh. Ia menyerah.
Menemui Remy, ia berkata dengan nada pasrah, "Kak Yapi, aku berhenti belajar menulis."
Remy mengerutkan kening.
"Kenapa?"
Dengan suara letih, Tatang menjawab, "Menulis itu rumit. Aku tak tahan dengan aturan tata bahasa. Titik, koma, paragraf… ah, semuanya membuatku pening."
Remy menatapnya tajam, lalu menggelengkan kepala.
"Kau ini lemah. Mudah menyerah. Payah!"
Tatang terdiam, tak membantah.
Keesokan harinya, Remy kembali bertanya, "Jadi, kau benar-benar menyerah? Tak ingin menjadi penulis? Lalu, kau ingin jadi apa?"
Tatang menghela napas, lalu berkata, "Mungkin aku akan menjadi pelukis saja."
Remy tersenyum kecil.
"Itu juga bagus. Tapi, apa pun yang kau pilih, belajarlah dengan serius. Jangan mudah menyerah."
Sejak hari itu, Tatang mulai mencoret-coret kertasnya. Membuat garis-garis, membentuk gambar, melukis dunia dalam warna-warna sunyi. Setiap kali ia menunjukkan hasil latihannya, Remy selalu mengamati dengan saksama, lalu berujar,
"Bagus. Teruslah berlatih. Jangan berhenti."
Begitulah, di bawah bimbingan seorang seniman besar, Tatang menemukan jalannya –bukan sebagai penulis, tapi sebagai seorang pelukis yang merangkai kisahnya lewat goresan dan warna.

Tatang dan Media Massa
Selepas menamatkan sekolah menengah pertama, Tatang melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Kecintaannya pada seni rupa kian mengakar, jemarinya semakin akrab dengan garis dan warna. Selain melukis dan menggambar bebas, ia mulai merambah dunia vignet dan kartun –coretan kecil yang menghidupkan imajinasi dalam bentuk sederhana.
Suatu hari, seorang tetangganya, seorang wartawan di koran Mandala, secara tak sengaja melihat kumpulan gambar-gambarnya. Ia menatap lembaran-lembaran itu dengan penuh minat, lalu berkata,
"Boleh aku bawa beberapa? Aku akan mencoba menawarkannya ke kantor. Siapa tahu bisa dimuat. Tuliskan namamu di belakangnya."
Tatang mengangguk, harapannya melambung.
Beberapa hari kemudian, sang wartawan memanggilnya. Dengan langkah penuh tanda tanya, Tatang mendatangi rumahnya. Baru saja ia duduk di ruang tamu, lelaki itu menyodorkan sebuah koran.
"Ini edisi hari ini. Coba kau buka halaman demi halaman."
Tatang menurut, meski tak sepenuhnya mengerti maksudnya. Ia membalik lembar demi lembar, lalu tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat. Di salah satu halaman, ia melihat gambarnya sendiri terpampang di sana.
Dengan suara nyaris berbisik, ia bertanya, "Ini… gambarku?"
Sang wartawan terkekeh.
"Ya, dan lihatlah di sampingnya, ada namamu tercetak di sana."
Ada perasaan aneh yang menjalar dalam dirinya –takjub, bangga, sekaligus haru. Rasanya seperti menemukan bagian dari dirinya yang kini hidup di dunia luar.
Sebelum pertemuan itu usai, sang wartawan berkata, "Besok, datanglah ke kantor di Jalan Asia Afrika. Bawa koran ini dan temui bagian keuangan. Tunjukkan gambar-gambarmu."
Keesokan harinya, Tatang melangkah menuju kantor Mandala. Di sana, ia menandatangani sebuah surat tanda terima. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menerima honorarium – upah pertama dari karya yang lahir dari tangannya sendiri.
Sejak itu, Tatang semakin giat berkarya. Ia mengirimkan vignet dan karikaturnya ke berbagai media, dari Mandala, Bandung Pos, Warta Kota, Madya, hingga majalah berbahasa Sunda Gondewa.
Saat duduk di kelas dua SMA di Bandung, Tatang membaca sebuah pengumuman di koran: penerimaan mahasiswa baru di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), yang kini dikenal sebagai IKJ (Institut Kesenian Jakarta).
Ada satu hal yang menarik perhatiannya – calon mahasiswa tidak harus memiliki ijazah SMA. Bahkan, mereka yang hanya memiliki ijazah SMP pun diperbolehkan mendaftar.
Pikiran Tatang bergolak. Ia belum lulus SMA, tetapi keinginannya untuk terjun ke dunia seni begitu besar. Maka, tanpa ragu, ia mengambil keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya –keluar dari sekolah dan berangkat ke Jakarta dengan berbekal ijazah SMP.
Di kampus IKJ, ia mengikuti dua kali ujian masuk. Ketika pengumuman tiba, namanya tercantum sebagai salah satu mahasiswa yang diterima.
Namun, satu minggu sebelum masa orientasi mahasiswa, seorang anggota keluarganya berkata, "Jika kau ingin belajar seni rupa, kenapa tidak di ITB saja? Apalagi, ITB ada di Bandung, kau tak perlu repot-repot tinggal di Jakarta."
Perkataan itu terus terngiang di benaknya. Ia merenung, menimbang-nimbang. Ada logika dalam saran itu, tetapi ada pula berat di hatinya. Akhirnya, dengan berat hati, ia membatalkan niatnya untuk berkuliah di IKJ. Ia kembali ke Bandung dan melanjutkan SMA di Daya Siswa –sebuah sekolah swasta yang akrab disebut sebagai "SMA John Mayall", terletak di Jalan Naripan.
Ia langsung masuk kelas tiga. Saat ujian akhir, ia mengikuti ujian di SMA Negeri IV di Jalan Gardujati. Lulus dengan ijazah negeri, Tatang pun melangkahkan kaki ke Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia mengikuti ujian masuk –dan takdir mengantarnya kembali ke dunia seni. Ia diterima.
Pada semester delapan, ketika hampir menyelesaikan studinya, Tatang mengambil mata kuliah Kerja Praktik. Kecintaannya pada sastra membawanya melamar ke majalah Tempo di Jakarta, yang saat itu menjadi rumah bagi banyak wartawan sekaligus sastrawan besar seperti Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Sori Siregar, dan Eka Budianta.
Permohonannya diterima. Selama tiga bulan, ia menjalani praktik kerja di sana. Setelah masa itu berakhir, Goenawan Mohamad, yang saat itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, menawarinya pekerjaan di Tempo.
Namun, Tatang belum bisa menerima tawaran itu. Kuliahnya belum selesai –masih ada tugas akhir dan skripsi yang menantinya. Setelah berdiskusi, mereka mencapai kesepakatan: Tatang akan menyelesaikan tugas akhirnya terlebih dahulu, lalu bergabung dengan Tempo. Skripsinya pun akhirnya ia selesaikan sembari bekerja di sana. Saat wisuda tiba, ia sudah resmi menjadi karyawan tetap Tempo.
Di bawah naungan Tempo, lahirlah majalah Zaman. Namun, nasib tak berpihak padanya –majalah itu tak bertahan lama dan akhirnya ditutup. Sebagai gantinya, direksi membentuk Tim Konseptor untuk merancang produk majalah baru. Tatang menjadi bagian dari tim itu. Dari tangan mereka, majalah pria Matra lahir dan terbit.
Seiring berjalannya waktu, gelombang perubahan datang. Tatang, bersama beberapa rekan muda di Tempo, memutuskan untuk mengundurkan diri. Mereka membangun sesuatu yang baru – majalah Editor.
Selama lima tahun, ia menorehkan jejaknya di sana. Namun, ada saatnya manusia harus kembali ke akar, mencari kebebasan dalam berkarya. Tatang memilih jalan itu –keluar dari Editor dan memulai langkah baru sebagai konsultan desain dan media massa.
Sebagai konsultan, ia terlibat dengan banyak media: Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Jawa Pos, Majalah Eksekutif, Lampung Post, Forum Keadilan, Panji Masyarakat, Cipta TIM, dan Pasaraya.
Saat bekerja sebagai konsultan untuk majalah Pasaraya, pemiliknya, Bapak Abdul Latief, memintanya untuk bergabung dalam perusahaan. Ia diberi tugas mengembangkan konsep majalah Pasaraya –awalnya hanya majalah internal, tetapi hendak diubah menjadi majalah untuk umum. Maka, lahirlah majalah Belanja, sebuah majalah bulanan yang menjanjikan.
Namun, takdir berkata lain. Krisis moneter menghantam negeri ini dengan kejam. Setelah sebelas edisi, Belanja terpaksa dihentikan. Seluruh awaknya terkena pemutusan hubungan kerja.
Di titik ini, Tatang kembali berada di persimpangan. Dunia terus bergerak, dan ia tahu, perjalanan belum berakhir.

Masa Krisis Moneter
Krisis moneter melanda negeri, mengguncang sendi-sendi kehidupan. Tatang, bersama puluhan karyawan lainnya, harus menerima kenyataan pahit: pemutusan hubungan kerja. Sejak saat itu, hari-harinya diisi dengan melukis dan menciptakan karya seni rupa di rumah –sebuah pelarian sekaligus penghiburan dalam masa sulit yang berlangsung lebih dari tiga bulan.
Di tengah ketidakpastian, secercah harapan datang. Sebuah tawaran pekerjaan datang dari Media Group, perusahaan milik pengusaha media Surya Paloh. Pada September 1999, Tatang resmi bergabung dengan Media Group, diangkat sebagai Associate Director untuk bidang desain di berbagai anak perusahaan, termasuk perhotelan, katering, surat kabar Media Indonesia dan Lampung Post, serta percetakan dan konsesi marmer.
Tak butuh waktu lama, pada Januari 2000, Surya Paloh mengajaknya bergabung dalam Tim Perencanaan untuk mendirikan sebuah stasiun televisi. Tatang diberi tanggung jawab mengelola aspek desain. Hari-hari panjang yang melelahkan pun dimulai –semua pekerjaan harus diselesaikan dengan cepat dan sempurna.
Kerja keras itu akhirnya terbayar. Pada November 2000, Metro TV resmi mengudara sebagai stasiun televisi berita pertama di Indonesia. Tatang dipercaya sebagai Art Director, posisi yang mengukuhkan namanya di dunia media massa.
Sepuluh tahun berlalu, Tatang merasa sudah saatnya melangkah ke arah baru. Pada September 2010, ia mengajukan pensiun dari Media Group, menutup satu babak perjalanan kariernya untuk membuka lembaran baru.
Kiprah Tatang di Dunia Seni
Di Fakultas Seni Rupa ITB, Tatang memilih spesialisasi Graphic Design –jurusan yang kini dikenal sebagai Desain Komunikasi Visual (DKV). Sejak masa kuliah, ia aktif mengerjakan berbagai proyek desain, baik untuk individu, perusahaan swasta, maupun lembaga pemerintahan. Proyek besar terakhir yang ia kerjakan sebelum lulus adalah pembuatan Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Gedung Merdeka, Bandung.
Setelah menyelesaikan studinya, ia melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan bergabung dengan majalah Tempo sebagai Kepala Seksi Desain Visual. Namun, gairahnya dalam seni rupa tak pernah padam.
Selepas dari dunia korporasi pada tahun 2010, Tatang semakin intens berkarya. Ia lebih memilih istilah "Gelar Karya" dibandingkan "Pameran", karena baginya seni bukan sekadar dipamerkan, tetapi harus menjadi pengalaman yang hidup. Karya-karyanya hadir di berbagai kota di Indonesia – Jakarta, Bandung, Yogyakarta– dan juga di panggung internasional seperti Iran, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Vietnam, Jepang, Hungaria, hingga Amerika.
Pada tahun yang sama, ia memenangkan Indonesia Contemporary Competition Award (Phillip Morris Award), sebuah pencapaian yang semakin mengukuhkan posisinya di dunia seni rupa. Hingga kini, berkarya tetap menjadi napas utamanya.
Kiprah Tatang di Seni Drama
Kecintaan Tatang pada seni drama berawal sejak masa kanak-kanak. Saat masih duduk di bangku SD, ia pertama kali menonton pertunjukan drama Sunda tradisional dari grup Srimurni, yang pentas di tengah area Pasar Kosambi, Bandung. Seiring waktu, ketertarikannya berkembang, mengantarnya menyaksikan berbagai pentas dari grup teater besar seperti Studi Teater Bandung (STB), Dapur Teater 23761, Teater Sunda Kiwari, hingga kelompok teater kenamaan di Jakarta seperti Teater Populer, Bengkel Teater, Teater Koma, dan Teater Mandiri.
Sejak SMP, Tatang sudah terbiasa bolak-balik Bandung-Jakarta. Gairahnya terhadap dunia teater semakin dalam ketika ia dan beberapa sahabatnya dari Badan Koordinasi Taruna Karya (BKTK) mengusulkan pendirian Gelanggang Remaja di Bandung. Ide ini mereka sampaikan kepada Wali Kota Bandung saat itu, Otje Djundjunan. Tak disangka, gagasan mereka mendapat dukungan penuh, dan Gelanggang Remaja Bandung pun resmi berdiri di Jalan Merdeka.
Di sana, kegiatan dibagi menjadi tiga unit utama: Kesenian (Musik, Tari, Drama), Olahraga (Silat, Karate, Taekwondo), dan Keterampilan (Menjahit, Dekorasi, Bahasa Inggris). Tatang sendiri aktif di unit teater, yang kemudian berganti nama menjadi Teater Bel.
Saat beranjak menjadi mahasiswa, bersama Yesmil Anwar, Urip Purwono, dan Erry Anwar, ia mendirikan Teater Lisette. Namun, ketika pekerjaannya di Jakarta semakin menyita waktu, ia tidak lagi bergabung dalam kelompok teater tertentu, melainkan lebih banyak berkontribusi dalam bentuk dukungan desain dan produksi untuk berbagai grup teater, termasuk Teater Ketjil, Teater Mandiri, dan Teater Koma. Salah satu karyanya, desain poster untuk pentas Interogasi II –Teater Ketjil, bahkan meraih penghargaan sebagai Desain Poster Pertunjukan Terbaik dalam kompetisi di London, Inggris.

Kiprah di Dunia Pendidikan
Pada semester tujuh di ITB, Tatang dipercaya menjadi asisten dosen Prof. A.D. Pirous. Setelah lulus, ia sempat ditawari menjadi dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Namun, kesempatan itu harus ia lepaskan ketika Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Tempo, memintanya bergabung dengan majalah tersebut. Awalnya, Tatang menolak, tetapi setelah Prof. A.D. Pirous menyetujui dan merestui keputusannya, ia pun menerima tawaran itu.
Meski demikian, dunia akademik tetap menariknya kembali. Bersamaan dengan pekerjaannya di Tempo, Tatang mulai mengajar di Fakultas Seni Rupa IKJ. Ia pun aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi desain di Jakarta, termasuk UI, STDI Interstudi, dan Lembaga Pers Dr. Soetomo.
Tulisan dan Buku Karya Tatang
Sebelum memilih jalur sebagai perupa, Tatang sebenarnya bercita-cita menjadi penulis. Ia pernah belajar langsung dari Remy Sylado, tetapi kecintaannya pada seni visual lebih kuat dibandingkan ketertarikannya pada aturan gramatika yang ketat.
Namun, baginya, Indonesia adalah surga bagi seorang perupa –negara ini begitu kaya dengan sumber inspirasi. Tidak semua gagasan bisa dituangkan di atas kanvas; beberapa lebih cocok dituangkan dalam kata-kata. Meski ia tak menganggap dirinya sebagai penulis, ia merasa memiliki hak untuk menulis, dan ia pun memanfaatkannya untuk mengekspresikan pemikirannya.
Beberapa karyanya telah dikemas dalam bentuk buku, di antaranya Sirkut Demit, Sirkus Begal, dan Sinyal –sebuah refleksi perjalanan panjangnya dalam dunia seni dan media.
Adapun karya desain Tatang Ramadhan Bouqie yang mudah diingat dan cukup terkenal yaitu logo berbagai media cetak, seperti Majalah Matra, Majalah Editor, Majalah Tiras, Majalah Panjimas, Majalah Popular, Majalah Pasaraya Belanja dan Majalah Cipta Tim.
Ia juga mendesain berbagai logo surat kabar seperti: The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Borneo, Tabloid Realitas, dan mendesain logo awal Metro TV.
Tatang juga mendesain ulang logo Majalah Tempo, Koran Neraca, dan Koran Lampung Post.
Bagi para generasi penerus, biarkan kisah dan perjalanan Tatang Ramadhan Bouqie menjadi nyala api yang terus membakar semangat berkarya. Jangan takut bermimpi, jangan ragu melangkah. Dunia ini membutuhkan lebih banyak pemikir bebas, pencipta yang tak gentar melawan arus, dan seniman yang berani menuangkan kebenaran dalam warna dan bentuk. Karena pada akhirnya, bukan hanya karya yang kita tinggalkan, tetapi juga jejak inspirasi yang akan menghidupkan generasi berikutnya.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni