Festival Bandung Menggugat: Mahasiswa dan Dosen Sulit Kritis karena Terkungkung Komersialisasi
Festival Bandung Menggugat di Dago Elos mediskusikan ‘Selama Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus!’.
Penulis Salma Nur Fauziyah14 April 2025
BandungBergerak.id - Kita sering mendengar bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, garda terdepan dalam memperjuangkan hak rakyat, dan pelopor dalam memprotes kebijakan yang merugikan banyak orang. Namun, apakah konsep tersebut masih relevan di tengah realitas pendidikan tinggi yang semakin terperangkap dalam cengkeraman neoliberalisme? Apakah mahasiswa, yang seharusnya kritis dan berani berbicara, justru terjebak dalam gerakan yang stagnan dan eksklusif?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diangkat Cindy Veronica Rohanauli dalam esai “Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif”. Esai ini menjadi pemantik diskusi ‘Selama Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus!’ di Festival Bandung Menggugat dengan narasumber Zen RS dan Bivitri Susanti di Balai RW 02 Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025.
Salah satu dampak paling jelas dari neoliberalisme dalam pendidikan tinggi adalah biaya yang semakin mahal. Sistem ini kemudian melahirkan fenomena aktivisme borjuis di kalangan mahasiswa, yang semakin terjarak dari realitas perjuangan yang sesungguhnya.
“Kita tahu bahwa UKT sekarang tuh mahal. Terus jalur-jalur masuk universitas yang tampaknya lebih affordable, yang terjangkau lebih murah itu kuotanya kian hari kian sedikit. Dan lebih banyak mahasiswa yang diarahkan untuk mendaftar lewat jalur mandiri yang mana kita harus membayar uang pangkal dan lebih mahal,” ujar Cindy.
Bagi Cindy, kondisi sitem pendidikan memperburuk aksesibilitas pendidikan bagi mereka yang tidak memiliki cukup dana. Namun, komersialisasi pendidikan bukan satu-satunya masalah yang dihadapi mahasiswa saat ini.
Cindy juga mengkritik bagaimana universitas kini lebih berfokus pada penciptaan tenaga kerja daripada pembentukan pemikir kritis. Hal ini tercermin dalam kurikulum yang semakin berorientasi pada penguasaan pengetahuan praktis, bukan pemahaman teori yang mendalam. Program magang wajib, misalnya, sering kali membuat mahasiswa lebih terfokus pada pekerjaan praktis dan mengurangi kesempatan untuk melakukan kegiatan berkolektif atau berorganisasi, yang merupakan bagian penting dari proses pembentukan pemikiran kritis.
Cindy kemudian menyoroti bagaimana pergerakan mahasiswa kini terasa semakin semu. Banyak mahasiswa yang cenderung memilih isu-isu besar, yang tidak selalu relevan dengan permasalahan yang ada di sekitar mereka. Mereka lebih fokus pada masalah nasional yang jauh daripada isu lokal yang lebih dekat dengan kehidupan mereka. Selain itu, kecenderungan untuk memilih-milih isu untuk diperjuangkan ini juga berdampak pada lemahnya konsolidasi di kalangan mahasiswa.
“Nah, ketika mahasiswa nih logikanya ya yang sekarang bisa masuk ke pendidikan tinggi tuh orang-orang yang punya uang. Terus, sebenarnya mereka yang mendaku diri merepresentasikan rakyat. Nah, sebenarnya rakyat yang mana gitu kan yang pada akhirnya direpresentasikan,” ungkap Cindy, yang juga merupakan anggota UKM LPPMD di Universitas Padjadjaran.
Dengan demikian, mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah ke atas ini cenderung tidak bisa sepenuhnya memahami dan mewakili suara rakyat yang lebih miskin.
Dosen dan Sistem Akademik yang Terkungkung
Namun, bukan hanya mahasiswa yang terperangkap dalam sistem pendidikan yang tidak mendukung lahirnya pemikir kritis. Dosen juga menghadapi dilema yang sama. Bivitri Susanti, seorang akademisi hukum tata negara dan dosen Sekolah Hukum Jentera, menjelaskan bahwa dosen saat ini hanya diberikan dua pilihan: pertama, menjadi penurut dan fokus pada urusan administratif agar bisa naik jabatan dengan cepat, atau kedua, mengambil sikap yang lebih kritis dan berjuang bersama mahasiswa, yang bukanlah pilihan yang mudah.
Dalam pandangan Bivitri, dosen juga terbebani oleh sistem akreditasi yang menuntut mereka untuk memenuhi berbagai administrasi dan target-target tertentu. “Kami dituntut mengajarnya itu memenuhi target belaka. Kalau ada yang IP-nya jelek, yang bisa kena sanksi dosennya,” ungkap Bivitri, yang lebih akrab disapa Bibip. Tekanan ini menjadikan para dosen lebih fokus pada angka dan prestasi administratif ketimbang mengembangkan kemampuan intelektual dan pemikiran kritis mahasiswanya.
Bivitri mengingatkan bahwa dalam sebuah peradaban, kampus seharusnya menjadi benteng yang menjaga demokrasi. Namun, dengan sistem yang ada saat ini, pendidikan tinggi lebih banyak berorientasi pada pasar kerja dan penguasaan keterampilan praktis, bukan pembebasan intelektual yang dapat memicu pemikiran kritis.
“Tidak ada seorang otokrat yang menginginkan mahasiswanya pintar-pintar, yang punya kesadaran, yang paham ada hal-hal yang secara moral itu salah,” jelas Bibip.
Baca Juga: Merawat Demokrasi dari Ancaman Kekuasaan Melalui Solidaritas Mahasiswa, Komunitas, dan Masyarakat Sipil di Festival Bandung Menggugat
Mengeja Semangat Zaman dan Upaya Membangun Gerakan Politik Alternatif
Festival Bandung Menggugat, Merawat Napas Perlawanan dan Menyatukan Suara-suara Kritis
Keberanian dalam Gerakan: Perspektif Ekonomi Politik
Zen RS, dalam diskusi yang sama, menambahkan bahwa gerakan mahasiswa dan keberanian untuk bertindak tidak dapat dipisahkan dari faktor ekonomi-politik. Dalam pandangannya, keberanian dalam bertindak, termasuk turun ke jalan untuk berdemonstrasi, merupakan hasil dari latihan dan kesadaran politik yang berkembang. Seperti halnya dalam olahraga bela diri, keberanian untuk melawan bukan hanya muncul begitu saja, tetapi melalui proses pembelajaran dan adaptasi.
“Enggak ada ceritanya bapaknya cemen atau pengecut, anaknya juga otomatis pengecut. Menurut saya, gerakan sebagaimana keberanian itu harus dibaca dari dua faktor. Pertama, keberanian itu hasil latihan,” kata Zen. Ia juga menambahkan bahwa keberanian tersebut hanya bisa muncul jika ada kesadaran politik yang cukup kuat, yang tentunya akan terbentuk melalui pendidikan yang mendalam.
Zen juga mengingatkan bahwa keberanian mahasiswa untuk mengkritik sistem pendidikan saat ini tidak akan bisa berkembang jika struktur ekonomi-politik yang mendasari universitas tidak diubah. “Universitas hari ini itu sulit untuk melahirkan mahasiswa yang bisa kritis,” kata Zen. Ia menegaskan bahwa tanpa perubahan struktural, sikap kritis mahasiswa yang muncul akan tetap menjadi anomali, bukan norma.
Menurut Cindy, Bivitri, maupun Zen mengungkapkan bahwa untuk menciptakan gerakan mahasiswa yang sejati dan menghasilkan pemikiran kritis, perlu ada perubahan mendasar dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Baik mahasiswa maupun dosen terperangkap dalam sistem yang mengutamakan komersialisasi dan target administratif, yang pada akhirnya mengorbankan pembelajaran yang mendalam dan perkembangan pemikiran kritis. Sebuah perubahan struktural dalam ekonomi-politik pendidikan tinggi diperlukan agar mahasiswa dapat kembali menjadi agen perubahan yang sesungguhnya, bukan sekadar produk dari pasar kerja yang terdehumanisasi.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Salma Nur Fauziyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Festival Bandung Menggugat