• Narasi
  • Perjuangan Menjaga Suara Kebenaran

Perjuangan Menjaga Suara Kebenaran

Saya takut generasi setelah saya akan mewarisi negara yang penuh ketidakadilan, dikuasai oleh mereka yang hanya peduli pada kekuasaan dan kepentingan pribadi.

Muhammad Haiqal Faqih Bustomi

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Demonstrasi mahasiswa di Jakarta menolak RUU TNI, Kamis, 20 Maret 2025. (Foto: Abdullah Dienullah/BandungBergerak)

15 April 2025


BandungBergerak.id – Sejak pertama kali saya memilih untuk bersuara dan terlibat dalam aksi demonstrasi, saya menyadari bahwa jalan yang saya tempuh bukanlah jalan yang mudah. Saya sering turun ke jalan, menyuarakan ketidakadilan, berteriak menuntut perubahan, dan berdiri bersama mereka yang ingin memperjuangkan hak-hak rakyat. Namun, alih-alih mendapat dukungan, saya justru kerap dicap sebagai orang aneh. Orang-orang di sekitar saya tidak memahami mengapa saya begitu lantang dalam menyuarakan pendapat. Mereka menganggap tindakan saya sia-sia, bahkan lebih jauh lagi, mereka menuduh saya hanya menjadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu. Beberapa teman mencibir saya, menyebut saya sebagai “maha-sewa”, seolah-olah saya hanya bergerak karena dibayar oleh pihak tertentu. Cemoohan dan stigma itu begitu menyakitkan. Mereka tidak melihat apa yang sebenarnya saya perjuangkan –mereka hanya melihat saya sebagai seseorang yang berbeda dari mereka.

Tidak jarang saya merasa lelah dan ragu terhadap diri sendiri. Saya bertanya-tanya, apakah saya memang sedang memperjuangkan sesuatu yang benar? Ataukah saya hanya sedang menjerumuskan diri ke dalam pertentangan yang tidak ada akhirnya? Namun, di dalam hati, saya tahu bahwa saya tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan terjadi. Meski perundungan dan stigma terus menghantui, saya memilih untuk bertahan. Saya terus turun ke jalan, terus berteriak, terus menolak tunduk pada tekanan sosial yang berusaha membungkam saya.

Baca Juga: Ketika Organisasi Para Pembela HAM dan Demokrasi Didemo Massa dan Dijaga Polisi
Demokrasi Mati dan akan Lahir Berkali-kali
Merawat Demokrasi dari Ancaman Kekuasaan Melalui Solidaritas Mahasiswa, Komunitas, dan Masyarakat Sipil di Festival Bandung Menggugat

Tidak Sendirian

Saya menghadapi segala hinaan dan tuduhan itu dengan mencari pemahaman lebih dalam tentang apa yang saya perjuangkan. Saya membaca lebih banyak buku, berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pengalaman serupa, dan mendalami pemikiran-pemikiran kritis. Dari situ, saya semakin yakin bahwa saya tidak sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang juga berjuang, meskipun mereka juga harus menghadapi perlawanan dari masyarakat sekitar. Saya juga mulai memahami bahwa perubahan besar selalu dimulai dari segelintir orang yang berani berbicara. Tidak semua orang siap menerima perubahan, dan sering kali, mereka yang membawa gagasan baru akan dianggap sebagai ancaman. Saya pun belajar untuk tidak membenci mereka yang merendahkan saya. Sebaliknya, saya melihat mereka sebagai bagian dari tantangan yang harus saya hadapi. Saya berharap suatu hari nanti mereka akan mengerti bahwa suara saya bukanlah suara yang dibayar, bukan suara yang dipaksakan oleh kepentingan tertentu. Suara saya adalah suara hati nurani yang tidak bisa dibeli. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap, dan saya ingin menjadi bagian dari perjalanan menuju kebenaran itu.

Saya ingin mereka tahu: saya bukan bagian dari kaum 58% yang dielu-elukan sebagai pemenang. Saya juga bukan “anak Abah” yang mendewakan satu figur dan membela membabi buta tanpa bertanya. Saya bukan “antek Banteng” yang menutup mata terhadap kebijakan yang menyakiti rakyat. Saya golongan putih (golput) pada saat Pilpres bukan karena saya apatis, bukan karena saya tidak peduli dengan masa depan negeri ini. Justru karena saya terlalu peduli. Saya tidak ingin pilihan saya menjadi bagian dari kehancuran negara yang saya cintai. Saya menolak memilih di antara pilihan yang saya tahu tidak akan membawa perubahan nyata bagi rakyat. Saya tidak ingin menjadi bagian dari permainan politik yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan segelintir elite, sementara rakyat tetap menderita. Tetapi apa yang saya dapatkan? Saya dicap sebagai bagian dari kelompok yang sakit hati. Mereka menuduh saya hanya berteriak karena kecewa dengan hasil pemilu. Seolah-olah satu-satunya alasan seseorang bisa mengkritik adalah karena ia kalah. Seolah-olah saya tidak punya alasan yang lebih besar daripada sekadar dendam politik.

Saya ingin bertanya kepada mereka: Apakah mencintai negeri ini harus selalu berarti setia pada penguasa? Apakah menyuarakan ketidakadilan berarti harus terikat dengan kepentingan politik tertentu? Apakah membela rakyat kecil harus selalu dikaitkan dengan kelompok oposisi? Mengapa mereka begitu takut dengan suara yang berbeda? Mengapa mereka lebih mudah melabeli saya sebagai “bayaran”, “sakit hati”, atau “pemberontak” daripada mencoba memahami mengapa saya berjuang.

Saya turun ke jalan bukan karena saya mengabdi pada partai mana pun. Saya berteriak bukan karena saya diprovokasi oleh kelompok tertentu. Saya bersuara karena saya melihat rakyat kecil yang semakin terimpit. Saya melihat kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka yang membutuhkan. Saya melihat janji-janji yang diucapkan dengan mudah, tapi tak pernah ditepati. Jika saya diam, saya takut negeri ini akan semakin hancur. Jika saya berhenti berbicara, saya takut generasi setelah saya akan mewarisi negara yang penuh ketidakadilan, yang dikuasai oleh mereka yang hanya peduli pada kekuasaan dan kepentingan pribadi.

Mereka bisa mencaci saya sesuka hati. Mereka bisa menuduh saya apa pun yang mereka mau. Tapi satu hal yang tidak bisa mereka lakukan: membungkam saya. Saya akan tetap bersuara. Saya akan tetap berdiri di jalan. Saya akan tetap melawan. Karena saya tahu, kebenaran tidak membutuhkan dukungan mayoritas. Kebenaran hanya butuh keberanian untuk diperjuangkan. Pengalaman saya adalah cerminan dari bagaimana masyarakat sering kali menolak sesuatu yang berbeda dari norma mereka. Banyak orang takut terhadap perubahan, sehingga mereka lebih mudah melabeli seseorang yang berbeda daripada berusaha memahami apa yang diperjuangkannya.

Hak Mendasar

Berdasarkan Teori 10 Kemampuan Dasar Manusia menurut Aristoteles, Deklarasi HAM PBB, dan Butir-butir Pancasila Sila Kedua, perjuangan saya untuk tetap bersuara bukanlah sekadar aksi individual, melainkan bagian dari hak mendasar sebagai manusia. Aristoteles menekankan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, bernalar, dan mengekspresikan gagasan. Ini sejalan dengan perjuangan saya dalam menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang merugikan rakyat. Jika hak ini ditekan atau dicemooh, itu berarti ada upaya untuk merampas hak manusia yang paling mendasar: hak untuk menggunakan akal dan hati nurani dalam menyuarakan kebenaran.

Deklarasi HAM PBB menegaskan bahwa setiap manusia berhak atas kebebasan berpikir, berpendapat, dan menyampaikan gagasan tanpa rasa takut. Namun, di lingkungan saya, hak ini justru menjadi beban. Orang-orang yang memilih diam melihat saya sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari perjuangan demokrasi. Saya dituduh sebagai bagian dari kelompok tertentu, padahal saya hanya ingin berjuang untuk kebaikan bangsa ini.

Dalam konteks Pancasila, terutama sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, ada beberapa butir yang jelas mendukung sikap saya:

  1. Berani membela kebenaran dan keadilan – Saya tidak akan diam ketika melihat ketidakadilan terjadi di depan mata.
  2. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan – Kritik dan demonstrasi yang saya lakukan bukanlah tindakan anarkis, melainkan bentuk kepedulian terhadap kemanusiaan dan keadilan.
  3. Mengakui persamaan hak setiap manusia tanpa membeda-bedakan kedudukan sosial atau pandangan politik – Namun, ironisnya, saya justru dikucilkan hanya karena saya menolak untuk tunduk pada kelompok tertentu.

Jika negara ini benar-benar berlandaskan pada nilai-nilai HAM dan Pancasila, seharusnya saya tidak perlu menghadapi stigma dan perundungan karena memilih untuk bersuara. Tetapi realitas berkata lain –mereka yang berani bicara justru dituduh sebagai musuh masyarakat. Meski demikian, saya tidak akan menyerah. Saya percaya bahwa hak untuk berbicara adalah hak yang tidak boleh direnggut oleh siapapun. Selama saya masih hidup, selama masih ada ketidakadilan, selama suara saya masih bisa terdengar, saya akan tetap berjuang. Karena pada akhirnya, kebenaran akan selalu menemukan jalannya sendiri.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang demokrasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//