Kerja Sama Pemprov Jabar dan TNI AD Menuai Kritik, Berpotensi Melemahkan Peran Sipil
TNI dididik untuk menghadapi ancaman militer dan konflik bersenjata, bukan untuk menangani urusan sipil, seperti membangun jalan, jembata, sampah, dan pangan.
Penulis Yopi Muharam16 April 2025
BandungBergerak.id - Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan TNI Angkatan Darat (TNI AD) menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis hak asasi manusia dan masyarakat sipil. Kerja sama ini dinilai membuka jalan bagi kembalinya praktik dwifungsi militer yang berpotensi menggerus supremasi sipil dalam pemerintahan daerah.
Perjanjian tersebut ditandatangani pada Jumat, 14 Maret 2025, di Jakarta oleh Dedi Mulyadi, mewakili Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Jenderal Maruli Simanjuntak, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD). Kerja sama bernomor 23/DG.02.02.01/PEMOTDA dan KERMA/11/III/2025 itu berjudul “Sinergi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Manunggal Karya Bakti Skala Besar Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat”.
Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengatur tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam UU tersebut, TNI diberi mandat untuk membantu pemerintah daerah serta menangani bencana, pengungsian, dan kegiatan kemanusiaan lainnya.
Tujuan kerja sama ini, menurut naskah PKS, adalah mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat melalui sinergi antara pemerintah daerah dan TNI AD. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan apakah pelibatan militer dalam urusan pembangunan sipil merupakan langkah tepat.
Kekhawatiran Supremasi Sipil Tergerus
Rafi Saeful Islam, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kerja sama ini. Menurutnya, keterlibatan TNI dalam urusan pemerintahan sipil memiliki potensi besar mengancam prinsip supremasi sipil.
“PKS ini itu mempunyai potensi ancaman pertama terhadap supremasi sipil,” ujar Rafi saat ditemui di kantor LBH Bandung, Antapani, Kota Bandung, Senin, 14 April 2025.
Rafi menilai bahwa personel militer tidak dibekali pelatihan untuk menangani urusan sipil. Sebaliknya, TNI dididik untuk menghadapi ancaman militer dan konflik bersenjata. Pelibatan militer dalam sektor sipil, menurutnya, hanya akan memperlemah kapasitas lembaga-lembaga sipil yang seharusnya bertanggung jawab atas pembangunan dan pelayanan publik.
Dalam PKS tersebut, pasal 4 mencantumkan ruang lingkup kerja sama yang mencakup sepuluh poin. Beberapa di antaranya, TNI AD dapat menyelenggarakan pembangunan jalan, jembatan, dan irigasi; mengelola sumber daya air dan drainase; serta terlibat dalam pengelolaan ketahanan pangan di Jawa Barat.
Rafi memperingatkan bahwa peran militer dalam pekerjaan sipil seperti pembangunan infrastruktur dan pertanian justru akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sipil. Ia menyarankan agar Pemprov Jabar memperkuat lembaga-lembaga sipil yang sudah ada, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serikat petani, atau bekerja sama dengan sektor swasta.
Menurut Rafi, pelibatan TNI harus tetap berada dalam batas-batas OMSP yang diatur oleh undang-undang. Ia khawatir kerja sama ini akan memperluas peran militer di ranah sipil secara perlahan namun pasti.
“Tiba-tiba [perjanjiannya] setahun, 2 tahun, 3 tahun akhirnya normal jadi 10 tahun yang akhirnya berpotensi malah menjadi pemerintahan militer gitu,” tambah Rafi.
Baca Juga: UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan Memiliki Sisi Menggerus Kebebasan Masyarakat Sipil
Koalisi Kebebasan Berserikat Menolak Pengesahan RUU TNI, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dikhawatirkan Meningkat
Mahasiswa Bandung Menolak UU TNI dan Militerisme
Pemborosan dan Potensi Bisnis Militer
Selain kekhawatiran atas dominasi militer dalam urusan sipil, Rafi juga menyoroti aspek pembiayaan dari kerja sama ini. Ia menyatakan bahwa program ini akan membebani keuangan daerah karena TNI yang terlibat tetap menerima gaji dari negara, tetapi akan mendapatkan tambahan honor dari pemerintah daerah.
“Pembayaran gaji dobel itu yang mana kita sama-sama ketahui prajurit TNI atau personel TNI itu sudah digaji bulanan oleh negara,” tegasnya.
Pasal 19 dalam PKS mengatur bahwa pihak pertama dan pihak kedua dibebaskan dari segala tuntutan hukum, kerugian, kerusakan, atau biaya yang timbul selama pelaksanaan perjanjian. Pemprov Jabar juga berkewajiban mengalokasikan anggaran untuk mendukung program kerja sama tersebut.
Kekhawatiran senada diungkapkan Pandu, peneliti dari Agrarian Research Centre (ARC). Ia menyebut kerja sama ini sebagai bentuk pemborosan anggaran dan membuka peluang bagi militer untuk terlibat dalam kegiatan bisnis.
“Terus membuka jaringan bisnis militer,” kata Pandu.
Dengan demikian, ia menyatakan, militer yang merupakan alat pertahanan negara kemudian menjadi aktor sosial-ekonomi yang memiliki kepentingan bisnis. Ia menilai regulasi dan kebijakan negara justru memberi "karpet merah" bagi militer untuk berbisnis.
“Dia dapat karpet merah dari negara karena ada berbagai produk atau regulasi yang ngasih jalan untuk dia melakukan itu (bisnis),” lanjutnya.
Menurut Pandu, militer harus ditempatkan kembali ke barak. Namun ia menyatakan, “Semangat reformasi untuk mengembalikan militer arah ke barak itu enggak pernah benar-benar berhasil.”
Sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam dunia bisnis bukan hal baru. Dalam laporan Tempo, dijelaskan bahwa sejak era nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, militer telah menempatkan pejabatnya dalam posisi strategis di berbagai sektor ekonomi. Dalam buku “Bila ABRI Berbisnis” (1998), Indria Samego menulis bahwa keterlibatan militer dalam dunia usaha awalnya untuk kebutuhan logistik, tetapi berkembang menjadi kekuatan ekonomi tersendiri.
Militerisme dalam Pengelolaan Lingkungan
Tiga bulan sebelum kerja sama ini diteken, Presiden Prabowo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan. Hannah Alaydrus dari Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) mengkritik perpres ini sebagai bentuk legitimasi atas pelibatan militer dalam urusan kehutanan.
Menurut Hannah, pendekatan militeristik terhadap kawasan hutan justru berpotensi merugikan masyarakat sipil yang hidup atau beraktivitas di sekitar hutan.
“Jadi ini bisa menjadi ancaman bagi masyarakat yang memang selama ini bukan hanya hidup tapi juga walaupun sekadar beraktivitas di sekitar kawasan hutan,” ujarnya.
Hannah juga menyoroti kecenderungan menyamakan aktivitas masyarakat dengan perusahaan besar dalam konteks pelanggaran di kawasan hutan. Hal ini berisiko menimbulkan konflik agraria yang lebih luas.
“Kemudian ada tidak kekhawatiran bahwa proyek-proyek yang dilegitimiasi perpres ini akan melanggengkan upaya-upaya TNI dalam menertibkan atau menggusur pemukiman warga,” ungkap Hannah.
Dalam PKS antara Pemprov Jabar dan TNI AD, keterlibatan militer juga merambah sektor lingkungan. Pasal 4 poin (d) dan (e) menyebutkan bahwa TNI AD dapat mengelola sampah, melestarikan lingkungan hidup, serta mencegah kejahatan lingkungan seperti pembalakan liar, penambangan ilegal, alih fungsi lahan, dan pencemaran.
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi berharap prajurit TNI tidak hanya terlibat dalam pengelolaan sampah, tetapi juga mampu memproduksi mesin pengolah sampah dan melindungi hutan serta daerah aliran sungai. Ia menegaskan bahwa keterlibatan militer adalah bentuk kedekatan dengan rakyat.
“Karena TNI itu manunggal, artinya dia tidak bisa dipisahkan (dengan masyarakat)," jelas Dedi, dikutip dari laman jabarprov.go.id.
Ia juga menjelaskan, keterlibatan militer di tengah masyarakat adalah untuk menyerap aspirasi. “Para anggota TNI akan bergerak kembali ke masyarakat, membangun, dan semakin dirasakan kedekatan dengan warga,” ujarnya.
Namun, dalam praktik sebelumnya, pelibatan militer dalam pengelolaan lingkungan tidak selalu menghasilkan dampak signifikan. Hannah mencontohkan proyek Citarum Harum, yang melibatkan TNI dalam penanganan pencemaran sungai berdasarkan Perpres Nomor 15 Tahun 2018. Menurutnya, setelah enam tahun, proyek tersebut belum menunjukkan hasil berarti.
“Kami tidak melihat hasil-hasil yang signifikan, bahkan cenderung bisa dikategorikan gagal,” kata Hannah.
Indikator kegagalan itu, lanjutnya, terlihat dari masih masifnya pencemaran di Sungai Citarum, baik dari sampah domestik maupun limbah industri. Pada Juli 2023, Tim Masyarakat Peduli TPA Sarimukti melakukan uji coba dengan ikan untuk membuktikan pencemaran air dari TPA ke anak Sungai Citarum. Ikan yang digunakan hanya mampu bertahan 10 hingga 19 menit dalam air sampel, meski hasil ini ditolak oleh Pemprov Jabar.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang TNI