Warga Sukahaji Mempertanyakan Keberpihakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada Warga Terdampak Sengketa Lahan
Warga Sukahaji kecewa karena merasa tak diberi ruang berbicara dalam dialog dengan Gubernur JabarDedi Mulyadi. Warga menuntut bukti-bukti sertifikat tanah.
Penulis Yopi Muharam17 April 2025
BandungBergerak.id - Puluhan warga Sukahaji menggelar aksi di depan Gedung Negara Pakuan, Jalan Otto Iskandar Dinata No. 1, Kota Bandung, pada Rabu sore, 16 April 2025. Mereka datang untuk merespons undangan silaturahmi dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Warga tiba menggunakan empat mobil angkutan kota (angkot) dan sejumlah sepeda motor.
Mereka berkumpul sekitar pukul 15.45 WIB, menunggu rekan-rekan mereka yang lebih dulu masuk ke Gedung Pakuan. Pertemuan yang disebut sebagai “silaturahmi” itu turut dihadiri Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, serta kuasa hukum Junus Jen Suherman, Rizal Nusi. Sebagian warga lainnya sudah berada di dalam gedung sejak pukul 15.30 WIB dan harus menunggu selama sekitar satu jam sebelum pertemuan dimulai. Pertemuan tersebut berlangsung hingga pukul 18.30 WIB.
Namun, harapan warga untuk menyampaikan keresahan mereka pupus. Leli, salah satu warga Sukahaji, mengaku kecewa karena tidak diberi kesempatan berbicara. “Enggak dikasih bicara,” ujarnya singkat. Menurut Leli, banyak warga yang sebenarnya ingin menyampaikan keluhan dan pengalaman mereka selama konflik tanah yang sudah berlangsung lama ini. “Kan harusnya tanya jawab gitu, penginnya warga,” ungkap perempuan berusia 26 tahun itu.
Leli menyebut bahwa selama pertemuan berlangsung, dialog justru didominasi oleh pihak Junus Jen Suherman yang lebih banyak membicarakan soal uang kerohiman.
Kekecewaan yang sama juga dirasakan oleh Fredy Pangabean, kuasa hukum warga Sukahaji. Ia menyayangkan tidak adanya ruang bagi warga maupun perwakilan hukumnya untuk berbicara dalam forum tersebut. “Masyarakat ini mengharapkan yang mengaku-ngaku pemilik sertifikat itu tunjukin dong,” kata Fredy dalam percakapan daring dengan BandungBergerak.
Menurut Fredy, apabila Junus dan Juliana memang merasa sebagai pemilik sah tanah tersebut, seharusnya klaim itu diajukan sejak warga pertama kali mendiami lahan garapan tersebut lebih dari tiga dekade lalu. “Kenapa waktu mereka (warga) baru tinggal di sana, kenapa enggak diusir?” ujarnya.
Terkait format pertemuan yang tidak memberi ruang dialog, Fredy menyadari bahwa agenda tersebut memang bukan untuk pembuktian hukum. “Jangankan masyarakat, saya saja sebagai kuasa hukumnya tidak diberikan ruang, karena memang (pertemuan itu) bukan dalam acara ruang dialog untuk bertanya jawab,” katanya.
Sikap Pemprov Jabar
Kepada wartawan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa tujuan pertemuan itu adalah menjaga hubungan sosial agar warga tidak terlantar jika harus meninggalkan rumah mereka. “Maka kita nyiapin kontrakan selama satu tahun dan membantu kebutuhan pangannya untuk beberapa saat sehingga mereka tidak dalam posisi terlantar kehilangan tempat tinggal dan kehilangan mata pencaharian,” ujarnya.
Dedi menyebut, pihaknya akan mengumpulkan data warga yang tergusur untuk kemudian memberikan bantuan uang sebesar 10 juta rupiah per orang. Jika jumlah warga terdampak mencapai 600 orang, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyiapkan anggaran sekitar 6 miliar rupiah.
Meski demikian, Dedi menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk ikut campur dalam perkara keperdataan. Ia menyatakan bahwa negara tidak bisa bertindak sebagai wakil dari pihak manapun dalam sengketa tanah ini.
“Jadi keperdataan kita enggak bisa campur itu,” katanya. Menurutnya, negara hanya hadir untuk menyelesaikan dampak sosial dari konflik tersebut.
Baca Juga: Ibu-ibu dan Bapak-bapak Sukahaji Mendesak BPN Kota Bandung Membuka Data Pemilik Sertifikat Tanah
Ruang Hidup Ratusan Warga di Desa Tenjolaya Terancam Eksekusi Lahan, Kasus ini Mencuat Setelah Nenek Jubaedah Mengungkap Dugaan Manipulasi Data Tanah di TikTok

Penolakan Warga terhadap Relokasi
Di luar Gedung Pakuan, malam semakin larut, namun warga yang menunggu tetap bertahan. Mereka terus berorasi dan menyemangati satu sama lain. Zaki, salah satu orator, dengan tegas menyampaikan bahwa warga Sukahaji akan terus bertahan dan menolak relokasi. “Ingat, Sukahaji tidak bersepakat untuk direlokasi,” serunya, disambut tepuk tangan warga lainnya.
Menurut Zaki, tawaran kontrakan selama satu tahun dari gubernur merupakan bentuk terselubung dari upaya relokasi. “Dengan menawarkan warga diberi satu tahun kontrakan itu kan sama saja seperti dia menawarkan kita relokasi,” tegasnya.
Zaki juga menyesalkan pernyataan Gubernur Dedi yang menyebut bahwa tanah di Sukahaji adalah milik perusahaan. Menurutnya, pernyataan tersebut mencerminkan keberpihakan Pemprov Jabar kepada pihak Junus dan Juliana. “Kemudian seolah-olah Wali Kota Bandung beserta Gubernur itu mendukung klaim Junus Jen Suherman dan juga Juliana Kusnandar,” ujarnya.
Pernyataan Dedi ini sebelumnya diucapkan saat ia mengunjungi Kampung Pasir Koja, Kelurahan Sukahaji, pada 16 April 2025 menggunakan sepeda. Dalam video yang diunggah di akun TikTok-nya, ia menyebut bahwa tanah yang ditempati warga adalah milik PT Sakura. “Ini warga mendiami tanah milik perusahaan PT Sakura di antaranya,” ucap Dedi dalam video tersebut.
Klaim Sertifikat yang Dipertanyakan
Pernyataan Dedi Mulyadi memicu keresahan di kalangan warga. Alis, salah satu warga, menyebut pernyataan gubernur tidak berdasar karena pihak yang mengklaim tanah belum bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan. “Jadi terlalu cepat menyimpulkanlah kalau gubernur ini,” katanya.
Alis juga mengungkapkan bahwa pada 14 April 2025, warga Sukahaji mendatangi Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Bandung untuk menuntut kejelasan status tanah mereka. Mereka mendesak agar ATR/BPN mengambil sikap tegas terhadap konflik ini.
Ia menyebut bahwa pengacara Junus baru mendaftarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sekitar dua bulan lalu. Bahkan, dari 90 permohonan sertifikat tanah yang diajukan, hanya lima yang baru tersertifikasi dari 53 yang telah tervalidasi.
“Kalau benar ini Junus bisa membuktikan, kami juga dengan senang hati akan pergi dari sini (Sukahaji). Walaupun tanah itu sudah kayak tanah kelahiran kami sendiri,” kata Alis yang lahir di Sukahaji pada 1992.
*Kawan-kawan bisa membaca reportase Yopi Muharam, kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang PENGGUSURAN