Citarum dan Logo Persib
Barangkali ini saat yang tepat untuk mengaitkan kembali loyalitas kita pada klub dengan loyalitas pada tanah tempat klub itu berpijak.

Muhammad Hafizh Firdaus
Pegiat literasi dari Politeknik Negeri Bandung
20 April 2025
BandungBergerak.id – Di tanah yang diberkahi aliran sungai, air bukan sekadar unsur alam –ia adalah identitas. Bandung merupakan tempat dua sungai besar mengalir, yaitu Citarum dan anak sungainya yang bongsor: Cikapundung. Bandung lahir dari cekungan subur yang tidak hanya menumbuhkan tanaman, tetapi juga simbol-simbol kebanggaan. Salah satunya, logo Persib yang teradopsi dari logo Pemerintah Kota Bandung (Maulana, 2021). Garis biru yang mengalir dalam lambang itu tidak sekadar ornamen –mereka adalah penanda sejarah, narasi tempat, dan semacam sumpah tidak tertulis kepada alam.
Namun, seperti kebanyakan simbol dalam masyarakat, ia perlahan menjadi hiasan tanpa makna. Ketika banjir kembali menyapa tiap musim hujan, ketika popok dan limbah rumah tangga menyumbat aliran, kita bertanya: “Apa kabar garis biru itu?”
Mungkin ia masih mengalir –di logo, bukan di Cinambo. Sejak rintisan “Ex Undis Sol” di era kolonial, logo warisan Bandung selalu punya narasi besar: tentang kelahiran dari sungai, tentang harapan yang muncul dari aliran air. Sungai tidak sekadar digambarkan, ia menjadi filosofi (Fridarmawan dkk., 2021). Maka ketika sungai itu rusak, bukan cuma lingkungan yang terganggu—makna lambang itu ikut retak. Masihkah kita menganggap sungai sebagai sumber kehidupan, atau kini hanya saluran pembuangan?
Nyatanya, Citarum bukan hanya rusak karena pabrik dan industri (Daulay, 2020). Ia luka karena kita semua turut melukai. Dari sampah rumah tangga yang dibuang sembarangan, hingga diamnya warga ketika bantaran dipenuhi sampah, semua menyumbang pada krisis ekologi –dan krisis identitas.

Baca Juga: Sungai Citarum dalam Kepungan Pencemaran dan Lahan Hutan Kritis
Perjalanan Juara Persib dari Zaman Perserikatan hingga Liga Indonesia
Masyarakat Belum Banyak Dilibatkan dalam Program Penanggulangan Pencemaran Sungai Citarum
Simbol dan Identitas
Sungai tidak lagi kita jaga sebagaimana kita menjaganya dalam simbol. Padahal, ia masih terpampang nyata di dada para Bobotoh, di tribun, di mural-mural kebanggaan.
Hingga saat ini, logo Persib memuat garis biru Citarum (Fridarmawan dkk., 2021). Tapi pertanyaannya: masihkah Citarum, digadang-gadang sungai terjorok sedunia itu, hadir dalam kesadaran kolektif kita? Atau justru simbol itu dibiarkan kosong makna, hanya menjadi bagian dari estetika tanpa etika?
“Citarum Harum” yang dikampanyekan pemerintah, sering kali hanya harum di baliho. Di bantaran, ia masih busuk, masih keruh, masih terabaikan (Zulhadi dkk., 2023).
Barangkali ini saat yang tepat untuk mengaitkan kembali loyalitas kita pada klub dengan loyalitas pada tanah tempat klub itu berpijak. Kalau kita sebagai Bobotoh bisa membela Persib mati-matian, kenapa tidak bisa membela Citarum dengan lebih ihtisaban?
Kita bisa jaga Persib dengan segala cara –dari stadion, titik kumpul, outfit, hingga media sosial. Tapi jaga Citarum? Cukup dengan kebiasaan-kebiasaan kecil, asal dari hati. Sesederhana menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak apatis pada kebijakan lingkungan, tidak cuek pada sungai yang mengalir di dekat rumah.
Sejatinya, bencana lingkungan tidak pernah datang tiba-tiba (Imansyah, 2012). Ia hasil dari pilihan-pilihan manusia yang terus mengabaikan fitrah alam. Dan ketika banjir melumpuhkan kota, mungkin bukan hujan yang perlu disalahkan –ia sudah ada sejak zaman Nabi Adam. Tapi kita sendiri, yang pura-pura naif bahwa dalam setiap logo, ada tanggung jawab untuk menjaga maknanya tetap hidup.
Persib lahir dari kota yang dialiri sungai, tapi kini alirannya keruh cenderung buntu. Saat garis biru di logo makin kehilangan maknanya, masihkah kita tahu dari mana datangnya kebanggaan itu?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel menarik lain tentang Citarum dan Persib Bandung