• Berita
  • Kesaksian Warga Perempuan Sukahaji Ketika Kekerasan Konflik Tanah Menimpa Mereka

Kesaksian Warga Perempuan Sukahaji Ketika Kekerasan Konflik Tanah Menimpa Mereka

Kekerasan terjadi ketika warga perempuan Sukahaji meminta kepada sekelompok pria untuk menghentikan pemagaran lahan bekas kebakaran.

Suasana hari kedua Lebaran di gang sempit Sukahaji. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam23 April 2025


BandungBergerak.idPeringatan hari Kartini, 21 April 2025 lalu yang seharusnya menggambarkan kebangkitan perempuan, justru ternodai oleh tindak kekerasan yang dialami perempuan di Sukahaji, Babakan Ciparay, Kota Bandung. Kejadian ini terjadi saat sekelompok orang berencana membangun pos di puing-puing bekas kebakaran jongko palet kayu. Warga, mayoritas perempuan, yang menentang pembangunan area konflik tanah tersebut kemudian terlibat konfrontasi.

Pukul 11.00 WIB, suasana berubah tegang. Adu mulut berlangsung sengit antara warga yang tergabung dalam gerakan Sukahaji Melawan dan sekelompok pria berbadan kekar. Situasi berubah lebih buruk saat kekerasan fisik mulai terjadi. Seorang solidaritas sempat dipukul dan ditarik saat meneriakkan “Sukahaji Melawan, Usir Setan Tanah”.

Penarikan pria dari solidaritas bisa dihentikan oleh para ibu yang berada di sana. Namun, situasi semakin ricuh. Kelompok pria yang ingin memagar semakin represif.

Vivi (bukan nama asli), seorang warga Sukahaji yang menyaksikan peristiwa tersebut, menceritakan, “Pokoknya kalau ngehalangin habisin aja mau ibu-ibu mau anak kecil habisin,” kata Vivi, menirukan ucapan kelompok yang hendak melakukan pemagaran.

Vivi melihat kejadian karena mengikuti sang ibu yang berada di sana. Dia khawatir terjadi sesuatu menimpa perempuan yang melahirkannya. Saat ketegangan semakin meningkat, dia mendengar ancaman-ancaman itu menjadi lebih kasar. Lemparan puing-puing bekas kebakaran mulai berterbangan di udara, menghantam banyak warga.

Salah satu yang menjadi korban adalah Ijah (bukan nama asli), remaja perempuan berusia 14 tahun. Ijah, yang tinggal tidak jauh dari lokasi kejadian, ikut serta untuk melihat kericuhan.

“Posisinya aku ya awalnya cuma mau lihat,” ujar Ijah.

Namun, saat kericuhan memuncak dan banyak barang berterbangan di udara, Ijah yang hendak mundur malah terhantam sebatang kayu bekas terbakar.

“Pas nengok ke belakang kayu udah ada di depan muka,” kata Ijah, mengenang sebelum dirinya jatuh tak sadarkan diri.

Warga segera membawa perempuan berusia 14 tahun tersebut ke posko medis terdekat. Ijah mengalami luka serius, bibir bengkak, dada lebam, dan sesak napas. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut.

“Sakit, pedih gitu, pusing. Pokoknya mata juga agak burem-burem. Terus sama sesak,” ujarnya.

Tak lama setelah kejadian itu, Ais (bukan nama asli) yang berada di lokasi kejadian juga menjadi korban. Ais yang tinggal di RW berbeda, bergabung dengan warga yang menentang pemagaran oleh ormas. “Karena kan belum ada dari pihak hukum pun belum ada keputusan apapun,” ujar Ais.

Ia merasa tindakan pemagaran tidak sah. Ais pun beradu argumen dengan beberapa pria yang hendak melakukan pemagaran. Namun, respons yang diterimanya sangat kasar. “Pokoknya mau ibu-ibu mau apa juga habisin aja katanya,” ujar Ais, menirukan ancaman yang sama yang didengar Vivi.

Kekerasan fisik pun terjadi. “Saya berdiri kena dorong, kena injak lagi,” kata Ais.  Ia juga terkena lemparan batu. Bagi Ais, perlakuan itu sangat berlebihan dan tidak bisa dibiarkan. “Kenapa sih harus ibu-ibu, kenapa perempuan yang digituin?” ujarnya, penuh keheranan.

Meski aparat kepolisian yang berada di sana akhirnya melerai kericuhan, namun korban luka sudah terlanjut terjadi. Menurut Ais, kekerasan tersebut seharusnya bisa dicegah lebih cepat.

Vivi pun merasakan hal yang sama. Jika potensi kekerasan itu bisa segera dicegah, ia yakin tidak akan banyak warga perempuan yang terluka. “Ini tuh bukan karena (kasus) tanah nih harusnya. Ini tuh udah tindak kriminal,” tegas Vivi.

Kasus kekerasan di Sukahaji menjadi catatan KontraS dan LBH Bandung. Menurut kedua organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia tersebut, kekerasan baru dihentikan setelah ada korban luka-luka.

Dari peristiwa tersebut, setidaknya 14 warga menjadi korban tindak kekerasan, yang dimana 8 korban mengalami luka akibat lemparan batu, 4 korban mengalami luka-luka akibat pengeroyokan, dan 2 korban luka-luka akibat benda tajam.

Tidak Aman di Rumah Sendiri

Pada pukul 14.00 WIB, Ijah, Ais, dan tiga warga lainnya yang menjadi korban kekerasan segera melaporkan kasus ini ke polisi. Setelah pelaporan selesai pada pukul 17.30 wib, mereka melakukan visum di rumah sakit Bhayangkara.

Setelah warga melakukan visum pada malam hari, mereka tidak bisa langsung pulang ke Sukahaji karena tersiar kabar kekerasan terus berlanjut. Mereka mendapat kabar ada upaya serangan yang dilakukan kepada warga Sukahaji. Aksi ini dilakukan oleh orang-orang yang membawa senjata tajam.

Setelah dirasa kondisi di Sukahaji sudah mulai kondusif, mereka baru bisa pulang. Ijah merasa sedih karena menyadari  kondisi kampungnya sedang tidak baik-baik saja. “Tidak merasa aman di rumah sendiri,” ungkapnya.

Peristiwa ini mengungkapkan betapa perempuan, baik yang terlibat langsung dalam perlawanan atau yang hanya ingin melindungi diri, menjadi korban kekerasan dalam konflik tanah yang tengah berlangsung. Aksi kekerasan ini menggambarkan lemahnya perlindungan terhadap perempuan dalam konteks konflik sosial.

Baca Juga: Malam Solidaritas Sukahaji Melawan, Menghidupkan Ruang Hidup Warga
Warga Sukahaji Mempertanyakan Keberpihakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada Warga Terdampak Sengketa Lahan

Perempuan dan Anak di Pusaran Konflik Agraria

Perempuan dan anak menjadi pihak paling rentat dalam konflik agrasia. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di setiap konflik agraria dan perampasan tanah perempuan tidak hanya kehilangan sumber mata pencaharian, namun juga menjadi korban kekerasan dan penganiayaan.

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, antara 2017-2020 terdapat 25 perempuan mengalami kriminalisasi dan 78 orang mengalami kekerasan saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran dan perampasan oleh perusahaan swasta dan negara. Pada tahun 2021, sejumlah 25 perempuan dikriminalisasi dan 7 orang dianiaya.

“Perjuangan perempuan reforma agraria merupakan perlawanan perempuan terhadap ketimpangan stuktur kepemilikan tanah dan hilangnya sumber-sumber agraria yang berdampak langsung pada perempuan. Kaum perempuan memikul beban ganda, sebab perampasan tanah dan sumber-sumber agraria telah mengakibatkan hilangnya sumber produksi,” demikian keterangan KPA.

Situasi ini mengakibatkan kaum perempuan harus bekerja ekstra keras, sebab dituntut mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan bekerja serabutan menjadi buruh tani, buruh cuci, buruh harian lepas, dan sektor informal lainnya. Situasi ini dijalani ditengah kerja-kerja untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan domestik.

KPA menggarisbawahi bahwa konflik dan ketimpangan struktur agraria juga berdampak pada relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Hal itu tidak hanya menyebabkan keterbatasan akses dan kontrol perempuan atas pengambilan keputusan yang memengaruhi hidupnya, tetapi juga kerentanan dan diskriminasi.

“Situasi ini akan semakin memburuk, karena pemerintah terus memfasilitasi kepentingan investasi dan pembangunan yang menjadi penyebab utama praktik perampasan tanah dan lahirnya konflik agraria. Sebab dilakukan dengan kebijakan dan cara serampangan. Perempuan dan anak adalah korban utama dari peristiwa tersebut yang menyebabkan penindasan berlapis,” papar KPA. 

*Kawan-kawan bisa membaca reportase Yopi Muharam, kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang PENGGUSURAN

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//