• Berita
  • Malam Solidaritas Sukahaji Melawan, Menghidupkan Ruang Hidup Warga

Malam Solidaritas Sukahaji Melawan, Menghidupkan Ruang Hidup Warga

Di lahan bekas kebakaran, warga dari Forum Sukahaji Melawan menggelar festival dan trauma healing bagi anak-anak yang menjadi kelompok rentan di tengah konflik.

Penampilan musikus balada Abah Omtris di Festival Sukahaji Melawan, Kamis, 17 April 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam19 April 2025


BandungBergerak.idDi tengah ancaman penggusuran dan sisa-sisa kebakaran yang masih terasa, warga Sukahaji, Kota Bandung, menggelar sebuah festival bertajuk "Malam Solidaritas Sukahaji Melawan" pada Kamis, 17 April 2025. Digelar di atas lahan seluas 800 meter persegi yang dulunya dipenuhi rumah dan jongko kayu, festival ini menjadi bentuk aktivasi ruang oleh warga sebagai upaya bertahan dari penggusuran.

Acara berlangsung meriah dengan penampilan musik, pasar gratis, posko kesehatan, bombing spray, hingga trauma healing untuk anak-anak. Semua dipersiapkan hanya dalam waktu satu hari, didorong oleh solidaritas warga dan jaringan seniman serta relawan dari berbagai komunitas di Kota Bandung. Warga berbondong-bondong hadir, menyemarakkan malam hingga larut.

Felix, seorang pemuda dari Sukahaji, menyebut festival ini sebagai wujud penguatan internal komunitas di tengah tekanan yang terus datang. “Besar harapan kami dari pemuda dan forum Sukahaji Melawan, itu lebih menguatkan kita di tengah konflik yang kita terus diintimidasi,” ujar Felix di sela-sela acara.

Menurut Felix, intimidasi kerap datang dari kelompok luar yang mengklaim tanah ini bukan milik warga. Bentuk penolakan terhadap intimidasi tersebut salah satunya dilakukan dengan terus mengaktivasi ruang. “Kami memperjuangkan ruang hidup kami sampai titik darah penghabisan,” tegasnya.

Festival ini pun menjadi momen untuk mempererat solidaritas antarwarga pasca-kebakaran yang melahap sejumlah jongko dan tiga rumah pada 9 April lalu. Felix menyebut banyak warga, khususnya lansia dan anak-anak, yang mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Acara ini, menurutnya, bukan sekadar hiburan, melainkan juga upaya penyembuhan kolektif.

“Kami itu perlu dilihat dan kami itu perlu dikawal. Karena banyak kronik-kronik dari pihak setan tanah yang mengubah atau menggambarkan kami itu kayak orang yang tidak berpendidikan,” tutupnya.

Menghidupkan Solidaritas Melalui Seni dan Budaya

Perlawanan terhadap penggusuran di Sukahaji tidak hanya dilakukan lewat advokasi hukum atau protes, tapi juga melalui seni. Musisi balada Abah Omtris menjadi salah satu seniman yang turut mendukung warga melalui penampilannya. Ia mengaku lebih nyaman tampil di tengah masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

“Minimal dengan acara seperti ini bisa menaikkan moral, semangat mereka, daya, dan juga hidupnya yang penting,” kata Omtris setelah tampil membawakan lagu “Sajak Luka dari Tanah Tua”, karya terbarunya yang terinspirasi dari konflik agraria.

Omtris menilai, seni bisa menjadi medium untuk menyuarakan keberanian dan menyebarkan semangat perjuangan. “Konflik agraria selalu terjadi karena kerakusan,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya kemerdekaan hidup layak dan perlunya ruang-ruang seperti ini sebagai bentuk ekspresi warga. “Terutama dengan kata-kata,” tambahnya.

Dukungan dari warga luar kawasan Sukahaji juga dirasakan sangat berarti. Yinta (nama samaran), salah satu warga yang hadir, menyebut acara ini memberi semangat baru bagi warga yang terdampak. “Supaya ini menguatkan warga gitu. Semangatin warga juga yang terdampak tergusur gitu,” katanya.

Senada, Wati (nama samaran) menyampaikan bahwa kehadiran masyarakat luar dan mahasiswa membuat warga merasa tidak sendirian. “Merasa tertemenin juga,” ujarnya. Ia mengungkapkan, solidaritas menjadi satu-satunya pegangan mereka di tengah minimnya dukungan dari pemerintah.

Baca Juga: Warga Sukahaji Mempertanyakan Keberpihakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada Warga Terdampak Sengketa Lahan
Ruang Hidup Ratusan Warga di Desa Tenjolaya Terancam Eksekusi Lahan, Kasus ini Mencuat Setelah Nenek Jubaedah Mengungkap Dugaan Manipulasi Data Tanah di TikTok
Ibu-ibu dan Bapak-bapak Sukahaji Mendesak BPN Kota Bandung Membuka Data Pemilik Sertifikat Tanah

Trauma healing untuk anak-anak di Festival Sukahaji Melawan, Kamis, 17 April 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Trauma healing untuk anak-anak di Festival Sukahaji Melawan, Kamis, 17 April 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Trauma Healing, Bentuk Pemulihan Mental Bagi Anak-Anak Sukahaji

Konflik penggusuran dan peristiwa kebakaran yang melanda kawasan Sukahaji tak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis, terutama bagi anak-anak. Suasana tegang, intimidasi terbuka, dan bunyi-bunyian keras menjadi pemicu trauma yang berkelanjutan.

Dini (23 tahun), seorang ibu muda, bercerita tentang perubahan perilaku anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun pascakebakaran. Anaknya kini menjadi sangat sensitif terhadap keramaian. “Takutnya kayaknya gini bilangnya, ‘Mah, kenapa mah, ada kebakaran lagi?’” ucap Dini menirukan ucapan sang anak yang kerap terbangun dari tidur saat mendengar suara keras.

Kecemasan sang anak bahkan tidak surut meski Dini sudah meyakinkannya bahwa situasi sudah aman. “Anaknya tetap nangis,” katanya. Maka ketika ada kegiatan trauma healing yang digagas mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dini segera membawa anaknya untuk bergabung agar bisa kembali ceria.

Cerita serupa datang dari Dedah (42 tahun), ibu dari anak kelas dua SD. Rumah Dedah berada dekat titik api saat kebakaran terjadi, dan sejak itu, anaknya menunjukkan penolakan untuk tinggal di rumah. “Jadi ketakutan aja, gak mau pulang ke rumah,” ungkapnya.

Saat masyarakat bergotong royong memadamkan api yang terbakar, banyak dari warga terluka akibat goresan seng hingga sesak naPas. Dampaknya, anak Dedah tidak hanya takut terhadap api, tetapi juga trauma melihat darah dan orang yang sesak napas akibat insiden tersebut. “Jadi enggak mau ketemu orang,” tambah Dedah.

Kondisi ini menggerakkan para mahasiswa pendidikan dari komunitas Suluh Kaoem Guru untuk terlibat dalam upaya pemulihan trauma anak-anak Sukahaji. Winda, alumnus UPI sekaligus guru di salah satu SD di Bandung, menjadi salah satu penggeraknya.

“Kelihatan kalau anak yang masih kecil juga punya ketakutan terhadap hal-hal yang mereka hadapi,” ujarnya.

Sebelum memulai kegiatan, Winda terlebih dahulu berdiskusi dengan para orang tua untuk memahami kondisi anak-anak. Hasilnya, banyak anak menunjukkan kecemasan yang berujung pada kesulitan tidur hingga menurunnya konsentrasi belajar di sekolah.

“Dampaknya tuh jadi, karena cemas takut susah tidur, sehingga gak fokus sekolah dan ngeganggu juga proses belajarnya,” jelasnya.

Winda menilai trauma ini muncul akibat intensitas konflik yang terus terjadi. Anak-anak sering melihat orang tua mereka dibentak-bentak oleh pihak yang mengklaim tanah.

Setiap sore, komunitas ini menggelar kegiatan trauma healing dengan berbagai aktivitas seperti menyanyi, menggambar, berdoa, dan membagikan vitamin secara gratis. Meskipun pemulihan psikologis tidak bisa instan, Winda berharap langkah ini bisa memberi dampak positif bagi anak-anak. “Kalau di sini tuh lagi urgent banget untuk anak tuh, soal trauma healing,” tegasnya.

Dedah juga mengungkapkan bahwa anaknya kini semakin sering bertanya tentang kemungkinan rumah mereka digusur. “Kalau anak saya suka bilang gini, ‘Mama, rumah kita mau digusur, terus kita mau pindah ke mana?’” tutur Dedah. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Anaknya takut kehilangan teman karena sempat putus sekolah.

Melalui kegiatan trauma healing ini, Dedah dan Dini berharap anak-anak mereka bisa kembali menjalani hari-hari dengan keceriaan yang pernah hilang. “Semoga anak saya tidak ketakutan lagi dan bisa ceria lagi. Bisa bermain dengan bebas tanpa ketakutan,” harap Dedah, diamini oleh Dini.

Festival "Malam Solidaritas Sukahaji Melawan" membuktikan bahwa banyak cara memperjuangkan pemenuhan hak ruang hidup, selain demonstrasi dan gugatan hukum. Penguatan komunitas, solidaritas lintas kelompok, dan keberpihakan pada ruang hidup menjadi bentuk perlawanan lainnya. Ruang yang dihidupkan bersama menjadi tempat bertahan—bukan hanya secara fisik--tapi juga psikis, terutama bagi anak-anak yang menjadi saksi paling rentan dari konflik ini.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase Yopi Muharam, kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang PENGGUSURAN

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//