• Berita
  • KABAR DARI REDAKSI: Membuka Ruang Keberagaman Bersama Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda

KABAR DARI REDAKSI: Membuka Ruang Keberagaman Bersama Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda

BandungBergerak dan INFID menggelar Pelatihan Jurnalisme Inklusif untuk Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda. Mendengarkan suara-suara yang sering terpinggirkan.

Foto bersama Pelatihan Jurnalisme Inklusif untuk Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda, Bandung, 22-23 Maret 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi25 April 2025


BandungBergerak.id - Di utara Kota Bandung 20 orang muda menjadi peserta “Pelatihan Jurnalisme Inklusif untuk Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda”. Lokakarya selama dua hari ini menjadi kesempatan penting bagi pers mahasiswa dan jurnalis muda untuk mengenal dan memahami isu keberagaman sosial. Buka puasa dan sahur bersama semakin menguatkan ikatan antarpeserta, narasumber, dan panitia pelatihan mengingat acara bertepatan dengan minggu terakhir puasa, 22-23 Maret 2025 lalu.

BandungBergerak yang bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam menggelar pelatihan ini meyakini, jurnalisme berpespektif keberagaman semakin relevan di tengah iklim toleransi di Indonesia kerap ternoda. Di Bandung, kota urban yang pernah mendaku ramah HAM, kasus-kasus pelanggaran terhadap keberagaman masih kerap terjadi.

Jurnalisme inklusif adalah pendekatan dalam dunia jurnalisme yang berfokus pada melibatkan semua suara, terutama dari kelompok yang sering terpinggirkan atau diabaikan dalam pemberitaan mainstream. Pendekatan ini berusaha menyajikan berita yang mewakili keberagaman—baik dari sisi agama, ras, gender, orientasi seksual, hingga status sosial-ekonomi. Jurnalisme inklusif bertujuan memastikan bahwa setiap kelompok mendapat representasi yang adil dan setara, tanpa ada yang terabaikan atau didiskriminasi.

Mengapa jurnalisme inklusif penting? Setiap hari kita terpapar berbagai berita—baik di televisi, media sosial, atau situs berita online. Sayangnya, banyak pemberitaan yang tidak menggambarkan realitas sosial secara adil. Kelompok-kelompok terpinggirkan—seperti minoritas agama, minoritas gender, perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, kelompok miskin, dan lain-lain—sering kali hanya muncul dalam berita yang sensasional, seperti saat terjadi konflik atau tragedi. Padahal, mereka juga memiliki cerita kehidupan sehari-hari yang layak untuk dibagikan kepada publik.

Ketika pemberitaan hanya menyoroti sisi negatif atau konflik, tanpa memberi ruang bagi suara mereka untuk berbicara, hal ini justru bisa memperburuk ketidakadilan dan perpecahan sosial. Jurnalisme inklusif hadir untuk melawan hal ini dengan cara menyajikan berita yang tidak hanya berfokus pada perbedaan, tetapi juga mengajak masyarakat untuk lebih memahami keberagaman yang ada.

Baca Juga: KABAR DARI REDAKSI: Di Tahun Keempat, Menjelang Tahun-tahun yang Kian Berat
KABAR DARI REDAKSI: Tiga Tahun BandungBergerak.id
Membangun Kerukunan Antarumat Bergama dengan Memaknai Keberagaman

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)
Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Jurnalisme Inklusif untuk Jurnalis Muda Muupun Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa sebagai jurnalis muda memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk opini publik, terutama di kalangan generasi muda. Sebagai bagian dari dunia pendidikan, pers mahasiswa sering kali menjadi ruang untuk bereksperimen dengan ide-ide baru dan menyajikan perspektif yang berbeda dari media mainstream. Oleh karena itu, pers mahasiswa perlu memiliki perspektif jurnalisme inklusif.

Di sisi lain, para jurnalis muda tersebut hidup di era digital yang tidak bisa terlepas media sosial. Media sosial menjadi alat utama untuk membahas berbagai isu sosial dan budaya. Sayangnya, media sosial juga sering kali memperkuat narasi yang lebih konservatif terkait keberagaman, contohnya isu agama. Banyak narasi konservatif di media sosial yang justru menentang keberagaman. Ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi para jurnalis muda untuk menemukan keseimbangan narasi moderat dan inklusif yang bisa merangkul seluruh lapisan masyarakat.

Media sosial memungkinkan banyak berita dan opini tersebar tanpa filter yang memudahkan tersebarnya informasi bias atau diskriminatif. Banyak orang-orang muda yang ikut terpapar bias-bias ini. Sebagai gambaran, pada 2016 INFID melaksanakan survei terkait sikap dan persepsi generasi muda terhadap radikalisasi dan ekstremisme. Hasil survei menunjukkan bahwa agama menjadi bagian penting dalam pembentukan identitas personal generasi muda.

Hal mencolok dari temuan survei INFID adalah penolakan yang kuat generasi muda terhadap tindakan kekerasan bermotif agama, namun pada saat yang sama mereka memiliki kecenderungan kuat untuk menerima intoleransi terhadap kelompok keyakinan minoritas nonmainstream atau yang secara populer disebut “kelompok sesat”.

Berikutnya, tahun 2020 INFID melakukan survei lanjutan di enam kota (Bandung, Makasar, Solo, Surabaya, Yogyakarta) terhadap intoleransi dan ekstremisme berbasis agama dan membandingkannya dengan isu yang sama sesuai hasil survei 2016. Hasilnya, secara umum, temuan survei menunjukkan adanya pergeseran positif pada sikap dan pandangan generasi muda terhadap isu intoleransi dan ekstremisme berbasis agama jika dibandingkan dengan temuan survei yang sama tahun 2016.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar orang muda menolak secara tegas terhadap berbagai tindakan kekerasan bermotif agama. Bagi mereka, tindakan kekerasan tidak mencerminkan ajaran agama. Pelaku tindakan kekerasan bermotif agama disebabkan pemahaman keagamaan pelaku yang tidak mendalam. Survei ini menunjukkan adanya pergeseran positif terhadap isu-isu intoleransi. Ada perkembangan ke arah sikap dan pandangan yang lebih toleran di kalangan anak-anak muda.

Melalui pelatihan ini BandungBergerak dan INFID berharap para jurnalis muda bisa menyampaikan berita yang lebih bijak, mengedepankan rasa hormat terhadap keberagaman, dan membantu menciptakan iklim sosial yang lebih toleran dan adil. Produk-produk jurnalistik yang mereka hasilkan menjadi membuka ruang bagi semua kelompok dan memastikan keberagaman tetap terjaga.

Pelatihan ini bukan hanya ajang belajar untuk para jurnalis muda, tetapi juga merupakan langkah penting untuk memperkuat keberagaman dalam pemberitaan. Dengan mendalami dan menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme inklusif, mereka bisa menghasilkan konten yang tidak hanya berimbang, tapi juga mencerminkan keragaman Indonesia secara lebih adil dan terbuka. 

Selain mengasah keterampilan jurnalistik, peserta pelatihan juga diajak untuk memahami bagaimana isu-isu keberagaman perlu disajikan dengan cara yang lebih sensitif, adil, dan tanpa memperkuat stereotip atau bias dari narasumber kompeten yang berasal dari pelbagai latar belakang, mulai dari LBH Bandung, Organisasi Budidaya (penghayat), PGAK Santa Odilia, Fatayat NU Jabar, dan Setara Institute.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain mengenai Keberagaman dan Toleransi dalam tautan tersebut

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//