• Berita
  • Membangun Kerukunan Antarumat Bergama dengan Memaknai Keberagaman

Membangun Kerukunan Antarumat Bergama dengan Memaknai Keberagaman

Kerukunan antarumat beragama bisa terbangun jika muncul kesadaran bahwa kita hidup di negeri beragam suku, agama, etnis. Saling menghormati perbedaan.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam25 Maret 2025


BandungBergerak.id - Kelompok minoritas di Indonesia kerap dihantui diskriminasi. Baik dalam menjalankan peribadatan maupun ketika bersosialisasi. Salah satu agama minoritas yang kerap mengalami tindak diskriminasi ialah Syiah. Bukan hal baru bagi mereka didatangi kelompok intoleran ketika mengadakan acara.

Hal tersebut diceritakan oleh Dini, dari Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Kota Bandung. Tidak sekali, dia mendapatkan diskriminasi yang ditujukan kepada kelompoknya rutin mengadakan kegiatan Asyura setiap 10 Muharram, momen peringatan kematian Husain bin Ali.

“Waktu itu kami sudah sewa gedung, tapi beberapa hari sebelum acara ada orang yang keberatan dengan acara ini,” ujar Dini, saat di diskusi yang diselenggarakan oleh BandungBergerak dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), di Bandung, Sabtu, 22 Maret 2025. Diskusi ini merupakan rangkaian yang terdiri dari pelatihan hingga loka karya yang dihadiri oleh Pers Mahasiswa (Persma) di berbagai kampus di Kota Bandung.

Menurut Dini, masa membubarkan acara komunitasnya. Aparat kemudian menyarankan pindah lokasi. Saat itu, Stadion Persib Sidolig yang bertempat di Jalan Ahmad Yani menjadi alternatif. “Tapi acara baru berjalan beberapa menit sudah ada orang yang berteriak-teriak di luar,” ujarnya.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 2015. Massa aksi yang hendak membubarkan kegiatan itu membawa spanduk bertuliskan ‘Syiah Ancaman NKRI’.
Kendati mendapat penolakan dari warga Kota Bandung, pengurus IJABI tetap menyelenggarakan peringatan Asyura dengan penjagaan ketat dari aparat gabungan.

Pembubaran acara komunitas Syiah di Bandung bukan satu dua kali. Yang terbaru terjadi saat perayaan puncak Asyura 17 Juli 2024 di Kopo. Jemaah Syiah yang melakukan acara internal dibubarkan oleh sebuah kelompok massa. “Sampai umur saat ini aku belum pernah lagi merasakan Asyura yang aman,” ungkap Dini.

Lebih dari itu, tindakan diskriminasi juga menyasar ke tempat Dini mengenyam pendidikan. Waktu itu usianya baru berumur 13 tahun. Namun sekolah ini kerap didatangi orang tak dikenal. Sekolahnya sudah menyandang stigma sebagai sekolah Syiah.

Tiap memasuki bulan Muharram, sekolah Dini selalu didatangi aparat yang berjaga. Apalagi hampir setiap Muharam sekolah Dini kerap didemo. “Saya belum pulang waktu itu meski sudah jam pelajaran sudah sekolah. Dari lantai dua saya lihat tokoh kami berdiri sendirian menghadapi massa yang sudah mengelilinginya,” ceritanya mengingat pengalaman semasa sekolahnya dulu.

Melarang Peribadatan

Terkait dengan pelarangan peribadatan, Dyah Nur Susanti, perwakilan dari Gereja Santo Odelia menceritakan hal serupa dengan Dini. Peristiwa Misa Rabu Abu pada Rabu, 5 Maret 2025 lalu, menjadi tindak diskriminasi yang baru dirasakan oleh Dyah dan kelompoknya.

Massa melangsungkan aksinya ketika umat Katolik sedang merayakan misa Rabu Abu sebagai awal memasuki masa Paskah. Menurut mereka, Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik yang digunakan umat Katolik merupakan fasilitas umum (Fasum) atau fasilitas sosial (Fasos) yang seharusnya tidak bisa dijadikan rumah ibadah.

Dyah sudah dari tahun 1984 tinggal di Arcamanik. Jadi dia tahu betul bagaimana perkembangan yang terjadi di sana. Menurut Dyah, kelompoknya itu sudah menggunakan GSG sejak tahun 90an. “Dulu sebenarnya sudah ada diskriminatif tapi kita mengabaikannya,” terangnya.

Bentuk diskriminasi yang paling nyata salah satunya ialah sulitnya mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja. Jadi bukan tanpa alasan menurutnya menggunakan gedung serbaguna itu. “Karena untuk perizinan gereja sangat susah,” ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan, GSG Arcamanik awalnya dimiliki atas nama Yosep Gandi, pastor Paroki Santa Odilia, sebelum dihibahkan dan disertifikatkan sebagai hak milik Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia pada Juni 2024.

Dyah mengatakan, meski sudah mengantongi hak milik GSG masih tetap difungsikan sebagai gedung umum di sela-sela jadwal ibadah. “Ada yang menggunakannya untuk olahraga dan atau pesta perkawinan,” lanjut Dyah.

Akan tetapi, umat gereja di sekitar rumahnya berkembang pesat. Pada tahun 2023 mereka berbenah untuk menjadikan GSG tersebut menjadi gereja Katolik. Mereka juga sudah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) gedung untuk selanjutnya direnovasi dijadikan gereja.

Saat itu juga, kelompoknya sudah memenuhi syarat IMB untuk meminta tanda tangan persetujuan 90 pengguna plus dukungan 60 orang. Akan tetapi, berkas yang mereka sudah kumpulkan sebagai izin itu kemudian mendapatkan penolakan.

Baca Juga: Mewujudkan Harmonisasi Toleransi Antaragama, Upaya PGI dalam Memperkuat Jejaring dan Komunitas
Gusti, Toleransi, dan Narasi
Toleransi terhadap Kelompok Rentan di Jawa Barat Menemui Hambatan di Lapangan

Minimnya Pemahaman tentang Keberagaman

Di sisi lain, Hana dari Fatayat Nadhadul Ulama (NU) menyayangkan kejadian yang menimpa Dini dan Hana. Padahal, menurut Hana, Katolik merupakan agama yang masuk ke dalam enam agama yang diakui negara. Bahkan menurut Hana, umat Katolik dari Gereja Santa Odelia sudah memenuhi standar yang ditetapkan SKB 2 Menteri.

SKB 2 Menteri tersebut dikeluarkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 sudah mengatur tentang pendirian rumah ibadah, pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Menurut Hana, diskriminasi terhadap kelompok minoritas terjadi karena minimnya pengetahuan terkait kebebasan beragama berkeyakinan (KBB). “Jadi, kebencian itu karena ketidaktahuan dan minimnya ruang-ruang bicara atau sharing antar umat beragama,” tuturnya.

Hana juga menyinggung tentang tindak diskriminasi yang dialami oleh kelompok Syiah. Dia menyadari bahwa kejadian tersebut akan sangat sulit untuk membuka ruang dialog bersama masyarakat yang menolak keberadaan Syiah. “Makanya yang minoritas kalau tidak punya kuasa akan susah,” ungkap Hana.

Tidak hanya itu, Hana juga mengalami sendiri ketika dirinya akan mengadakan dialog lintas iman. Saat itu, Hana mengundang 15 ibu-ibu yang pernah mengalami tindakan diskriminasi. Di antara 15 ibu-ibu itu terdiri dari yang netral, Persis, Muhammadiyah, bahkan Katolik.

Dialog lintas iman itu diadakan di sejumlah masjid dan beberapa tempat untuk kerukunan umat beragama. Akan tetapi, kegiatan tersebut tidak selamanya mulus. “Ketika saya meminta izin kegiatan berdialog ini cukup sulit karena perizinan dari desa di persulit, mereka menyampaikan kalau daerah ini sudah damai,” ceritanya.

Dari peristiwa itu juga, Hana menyadari bahwa bukan kelompok minoritas saja yang mendapat diskriminasi. “Artinya, kita pun dari mayoritas juga mengalami hambatan saat proses-proses seperti itu,” ucapnya.

Di sisi lain, Deti, perwakilan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengungkapkan kebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Bahkan negara harus melindungi warganya untuk menentukan keyakinannya. “Misalkan ada agama baru pun, negara harus memberikan ruang,” kata Deti. “Jadi negara tidak boleh untuk membatasi.”

Bahkan menurut Deti, masyarakat pun tidak boleh menindas HAM orang lain. ketika ada kelompok minoritas yang mendapatkan tindak diskriminasi, bagi Deti, masyarakat lain harus melakukan solidaritas. “Kita harus memperjuangkan hak itu dengan beraliansi,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, dia juga menyarankan pers untuk melakukan solidaritas dengan melakukan peliputan kepada kelompok minoritas. “Karena itu juga bisa menjadi desakan publik juga,” tutur Deti. Pers, juga Persma, dapat memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemahaman keberagaman.

“Belum lagi sekarang kan zaman media sosial, maka dari itu harus menyebarkan pesan solidaritas bagi masyarakat yang terdampak,” terangnya. “Terlebih pers adalah pilar demokrasi yang masih bisa diharapkan. Karena pers mempunyai peran yang strategis.”

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharamatau reportase-reportase lain mengenai Keberagaman dan Toleransi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//