• Kolom
  • Gusti, Toleransi, dan Narasi

Gusti, Toleransi, dan Narasi

Membaca jejak pemikiran Gustiana Isya Marjani yang semasa hidupnya telah mencerahkan dan mencerdaskan bangsa. Merawat ingatan kolektif untuk takzim kepada guru.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Kabar duka atas meninggalnya Gustiana Isya Marjani. (Foto: www.uinsgd.ac.id)

11 Maret 2025


BandungBergerak.id – Bada salat Jumat di masjid Al-Hidayah Manisi Kebon Terong. Sambil menunggu istri di Es Teh Benteng, aneka minuman dingin (panas), depan Sekretariat HIMATA-BR (Himpunan Mahasiswa Tangerang Bandung Raya), samping mi bakso Putra Bengawan Solo Mas Riyanto, depan Puskesmas Cibiru, tiba-tiba kawan dekat berkabar via WhatsApp.

“Innalilahi wainna ilaihi rojiun.. Telah meninggal dunia Dr. Phil. Gustiana Isya Marjani.., Jumat 24 Januari 2025. Wafat hari ini, benarkah? Tolong cari infonya ya!”

Untuk memastikan kabar duka atas meninggalnya lulusan Hamburg Jerman ini, tanpa basa-basi aku hubungi salah seorang dosen sekaligus pimpinan di Fakultas Ushuluddin: "Pami ieu leres? Innalilahi..."

Dijawab singkat, "Iya mau ke sana sekarang!"

Pikiran melayang pada sosok yang aktif di Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Jawa Barat (Jabar), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jabar, akrab dengan isu teroris, radikalisme, giat menghadirkan Islam damai, indah lewat seminar, workshop, pelatihan; buku Wajah Toleransi NU, Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Jawa Barat; peneliti yang rajin membahas tentang akar-akar kekerasan agama, fundamentalisme baik dunia nyata maupun maya.

Selang beberapa menit, informasi meninggalnya dosen Studi Agama-agama tersebar melalui pesan beruntun dalam grup kampus, dosen, alumni, Jumat, 24 Januari 2025, siang.

Hatta salah seorang jurnalis, Machmud Mubarok, menuliskan kabar duka mendalam atas kepergian alm. Gustiana di akun Facebooknya, "Selepas salat Jumat, saya mendapat kabar dari rekan di FKPT Jabar, Pak Gustiana Isya Marjani, dosen UIN SGD dan pengurus PWNU Jabar, meninggal dunia Jumat pagi setelah turun dari kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Saya bersaksi beliau orang yang baik. Semoga Allah SWT menempatkannya di tempat yang terbaik. Aamiin Yaa Robbal Alamiin." Jumat, 24 Januari 13:25 WIB

Dalam konteks membaca jejak khazanah pemikiran Gustiana yang semasa hidupnya telah mencerahkan dan mencerdaskan bangsa, terutama soal penguatan wawasan kebangsaan dan upaya deradikalisasi. Ya tulisan ini hadir sekedar merawat ingatan kolektif untuk takzim kepada guru.

Baca Juga: Pawai Obor, Syiar, dan Syair
Penafsir, Filsafat, dan Pendidikan
Pemandu, Pendidik, dan Sosiolog

Biodata Singkat

Lahir di Bandung, 31 Agustus 1971. Menempuh pendidikan S1 Jurusan Perbandingan Agama, UIN Sunan Gunung Djati Bandung; S2 dan S3 Teologi Islam Universitas Hamburg Jerman. Tercatat sebagai dosen Studi Agama-agama S1, S2, dan S3 UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua ISNU Jawa Barat; Wakil Ketua ICMI Jabar; Satgas Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; Komite Sekolah SMAN 26 Bandung Periode 2019-2021; Wakil Ketua PWNU Jawa Barat 2021-2026.

Sampul buku Wajah Toleransi NU karya Gustiana Isya Marjani. (Foto: perpustakaan.kemendagri.go.id)
Sampul buku Wajah Toleransi NU karya Gustiana Isya Marjani. (Foto: perpustakaan.kemendagri.go.id)

1. Wajah Toleransi NU: Sikap NU terhadap Kebijakan Pemerintah atas Umat Islam, Jakarta, RM Books, 2012.

Buku Wajah Toleransi NU yang berjumlah xxix + 234 halaman ini diluncurkan dan dibedah di gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Jumat, 14 Desember 2012, dengan menghadirkan narasumber: Moh Mahfud MD, Muhammad Nuh, Azyumardi Azra, Kacung Marijan, Daniel Sparingga, dan Nasarudin Umar yang dipandu oleh Masduki Baidlawi.

Menurut Musytasyar PBNU KH Nasaruddin Umar, merupakan potret akademis yang dapat dipertanggungjawabkan. “Penelitian tentang “sikap NU terhadap kebijakan pemerintah atas umat Islam yang dihasilkan oleh Gustiana Isya Marjani merupakan potret akademis yang sangat dapat dipertanggungjawabkan. Sebuah cermin sejarah NU yang bisa dijadikan sebagai alat introspeksi kelembagaan untuk mereformulasikan peran NU di masa mendatang,” komentarnya.

Sikap keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yang toleran, tidak berdiri sendiri. Ada faktor-faktor pendukung di belakangnya. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasarudin Umar menyebutkan ada dua faktor kenapa NU memiliki pandangan keagamaan yang toleran. “Pertama adalah faktor geografis. Indonesia adalah negara kepulauan. Karakter negara kepulauan adalah moderat dan egaliter,” katanya.

Perbedaan negara kepulauan dengan negara daratan yang sangat jenjang dalam stratifikasi sosial. “Dia Arab misalnya, ada sekitar 12 tingkatan  masyarakat,” ujarnya.

Di sisi lain, wilayah daratan kurang toleran kepada “yang lain”. “Semakin kepulauan sebuah negara, semakin toleran. Semakin daratan, semakin, tidak toleran,” katanya. “Kedua, Islam yang masuk ke Indonesia adalah suni. Suninya juga suni yang tasawuf.”

Saat bedah buku muncul penjelasan, bahwa di pesantren-pesantren NU diajarkan perbedaan mazhab, sehingga menambah tolerannya NU terhadap kalangan lain.

Mari kita tengok sinopsis buku ini, Ketua Umum PB NU Said Aqiel Siradj menuliskan, "Dalam Munas NU di Situbondo tahun 1984, ketika itu mencuat kembali keinginan untuk menerapkan syariat Islam dalam bernegara. NU justru menyatakan sikap menerima asas tunggal Pancasila-yang memuat lima prinsip hidup bernegara yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Semua sila tersebut menurut NU, patut diterapkan dalam kehidupan bernegara, karena sejalan dengan ajaran Islam tanpa harus mendirikan negara Islam."

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Mohammad Nuh, menegaskan, "Gustiana berhasil memosisikan peran sentral NU pada setiap fase perkembangan bangsa, sejak zaman pra-kemerdekaan. Kesalahpahaman orang luar terhadap makna toleransi yang dikembangkan NU yang seolah-olah merupakan kelemahan dan oportunistik, berhasil digambarkan dengan baik dan seimbang olehnya. Buku ini berhasil memberikan pelajaran kepada kita semua, bahwa toleransi yang telah dikembangkan. NU merupakan hal yang instrumental bagi perjalanan bangsa kita untuk selalu merasa perlu terus belajar."

Bagi Ketua Mahkamah Konstitusi RI Moh. Mahfud MD, mengungkapkan "Bangsa Indonesia sungguh beruntung karena sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki ormas yang juga terbesar di dunia yaitu NU. NU telah membuktikan dirinya menjadi jangkar negara kebangsaan Indonesia sehingga warga bangsa kita yang terdiri dari berbagai ikatan primordial, terutama dihuni oleh warga negara yang agamanya beraneka fagam, dapat hidup rukun dan saling menguatkan sebagai satu bangsa." (www.nu.or.id, 14 dan 15 Desember 2012)

Bicara Toleransi dan Radikalisme, kliping Pikiran Rakyat 27 Oktober 2019. (Foto: Dokumentasi Ibn Ghifarie)
Bicara Toleransi dan Radikalisme, kliping Pikiran Rakyat 27 Oktober 2019. (Foto: Dokumentasi Ibn Ghifarie)

Dalam liputan Bicara Toleransi dan Radikalisme, dengan tegas Gustiana membeberkan ketika menjawab pertanyaan dari wartawan PR, Gita Pratiwi.

Anda cukup dikenal melalui buku "Wajah Toleransi NU", yang terbit pada 2012. Apa yang disoroti dalam buku tersebut?

Buku itu sebenarnya hasil penelitian saya untuk disertasi yang mencermati respons Nahdlatul Ulama terhadap kebijakan pemerintah bagi umat lalam, yang terbentuk zaman penjajahan, era Orde Lama, dan Orde Baru. Sebenamya disertasi itu ditulis sampai 1999. Tapi karena Gus Dur yang dianggap tokoh toleransi NU wafat pada 2010, atas dasar arahan profesor pembimbing, mohon dituntaskan kajiannya dari 1984-2010, untuk buku. Saya menyoroti bagaimana kebijakan NU terhadap pemerintah di zaman-zaman tersebut. Buku itu sudah mencapai cetakan kedua di Jerman.

Buku itu masih digunakan untuk memotret wajah NU sebagai ormas dengan toleransi tinggi hingga saat ini. Apakah masih relevan hasil penelitiannya?

Sejarah itu seperti kita ketahui mengalami pengulangan. Dalam setiap fase sejarah memiliki kejadian yang tidak bisa terpisah satu sama lain. Nah memandang fenomena radikalisme saat ini tidak terlepas dari sisi historis masa lalu. Lebih hebatnya lagi radikalisme muncul di Indonesia itu akibat dua faktor. Pertama secara historis geneologianya ada; Kedua terdapat paham transnasional yang masuk. Jadi kelompok genealogis historis didukung kelompok transnasional yang mengimpor gagasan radikal dari Timur Tengah, gayung bersambut, menjadi kelompok yang lebih besar lagi.

Seperti apa paham radikal tumbuh berkembang dari masa ke masa, dan bagaimana ciri masing-masing zaman?

Kalau dilihat pada 2000-an, yang meledakkan bom di Indonesia, itu merupakan jihadis-jihadis yang pulang dari Afghanistan. Negara yang disokong dana persenjataan dari Uni Soviet. Pulang ke sini, mereka marah pada ketidakadilan Barat. Mereka punya ilmu militer yang sangat hebat. Bom pun meledak di mana-mana termasuk di Legian, Bali, dan menewaskan ratusan orang.

Banyak tokoh nasional terkecoh dan menduga ledakan bom itu rancangan Barat. Padahal setelah ditangkapi, para terangka ini veteran-veteran. Polanya pun dapat dideteksi negara, pundi amunisi dan keuangannya lumpuh, maka mereka pun bermetamorfosis masih dengan semangat yang sama. Intoleran, takfiri, dan terorisme.

Makin ke sini, tidak lagi berkelompok mereka berjalan sendiri-sendiri, dalam skala kecil, dengan tujuan yang sama menciptakan ketakutan. Dengan bom panci, meledakan diri, misalnya. Ketika senjata sudah tidak ada, pisau pun ada. Seperti penusukan Jenderal Wiranto, beberapa waktu lalu. Yang penting bagi mereka masih diketahui keberadaannya.

Jadi jika diamati sejak dahulu, Bapak dapat menarik benang merah, dari mana sih benih-benih intoleran dan radikalisme itu berasal?

Sisi historianya itu tadi, memang sudah ada. Seperti di Jawa Barat terdapat NII dengan DI/TI-nya. Kartosowirjo ketika menganggap terdapat kekosongan kepemimpinan --Ir Soekano hijrah ke Yogyakarta-- ia dan kelompoknya mengisi di sini dan mengusir Belanda. Mereka menganggap wilayah ini negara Islam. Gagasan itu akhimya diadopsi juga di Aceh dan Sulawesi. Itu menjadi akar mulanya. Sekarang ada embusan dari Timur Tengah, gerakan Ikhwanul Muslimin, yang ingin mendirikan khilafah.

Menurut Bapak apa yang masih membuat paham itu tumbuh subur dan siapa yang paling dirugikan dalam hal ini?

Tanpa disadari, paham itu disusupi sebuah kepentingan global, yang ujung-ujungnya penguasaan bisnis. Kita, umat Islam, yang paling dirugikan. Diciptakan ISIS, yang tujuannya penguasaan minyak. Minyak menggelontor ke yang mendesain ISIS, nah desainer ini juga produsen senjata. Dia beli minyak di black market dengan harga murah, dia juga yang jual senjata di sana. Yang di bawah konflik.

Timur Tengah yang dibangun 1.400 tahun lebih hancur porak-poranda. Tapi sekarang jasa konstruksi dunia, menuai peluang bisnis di sana. Karena mereka sanggup membangun dengan kepemilikan minyak yang luas. Jadi, intinya bisnis minyak dan senjata.

NU yang saya potret sebagai figur toleran, andil dalam pembangunan bangsa ini, mau berkompromi dengan hilangnya tujuh kata dalam Piagam Madinah, diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. NU menoleransi hal itu karena juga Indonesia timur mengusulkan itu dihapus dan mengancam memisahkan diri jika bagian "tauhid" tidak dihapus, Tingginya toleransi tokoh NU saat itulah yang membuat negara ini masih kokoh. (Pikiran Rakyat 27 Oktober 2019)

Cover buku Implementasi Kebijakan Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2016. (Foto: Dokumentasi Ibn Ghifarie)
Cover buku Implementasi Kebijakan Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2016. (Foto: Dokumentasi Ibn Ghifarie)

2. Implementasi Kebijakan Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2016. Penerbit Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, September 2017.

Riset ini bertujuan untuk menghasilkan kajian akademik yang berfungsi secara aksiologis untuk memperoleh masukan sebagai bahan kajian pemerintah dan menjadi referensi penting bagi pengembangan dan kajian riset selanjutnya.

Saat memberikan kata pengantar Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Abd. Rahman Mas'ud memberikan apresiasi atas terbitnya buku karya Ayi Sofyan dan Gustiana Isya Marjani sebagai hasil penelitian yang dapat menjadi sumber data yang sangat berharga dalam mengambil kebijakan di bidang penguatan wawasan kebangsaan dan upaya deradikalisasi yang gencar dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.

Agenda pemerintah dalam mensosialisasikan penguatan wawasan kebangsaan bertujuan agar masyarakat memperoleh gambaran utuh dari pentingnya memelihara kondisi harmoni dan menjaga stabilitas keamanan, ketertiban. Outcome dari kegiatan ini terciptanya kesadaran masyarakat akan cinta tanah air dan bela negara. Salah satu bentuk dari penguatan wawasan kebangsaan adalah deradikalisasi dan sosialisasi pada masyarakat akan adanya bahaya terorisme yang dilakukan hingga ke akar rumput.

Program deradikalisasi dilaksanakan sebagai upaya mencegah dan menangani paham terorisme dilakukan oleh FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme). FKPT adalah satgas (satuan tugas) untuk melakukan pencegahan terorisme dan mengkoordinasikan dengan stakeholder dalam mengatasi penyebaran paham dan gerakan radikal. Metode pencegahan diselenggarakan melalui sosialisasi, seminar, workshop, dialog, diseminasi, dan visit media. Namun dalam keterbatasannya, sosialisasi deradikalisasi yang dilakukan oleh FKPT masih terbatas pada lingkup yang belum bisa menjangkau seluruh wilayah, seperti di provinsi Jawa Barat.

Gerakan radikal yang kemudian terejawantah menjadi aksi teror dan anarkis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan perbedaan yang menimbulkan ancaman serius bagi kedaulatan negara. Ancamannya menyasar pada keamanan dan perdamaian dunia sehingga dapat merugikan kesejahteraan masyarakat. Deradikalisasi dalam suasana yang harmoni untuk menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Deradikalisasi sebagai upaya nyata dibangun dengan komunikasi yang intensif, selaras dan seimbang sehingga tidak memunculkan unsur diskriminasi yang dapat mengakibatkan kesenjangan terutama di bidang ekonomi. Deradikalisasi dilakukan secara akomodatif untuk menjaga keseimbangan dalam interaksi antara individu dan kelompok dalam tatanan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Berdasarkan pada temuan dalam riset ini, hampir tidak ada kebijakan khusus yang difokuskan pada upaya pencegahan terorisme berupa kebijakan yang terintegrasi dengan kegiatan sosialisasi "Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan" yang menjadi program Kesbangpol Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. (h. vii-ix).

Tingginya tingkat intoleransi di Jawa Barat, potensi paham (aksi) radikal, terorisme merupakan sebuah ambigu budaya dari kepribadian warga Pasundan. Pasalnya, di satu sisi masyarakat Priangan terkenal dengan budaya sopan santunnya, ramah tamah dengan slogan someah ka semah, (ramah terhadap tamu), ditunjang dengan budaya silih asih, silih asah, silih asuh (saling menyayangi, saling memberi pelajaran dan arahan, saling membimbing), merupakan moto dan potret kepribadian yang luhur dalam kultur, tradisi dan budaya masyarakat Sunda.

Fakta di lapangan hasil kajian di enam pemerintahan (Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Kota Sukabumi, Kota Cirebon) menunjukkan keseragaman temuan bahwa hampir tidak ada kebijakan khusus yang difokuskan pada area pencegahan terorisme. Artinya tidak ada implementasi kebijakan pencegahan terorisme.

Faktor tidak adanya kebijakan tersendiri yang fokus pada program pencegahan terorisme di Tatar Sunda oleh pemerintah provinsi Jawa Barat serta Pemerintah Daerah Tingkat II di enam Kabupaten, Kota serta keterbatasan program FTKP Jabar dalam sosialisasi pencegahan radikal terorisme, menjadi kendala belum optimalnya proses pencegahan radikal terorisme.

Pasca terbentuknya FKPT Jabar, 13 Januari 2012 serta berbagai masukan hasil riset berbagai lembaga yang dipublikasikan belum merubah posisi Jabar sebagai wilayah (zona) yang terkategori paling rawan radikal terorisme di Indonesia.

Temuan riset merupakan bahan utuh yang masih bersifat terbuka untuk dikaji lebih dalam lagi. Untuk itu sebagai rekomendasi akademik, mengajukan tiga poin penting, di antaranya:

Pertama, Perlu dilakukan riset untuk lebih menajamkan analisis tentang perlunya sebuah kebijakan tersendiri yang memfokuskan pada pencegahan terorisme di Jabar. Karena hasil riset saat ini baru dilakukan di dua wilayah barat dan timur dengan komposisi dua kabupaten dan satu kota di wilayah barat; dua kabupaten dan satu kota di wilayah timur. Kajian riset memandang perlu dilakukan di wilayah Jabar Selatan dan Utara dengan kemampuan anggaran yang disesuaikan. Ini dimaksudkan untuk keberlanjutan kajian ilmiah yang akan memperkaya khazanah ilmiah, terkait kebijakan pencegahan terorisme di Jabar khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kedua, Bagi pemerintah di tingkat provinsi Jawa Barat perlu merumuskan kebijakan tersendiri tentang pencegahan terorisme dengan anggaran yang dibiayai APBD agar pencapaian dari kontra propaganda, kewaspadaan dan proses deradikalisasi bisa terealisasi. Hal ini didasarkan pada hasil temuan riset mengindikasikan tingginya paham radikal serta gerakan radikal yang mengarah pada gerakan radikal terorisme di Jabar seperti dilakukan oleh riset-riset sebelumnya. Tentunya belum diimbangi dengan kebijakan yang memfokuskan pada aspek pencegahan paham radikal terorisme.

Ketiga, Hasil riset menemukan fakta empirik bahwa di enam kabupaten, kota yang menjadi fokus penelitian tidak terdapat kebijakan lokal yang fokus pada program pencegahan terorisme, melainkan masih terintegrasi dalam program besar dari Kesbangpol berupa Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara. Kalau ada seperti di Kota Cirebon masih sifatnya insidental yang dilakukan Polres dan Dandim setempat. Sementara kebijakan pencegahan hanya ada pada FKPT yang dibentuk oleh BNPT pada tahun 2012. Jika belum memungkinkan Pemda setempat membuat kebijakan lokal terkait pencegahan terorisme di daerah, maka mengoptimalkan pencegahan terorisme menjadi sesuatu harus diprioritaskan. Pemda setempat bisa berkolaborasi dan bekerja sama dengan FKPT dalam pencegahan beredarnya paham radikal terorisme. (h. 263-266).

Dalam liputan bertajuk "Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, untuk Menangkal Perusuh" dengan tegas Gustiana Isya Marjani, menemukan Jawa Barat ini provinsi yang kaya akan kearifan lokal, sehingga mustahil disusupi nilai radikal. Salah satu contohnya silih asih, silih asah, silih asuh, meskipun yang populer didengungkan susunannya silih asah, silih asih, silih asuh, sesuai runutan huruf vokal.

"Silih asih sebenarnya diucapkan jadi yang pertama, karena menyayangi, jadi kunci awal. Jadi bagaimana bisa saling membenci dan menyakiti dengan adanya prinsip ini? Yang kedua, masyarakat Sunda saling membimbing dengan silih asah, lalu silih asuh, saling menasehati kepada kebaikan dan kebenaran," tegasnya.

Untuk risetnya di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, yang ditelaah sejak April 2019 lalu. Penelitian ini berlangsung di lima lokus antara lain Kampung Pulo dan Lembur Sancang Kabupaten Garut, Kampung Adat Cikondang dan Kampung Mahmud Kabupaten Bandung, serta tradisi Sabilulungan di Kabupaten Ciamis.

Dari masing-masing kampung adat, terdapat larangan yang berbuah pamali jika dilanggar. Meskipun tidak ada aturan yang tertulis, warga mematuhinya sebagai rasa hormat dan terima kasih terhadap alam dan lingkungan. Misalnya tidak boleh memotong dahan dan batang pepohonan di hutan larangan Kampung Naga, kecuali telah melalui ritual tertentu.

"Di Kampung Pulo juga terdapat larangan beternak unggas dan binatang kaki empat. Itu pamali, dan bisa menghabiskan ladang yang jadi sumber kehidupan," katanya, dalam diseminasi yang mengangkat hasil risetnya, Rabu, 30 Oktober 2019. 

Semua pesan terkemas dalam tutur lisan yang menggambarkan keseluruhan tutur basa kearifan lokal yang agung. Di sisi lain, masyarakat Sunda di semua lokus, menyambut kedatangannya dengan prinsip "someah, hade ka semah". Artinya harus ramah tamah, dan penuh keceriaan terhadap tamu yang datang. "Di enam lokus tidak ada terdapat radikalisme sama sekali di sini. Maka tidak mungkin radikalisme datang dari Islam dan Sunda, tapi ada indoktrinasi dari luar, yang menyingkirkan kearifan ini," katanya.

Aktivitas di BNPT, FKPT dalam menangkal Radikalisme dan Terorisme. (Foto: Facebook alm. Gustiana)
Aktivitas di BNPT, FKPT dalam menangkal Radikalisme dan Terorisme. (Foto: Facebook alm. Gustiana)

Hoaks Pintu Intoleransi

Indonesia wabil khusus Jabar, sebenarnya merupakan potret toleransi umat beragama. Terdapat ragam penganut agama dan penghayat kepercayaan hidup berdampingan di sini. Menurutnya, tidak dimungkiri intoleransi dan radikalisme di tengah masyarakat Sunda. Namun isu itu berembus seiring dengan tersebarnya hoaks di masyarakat.

"Hoaks terdiri dari disinformasi, adalah sesuatu yang memang salah, dan dikemas sedemikian rupa menjadi seolah-olah informasi. Terdapat juga misinformasi, yakni informasi yang benar, disampaikan dengan salah," katanya.

Parahnya, hoaks dan disrupsi informasi, diolah secara sengaja oleh kelompok tertentu, menjadi seolah berita yang ditujukan menggugah. "Kita harus saring dulu sebelum sharing. Jangan sampai menjadi provokator. Percayai sumber berita yang datang langsung dari pemerintah, seperti dari humas resmi lembaga, atau dinas komunikasi dan informasi masing-masing daerah," ujarnya. (Pikiran Rakyat, 31 Oktober 2019).

Inilah foto terakhir yang Gus.. kirimkan ke Saya… semoga pengabdiannya di FKPT 2012-2017, dan di ICMI Jabar, serta pada UIN SGD, menjadi bukti amal sholih yang diterima di Sisinya…aamiin. - Ayi Sofyan, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum. (Foto: Dokumentasi alm. Gustiana)
Inilah foto terakhir yang Gus.. kirimkan ke Saya… semoga pengabdiannya di FKPT 2012-2017, dan di ICMI Jabar, serta pada UIN SGD, menjadi bukti amal sholih yang diterima di Sisinya…aamiin. - Ayi Sofyan, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum. (Foto: Dokumentasi alm. Gustiana)

Merawat Kontra Narasi

Sejak 2012, Gusti menjadi salah satu perintis berdirinya Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme di Jabar. Selain menjabat Ketua Bidang Penelitian BNPT Jabar, di BNPT ia menjadi bagian Satgas Pencegahan BNPT. "Urusan deradikalisasi akrab jadi kegiatan sehari-hari. Penindakan dan pencegahan itu sama beratnya," kata Gusti.

Obrolan padat tentang toleransi dan radikalisme pun mengalir sepanjang pertemuan petang antara wartawan PR, Gita Pratiwi  dengan Gustiana Isya Marjani.

NII sudah tidak ada sejak Kartosoewirjo meninggal dunia, ormas radikal ju ga dibubarkan, tapi pahamnya selalu ada. Lalu seperti apa strategi yang digodok NU dan BNPT?

Ideologi memang tidak bisa dibubarkan, malah organisasi bisa bermetamorfosis menjadi gerakan lain dengan nama baru. Tapi semangat, roh, dan ideologisnya, masih sama. Terorisme kan seperti itu. Makanya ada dua pendekatan dalam mencegah dan menanganinya, hard approach dan soft approach. Hard approach dengan penegakan hukum, soft approach dengan pendekatan persuasif.

Memberikan pengarahan, pembinaan, penjelasan. Namun, makin banyak teroris ditangkapi, gennya makin tumbuh di masyarakat. Muncul dalam bentuk yang lain. gerakan pada tahun 2000-an misalnya.

BNPT sendiri memiliki strategi sendiri dengan mengelompokkannya dalam kelompok inti, simpatisan, dan kelompok masyarakat. Dari kelompok inti inilah yang susah karena ideologinya sudah mendalam, seperti takfiri dan jihad radikal. Dua konsep ini yang menjadikan kelompok ini mengarah pada terorisme.

Kelompok simpatisan yang lebih besar lagi, menjadi garapan utama. Baru kemudian kelompok masyarakat yang jauh lebih luas karena belum terpapar. Konsep deradikalisasinya, ada beberapa tingkatan bentuk Reintegrasi, dengan rehabilitasi untuk kelompok inti, lalu diintegrasikan kembali ke ibu pertiwi, Bagi yang belum terpapar diberi edukasi, dengan kontra-kontra narasi radikalisme. Banyak ayat kepada jihad yang berkonteks perang, tetapi banyak juga jihad yang berkonteks kedamaian.

Seperti apa jihad yang berkonteks kedamaian, yang tetap bisa relevan suat ini, tetapi banyak orang Islam lupakan?

Negara Indonesia tidak dalam kondisi perang, maka setiap orang dapat melaksanakan jihad sendiri-sendiri. Seperti mahasiswa berjuang dalam mencari ilmu, pekerja jihad dalam mencari nafkah untuk keluarga.

Bukan hanya di agama Islam yang terdapat radikalisme. Tapi yang sekarang marak jadi pelaku teror, bahkan di negara lalam sendiri, mau bagaimana lagi ya umat Islam. Konsep mengalirkan orang di luar kelompoknya ini bahkan sudah sejak lama adalah ketika Muawiyah dan kelompok Ali bin Abi Thalib melakukan proses arbitrase yang ditolak sebagian yang lain.

Apa yang dapat dilakukan umat, untuk menjaga NKRI dari radikalisme dan terorisme yang terus menghantui persatuan kita saat ini?

Berhenti menyebarkan hoaks. Hoaks terdiri atas disinformasi, adalah sesuatu yang memang salah, dan dikemas sedemikian rupa menjadi seolah-olah informasi. Terdapat juga misinformation, yakni informasi yang benar, tetapi disampaikan dengan salah.

Ini diolah secara sengaja oleh mereka, berita yang ditujukan menggugah. Kita harus saring dulu sebelum sharing. Jangan sampai menjadi provokator. Percayai sumber berita yang datang langsung dari pemerintah, seperti dari humas resmi lembaga, atau dinas komunikasi dan informasi masing-masing daerah. (Pikiran Rakyat 27 Oktober 2019).

Atas kematian Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat ini, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Rosihon Anwar menuliskan

Selamat jalan sobat…..

Kaget. Itu perasaan saya ketika mendengar sahabat saya telah pergi. Sangat sedih. Dalam kurun satu bulan, UIN Bandung telah kehilangan tiga orang dosen. Para pejuang pendidikan itu telah pergi selamanya dengan kenangan baik masing-masing.

Pak Gusti, begitu kami menyapa, adalah dosen enerjik lulusan Jerman. Pergaulannya sangat luas. Tentunya sangat sibuk, sehingga hampir 1 tahun saya tidak bersua. Tahu-tahu mendapat kabar duka.

Selamat jalan sobat. Kami sangat mengenang jasa-jasamu. UIN Bandung tentu sangat kehilangan. Semoga Allah merahmatimu. Aamiiin. (uinsgd.ac.id)

Maraknya aksi terorisme, radikalisme, konflik, dan peperangan atas nama agama menjadi bukti nyata atas ketidakberdayaan umatnya dalam memahami risalah agama (cinta) guna memberikan ketenangan, keselamatan, kedamaian, serta keteduhan hati yang bersumber dari rasa cinta kasih.

Pasalnya, tidak ada nubuat agama yang mengajarkan pemeluknya untuk membenci, merusak, hingga berbuat kejahatan dengan berusaha menghilangkan nyawa orang. Justru setiap ajaran agama itu diperintahkan untuk menebar kebaikan, cinta, kasih sayang, perdamaian, dan membangun persaudaraan yang kian hari semakin terlupakan.

Kini, salah satu pegiat jangkar toleransi yang aktif menggunakan media sosial untuk melawan ujaran kebencian, hoaks, mempromosikan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan, kedamaian, toleransi sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Tentunya, tak ada lagi cerita, "Tolong dikliping tulisan di koran ya!"

Hanya rindu yang terus menggebu sambil menonton film dokumenter Jihad Selfie, yang menggambarkan bahwa media sosial, (Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram dan Skype) sangat rentan menjadi sumber malapetaka bila tidak dibarengi dengan literasi yang baik, kuat. Selamat jalan guruku, yang aktif mengajak orang untuk saling menghormati, menjunjung tinggi segala perbedaan, memupuk toleransi, dengan diksi dan narasi yang apik, menyentuh hati serta  menginspirasi.

* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang agama dan keberagaman

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//