• Kolom
  • Penafsir, Filsafat, dan Pendidikan

Penafsir, Filsafat, dan Pendidikan

Salah satu cara merawat, menyelami kematian biar abadi dengan menulis. Selamat jalan Ahmad Tafsir, guruku, penafsir filsafat ala UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Ahmad Tafsir sedang mengisi ceramah. (Foto: uinsgd.ac.id)

29 Juli 2024


BandungBergerak.id – Saat asyik bermain dengan anak kedua, Aa Akil. Tiba-tiba Istri memanggil, "Bah Pa Tafsir, meninggal ya?"

Kujawab dengan singkat “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun!”

Pikiran melayang pada sosok yang bersahaja, sederhana, sulit ditebak, tegas, deretan buku-buku filsafat, pendidikan, suasana asyik di kelas, seminar, diskusi yang dipenuhi peserta, Madrasah Malem Reboan (MMR), Milangkala LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman), hatta panggilan Tafsir saat ngobrol santai.

Kuambil handphone untuk mengecek kabar duka, benar saja, informasi meninggalnya soko guru filsafat tersebar melalui pesan beruntun dalam grup kampus, dosen, alumni, Ahad (21/7/2024) sore.

“Assalamualaikum wrwb.

Yth bapak dan ibu para pimpinan FTK. Berita duka dari Ibu Nisa.

Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir. Telah berpulang ke Rahmatullah, hari ini. Informasi duka langsung dari Bu Nisa Hasanah tendik jurusan PAI putrinya Prof. Tafsir.

Mohon doa utk almarhum Prof. Tafsir dan keluarga semoga diberikan kesabaran dan Ketabahan. Aamiin yra.”

Tanpa disadari kulangkahkan kaki menuju kamar kecil untuk mencari mahakarya monumentalnya. Berharap dapat menemukan tulisan, buku di perpustakaan alakadarku. Hanya ada dua buku yang berhasil ditemukan, Filsafat Umum dan Filsafat Ilmu. Sambil mengingat-ngingat lagi dimana tersimpan karya yang lain dari sosok bersahaja ini.

Kabar duka almarhum Ahmad Tafsir. (Sumber: uinsgd.ac.id)
Kabar duka almarhum Ahmad Tafsir. (Sumber: uinsgd.ac.id)

Baca Juga: Rumah Ibadah di Tengah Pusaran Komodifikasi Agama
Samen, Pantai, dan Jalan Kaki
Pawai Obor, Syiar, dan Syair

Biodata Singkat

Ahmad Tafsir lahir di Bengkulu 1942. Selesai Sekolah Rakyat (SR sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta, selanjutnya belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta dan menyelesaikan Jurusan Pendidikan Umum 1969.

Sejak 1970 mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung sampai akhir hayatnya (2024). Tahun 1975-1976 selama 9 bulan mengambil kursus filsafat di IAIN Yogyakarta, tahun 1982 mengikuti S2 di IAIN Jakarta dan selanjutnya 1987 menyelesaikan S3 di IAIN Syarif Hidayatullah.

Sejak Januari 1997 diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung. Tahun 1993 memelopori berdirinya Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI) dan sampai 2000 masih menjabat sebagai ketua. Asosiasi ini bertugas mengkoordinasikan usaha-usaha pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.

Karya tulis (buku, artikel, dan makalah) pada umumnya dalam bidang filsafat dan pendidikan. Tetapi cukup sering menyajikan makalah dalam seminar-seminar nasional dalam bidang kemasyarakatan, agama, filsafat, dan akhir-akhir ini sering menulis tentang Tasawuf.

Banyak menulis di surat kabar berupa artikel ringan dan umumnya mengenai agama, pendidikan, sekali-sekali menggunakan pendekatan filsafat. Tidak pernah aktif dalam bidang politik, bukan karema tidak punya kesempatan melainkan karena tidak berminat.

Buku yang sudah dipublikasikan di antaranya: Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra (Rosda, Bandung, 1990); Metodologi Pendidikan Agama Islam (Rosda, Bandung, 2002); Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Rosda, Bandung, 2002); Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksilogi Pengetahuan (Rosda, Bandung, 2004); Ilmu Pendidikan Islami (Rosda, Bandung, 2012); Filsafat Pendidikan Islami : Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Rosda, Bandung, 2014); Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan (Rosda, Bandung, 2019). (Ahmad Tafsir, 1990: 276, Ahmad Tafsir, 2004: 246).

Bersama Ahmad Tafsir selesai diskusi Madrasah Malem Reboan. (Foto: Dokumentasi MMR)
Bersama Ahmad Tafsir selesai diskusi Madrasah Malem Reboan. (Foto: Dokumentasi MMR)

Panggil Aja Tafsir

Dalam tulisan "Prof. Tafsir, Pembaharu yang Rendah Hati" salah satu muridnya, Ija Suntana, guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggambarkan pribadi rendah hati, teladan yang menginspirasi.

Bagi saya, kepergian Prof. Tafsir adalah kehilangan sosok yang dikenal luas dalam bidang filsafat pendidikan Islam. Beliau seorang akademisi yang mengesankan di dunia pendidikan Islam. Pak Tafsir, sebutan akrab beliau, telah menjadi figur penting dalam pengembangan konsep-konsep pendidikan Islam.

Saya mengenal Pak Tafsir sebagai sosok yang sangat rendah hati. Sikapnya yang terbuka dan ramah membuatnya mudah diakses oleh mahasiswa dan rekan sejawat. Di saat masih sehat dan bugar, Pak Tafsir suka memanggil “nama” kalau bersua dengannya. (www.uinsgd.ac.id)

Berbeda dengan kondisi sekarang, politisi, birokrat, akademisi berlomba-lomba meraih jabatan guru besar dengan cara lalim. Gila hormat. Parahnya predikat professor harus disematkan dalam setiap nama saat beraktivitas. Justru pria berkata mata ini malah asyik dipanggil namanya.

Ya pernah dalam satu kesempatan muridnya menyapa dengan sebutan Prof, “Jangan panggil sebutan itu, kecuali prov, maksudnya provokator mahasiswa untuk lebih giat belajar filsafat, menggunakan akal pikirannya, baru boleh!”

Dalam tulisan “Jangan panggil saya ‘Prof’: mengapa desakralisasi gelar profesor perlu dilakukan?” Iwan Awaluddin Yusuf, senior lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menegaskan ini semacam catatan penting, lonceng pengingat sebagai ikhtiar bersama untuk menyuarakan gerakan moral desakralisasi gelar professor yang terus menggeliat.

Berawal dari terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Ingat, sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang sudah terbiasa menerapkan praktik sapaan egaliter. Sebut saja, mendiang Ahmad Syafii Maarif, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, justru lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”. (https://theconversation.com)

Sampai-sampai pernah seorang kawan bercerita, “Gara-gara tidak memanggil Prof saat bertegur sama, akibatnya ketika bimbingan tidak diacc, dengan alasan harus diperbaiki dulu ini dan itu. Parah kan!”

Merawat Akal Sehat

Khazanah pemikiran Tafsir semasa hidupnya telah mencerahkan dan mencerdaskan bangsa, terutama dalam ranah filsafat dan pendidikan. Dalam konteks membaca jejak pemikirannya tulisan ini hadir sekedar merawat ingatan kolektif untuk takzim kepada guru.

Sampul buku Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Rosda, Bandung, terbit tahun 1990. (Foto: Ibn Ghifarie)
Sampul buku Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Rosda, Bandung, terbit tahun 1990. (Foto: Ibn Ghifarie)

1. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Rosda, Bandung, terbit tahun 1990, dengan tebal 276+viii halaman.

Mari kita tengok kata pengantarnya (April 1990), Filsafat Umum adalah salah satu mata kuliah yang wajib diambil oleh seluruh mahasiswa IAIN dan beberapa fakultas di perguruan tinggi lainnya. Kedudukan mata kuliah ini adalah mata kuliah dasar umum (MKDU). Di IAIN mata kuliah ini diberikan untuk mendasari mata kuliah filsafat khusus yang akan diambil oleh mahasiswa tersebut kelak.

Saya mengajarkan mata kuliah ini sejak tahun 1974 di IAIN Bandung dan beberapa perguruan tinggi swasta. Berdasarkan pengalaman itu saya mengetahui bahwa mahasiswa mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan bacaan (buku teks, text book) untuk mata kuliah ini. Oleh karena itu, sejak tahun 1975 saya telah mencoba membuat diktat dengan mengambil beberapa judul perkuliahan sesuai dengan isi silabus. Berturut-turut terbitlah diktat "Pengantar Filsafat", "Plotinus", "Augustinus", "Aquinas", dan terakhir "Pragmatisme William James" (1982).

Pada tahun 1975-1976 saya mendapat kesempatan mengikuti kursus intensif filsafat dan sejarah di IAIN Yogyakarta selama sembilan bulan, dan pada tahun 1982-1987 mengikuti pendidikan lanjutan pada sekolah pascasarjana di IAIN Jakarta untuk program S-2 dan S-3. Pendidikan tambahan itu telah memberikan tambahan pengetahuan dan bahan bacaan filsafat kepada saya. Sekarang agaknya telah tiba waktunya saya mengumpulkan diktat-diktat saya itu dalam sebuah buku teks yang agak memadai. Isi buku ini disesuaikan dengan silabus mata kuliah Filsafat Umum tersebut.

Pendekatan yang saya gunakan dalam menyiapkan buku ini adalah pendekatan historis. Karena sejarah filsafat didominasi oleh sejarah pertarungan antara akal dan hati (filsafat dan iman), maka judul-judul dan isi pembahasan ditandai oleh pertentangan itu sebagai benang merahnya. Saya ingin judul dan pembahasan ini dianyam dalam suatu sistem, maksudnya agar buku ini tidak menjemukan dan relatif enak dibaca.

Yuk kita bandingkan dengan pengantar edisi revisinya (Januari 2000), pada tahun 1975 sebenarnya buku ini sudah ada dan sudah dibaca oleh mahasiswa saya di IAIN Bandung dan di beberapa fakultas lain di Bandung, baik fakultas agama maupun fakultas umum, tetapi masih berupa diktat. Tahun 1990 berubah menjadi buku dicetak cukup rapi. Sampai dengan tahun 1999 buku ini sudah dicetak ulang sebanyak tujuh kali. Cetakan kesatu sampai ketujuh isinya sama, belum ada revisi,  perubahan apa pun.

Sambutan terhadap buku ini sangat baik, menjadi bacaan wajib mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi umum. Saya gembira karena buku ini dibaca banyak orang. Cukup banyak orang mengatakan kepada saya bahwa buku ini enak dibaca bahkan ada yang mengatakan "Saya kira buku filsafat selalu sulit dibaca ternyata buku Anda ini enak dibaca." Menanggapi komentar seperti itu saya hanya senyum-senyum saja, tetapi dalam hati saya amat gembira, saya masih tetap seperti dulu, senang dipuji.

Sampai sekarang sebenarnya saya masih senang dan masih sering menulis. Tetapi, gaya menulis seperti dalam buku ini tidak dapat lagi saya pertahankan. Semakin tua umur, entah makin sulit dibaca.

Ketahuilah, buku ini tidak hanya enak dibaca karena kalimatnya lincah, tetapi juga enak dibaca dalam arti mudah ditangkap maknanya. Memang benar, saya rasa saya berhasil menulis buku filsafat yang orang tidak usah mengerutkan kening tatkala membacanya, sekalipun masih ada juga potongan-potongan yang agak sulit. Selain itu "benang merah" yang saya berikan dalam keseluruhan buku ini, yaitu "pergumulan antara akal dan hati" memang cukup membantu untuk "menguasai" filsafat yang sangat luas itu.

Pada cetakan kedelapan ini dilakukan beberapa penyempurnaan. Penyempurnaan terdapat pada Bab II. Pada bab ini dari segi isi sebenarnya sama saja dengan cekatan sebelumnya, yang berubah hanyalah susunan dan sedikit ada penambahan pada bagian Aksiologi. Pascal ditambahkan sebelum Kant. Pascal memperkuat pasukan yang memenangkan hati, mirip sekali dengan Kant. Menarik, karena pada zaman filsafat modern yang didominasi akal toh ada Pascal yang memenangkan hati. Ia membawakan gaya pemikiran yang amat mirip, bahkan foto kopi pemikiran Anselmus dan Agustinus, dua tokoh besar filsafat Abad Tengah yang didominasi hati.

Penambahan cukup berarti diberikan pada bab terakhir. Saya tambahkan satu bab penuh yaitu Bab 8 yang saya beri judul "Akal dan Hati pada Zaman Pasca-Modern". Sampai dengan cetakan ketujuh isi buku hanya membagi babakan filsafat itu menjadi tiga yaitu Zaman Yunani Kuno (Ancient Philosophy), Abad Tengah (Middle Ages Philosophy), dan Zaman Modern (Modern Philosophy). Yang ditambahkan ialah filsafat Pasca-Modern (Post Modern Philosophy) yang sering disebut oleh murid-murid saya Posmo. Tatkala saya menyiapkan naskah tahun 1990 filsafat Posmo memang belum ramai dan saya juga belum mengetahuinya. Tahun 2000 ini Posmo ramai sekali dan saya mengetahuinya sedikit. Karena itu saya tambahkan pada cetakan kedelapan, edisi revisi ini.

Saya mengharap buku ini bertambah baik, lebih lengkap, dan tentu saja saya harap sambutan pembaca semakin baik. Dari segi redaksi masih tetap enak dibaca karena masih menggunakan redaksi cetakan lama, dari segi isi memang semakin lengkap karena ada beberapa tambahan. Namun, saya tidak mengatakan buku ini lengkap. (Ahmad Tafsir, 1990:iii-v)

Pentingnya akal dan renyahnya berfilsafat ala Tafsir ini diakui oleh Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui tulisan "Dari Akal sampai Hati: Selamat Jalan Pa Tafsir"

Di zaman ketika buku-buku filsafat masih langka, pak Tafsir adalah rujukan utama dan penafsir filsafat yang akurat. Ia seumpama filsuf yang dalam setiap pertemuan menyampaikan pemikiran dan menantang setiap kami untuk terlibat dalam pesona argumentasi filosofis yang menggugah.

Sungguh, saya menikmati setiap apa yang keluar dari mulutnya. Dalam setiap perjumpaan, baik di kelas, seminar ataupun dalam perjumpaan yang informal, ia seolah magnet yang menyedot perhatian dan keterpesonaan tentang rumitnya pemikiran dan uniknya akal manusia.

Di masa ketika buku-buku filsafat sangat terbatas dan menyulitkan untuk dicerna, pak Tafsir menampilkan wajah filsafat yang ramah dan mudah dikunyah.

Bacalah bukunya tentang “Filsafat Umum (Akal dan Hati Semenjak Thales Sampai James/Capra), Ia menuturkan filsafat sebagai disiplin yang gampang untuk dicerna kepala. Mungkin karena beliau ahli pendidikan, tahu betul cara menuturkan dan menyampaikan sehingga mudah untuk dipahami. (www.uinsgd.ac.id)

Walhasil, dulu waktu masih aktif diskusi senja di LPIK tahun 2002-2003, buku Filsafat Umum jadi bacaan wajib pasca TGB (Taaruf Generasi Baru). Selesai dibaca satu bab harus disawalakan dan dibuat tulisan ringkas. “Pokona mah eta buku kamana-mana dibabawa, meuni ka lecek, baca, tulis, diskusikeun,” pesan salah seorang pengurus, mentor, senior.  

Sampul buku Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksilogi Pengetahuan, Rosda, Bandung, terbit tahun 2004. (Foto: Ibn Ghifarie)
Sampul buku Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksilogi Pengetahuan, Rosda, Bandung, terbit tahun 2004. (Foto: Ibn Ghifarie)

2. Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksilogi Pengetahuan, Rosda, Bandung, terbit tahun 2004 dengan tebal 247+viii halaman.

Dalam kata pengantarnya, dijelaskan salah satu kekacauan dalam berpikir orang awam ialah mereka tidak benar-benar menegaskan perbedaan jenis-jenis pengetahuan. Dengan kata lain, mereka tidak mengetahui dengan jelas kapling pengetahuan. Mengetahui kapling tersebut amat penting tatkala kita menggunakan pengetahuan tersebut untuk menyesaikan masalah.

Pengetahuan ialah segala yang diketahui. Ternyata pengetahuan yang dimiliki manusia itu tidaklah satu jenis. Jenis-jenis pengetahuan itu diuraikan secara singkat tetapi jelas dalam buku ini. Dapatlah dikatakan buku ini hanya membicarakan jenis-jenis pengetahuan manusia dan karakteristiknya.

Buku ini sederhana sekali dan topik bahasannya hanya sedikit dan telah diusahakan menggunakan bahasa yang sangat efisien. Dengan membaca buku ini janganlah Anda menyangka Anda telah mengetahui banyak hal tentang filsafat pengetahuan; Anda boleh menyatakan bahwa telah mengetahui hal yang paling penting dalam filsafat pengetahuan.

Harap Anda baca buku ini dengan sungguh-sungguh. Merujuk pada subjudul buku ini, saya memang hanya membahas ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahun. Pada beberapa bagian memang saya selipkan "bonus". Maksudnya, uraian itu bukan lagi bahasan inti, tapi saya merasa perlu membahasnya di sini. Inti permasalahan terletak pada Bab 1, Bab 2, Bab 3, dan Bab 4. Pada penghujung Bab 4 (tepatnya pada poin D) saya sajikan beberapa contoh pengetahuan mistik sebagai suplemen. Kalaupun Anda tidak membaca suplemen ini anda tetap mendapatkan inti pesan buku ini.

Ihwal judul buku ini "Filsafat Ilmu", padahal yang dimaksud ialah filsafat pengetahuan. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan istilah Filsafat Ilmu jauh lebih dikenal ketimbang filsafat pengetahuan. Berkait dengan itu, saya tidak bermaksud mengacaukan pengertian ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge). Istilah "ilmu" khusus pada judul buku ini dimaknai sebagai pengetahuan. (Ahmad Tafsir, 2004:iii-iv).

Tabel khas ihwal Pengetahuan Manusia ala Tafsir dalam buku Filsafat Ilmu dan Filsafat Umum. (Foto: Ibn Ghifarie)
Tabel khas ihwal Pengetahuan Manusia ala Tafsir dalam buku Filsafat Ilmu dan Filsafat Umum. (Foto: Ibn Ghifarie)

Memupuk Logis, Rasional

Saya mengajarkan filsafat (sebagai dosen) sejak tahun 1970. Sampai dengan sekitar tahun 2000 saya mengang. gap "yang logis" adalah sama saja dengan "yang rasional." Selama lebih kurang 30 tahun itu, pokoknya, saya menyamakan saja pengertian logis dan rasional. Atau lebih tepat saya katakan saya tidak tahu perbedaannya.

Kira-kira sejak tahun 2001 saya melihat ada perbedaan antara kedua istilah itu. Adanya perbedaan itu dimulai ketika saya membaca untuk kesekian kalinya buku Kant. Kant antara lain mengatakan bahwa rasional itu sebenarnya sesuatu yang masuk akal sebatas hukum alam. Sebenarnya, tatkala saya mula-mula membaca Kant kira-kira tahun 1963, dan cukup intensif pada tahun 1975, kata-kata Kant itu sudah saya temukan. Memang kebingungan telah muncul dalam pikiran saya tatkala membaca itu tetapi kebingungan itu saya biarkan saja. (Ahmad Tafsir, 2004:12-13).

Dalam mata kuliah Filsafat Pengetahuan (Philosophy of Knowledge) yang diskusikan tidak hanya mengetahui pengetahuan sains (science), didiskusikan seluruh yang disebut pengetahuan termasuk pengetahuan yang "aneh-aneh" seperti pelet, kebal, santet, saefi, dan lain-lain.

Apa sih pengetahuan itu? Pengetahuan ialah semu yang diketahui. Menurut al-Qurân, tatkala manusia dalam perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa. Tatkala ia baru lahir pun barangkali ia belum juga tahu apa-apa. Kalaupun bayi yang baru lahir itu menangis, barangkali karena kaget saja, mungkin matanya merasakan silau, atau badannya merasa dingin. Dalam rahim tidak sila dan tidak dingin, lantas ia menangis.

Tatkala bayi itu menjadi orang dewasa, katakanlah ketika ia telah berumur 40 tahunan, pengetahuannya sudah banyak sekali. Begitu banyaknya, sampai-sampai ia tidak tahu lagi berapa banyak pengetahuannya dan tidak tahu lagi apa saja yang diketahuinya, bahkan kadang-kadang ia juga tidak tahu apa sebenarnya pengetahuan itu.

Semakin bertambah umur manusia itu semakin banyak pengetahuannya. Dilihat dari segi motif, pengetahuan itu diperoleh melalui dua cara. Pertama, penge tahuan yang diperoleh begitu saja, tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Tanpa ingin tahu lantas ia tahu-tahu, tahu. Seorang sedang berjalan, tiba-tiba tertabrak becak. Tanpa rasa ingin tahu ia tahu-tahu, tahu bahwa ditabrak becak, sakit. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar.

Dari mana rasa ingin tahu itu? Saya tidak tahu, itu dari mana. Barangkali rasa ingin tahu yang ada pada manusia itu sudah built-in dalam penciptaan manusia. Jadi, rasa ingin tahu itu adalah takdir.

Manusia ingin tahu, lantas ia mencari. Hasilnya ia tahu sesuatu. Nah, sesuatu itulah pengetahuan. Yang diperoleh tanpa usaha tadi bagaimana? Ya, pengetahuan juga. Pokoknya, pengetahuan ialah semua yang diketahui, titik.

Salah satu tujuan perkuliahan Filsafat Pengetahuan ialah agar kita memahami kapling pengetahuan. Ini penting, karena, dengan mengetahui kapling pengetahuan, kita akan dapat memperlakukan masing-masing pengetahuan itu sesuai kaplingnya. Yang akan dibahas berikut ini hanyalah pengetahuan yang diusahakan. Pengetahuan jenis ini sangat penting. Jadi, sejak baris ini pengetahuan tanpa usaha itu kita sisihkan dari pembahasan.

Seseorang ingin tahu, jika jeruk ditanam, buahnya apa. Ia menanam bibit jeruk. Ia tunggu beberapa tahun, dan ternyata buahnya jeruk. Tahulah ia bahwa jeruk berbuah jeruk. Pengetahuan jenis inilah yang disebut pengetahuan sain (scientific knowledge).

Sebenarnya pengetahuan sain tidaklah sesederhana itu. Pengetahuan sain harus berdasarkan logika (dalam arti rasional). Pengetahuan sains adalah pengetahuan rasional dan didukung bukti empiris. Namun gejala yang paling menonjol dalam pengetahuan sains ialah adanya bukti empiris itu. (Ahmad Tafsir, 2004:3-7)

Sungguh bersyukur ketika bisa meneguk keluasan ilmunya di kelas secara langsung. Pada pertemuan kuliah perdana tahun 2010, pernah berkata, “Yang membedakan belajar tentang pengetahuan, filsafat Ilmu apa? Kalau waktu di S1 untuk menghafal teori, S2 untuk membandingkan teori dan S3 mengkritisi, bahkan membuat teori,” tegasnya.

Memang pribadinya yang sulit ditebak, tegas membuat muridnya harus sami'na wa atho'na. Soal peningkatan kapasitas diri, mencari ilmu pengetahuan, belajar, melanjutkan kuliah bagi dosen, tenaga kependidikan, terutama filsafat sangat didukung luar biasa. Ini diceritakan oleh Irawan, Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tulisan "Allah itu Hebat, Maka Pujilah Dia!"

Dalam satu kesempatan saya sodorkan tulisan tersebut sambil berharap dapat pujian dari beliau. Bagaimanapun juga dalam pikiran saya WMI akan lebih menarik kalau dibuat rumit.

Setelah melihat-lihat sebentar tulisan saya. Beliau berkomentar.

“Kok jadi rumit begini? Saya buat WMI itu sederhana agar mudah dipahami orang. Intinya dengan WMI, manusia itu harus mengakui kalau Allah itu hebat!” Saya diam sambil garuk-garuk kepala tak gatal.

Beberapa tahun kemudian, setelah beberapa tahun beliau pensiun, tiba-tiba ada utusan salah satu penerbit di Kota Bandung cari-cari saya.

Utusan tersebut nanya; “Pak Irawan punya naskah buku enggak?” Untuk diterbitkan? Tanya saya. “Iya.” jawabnya. “Ada tapi masih draft, harus diperbaiki dulu!”. “Nggak usah!” Jawab utusan penerbit. “Langsung di terbitkan saja. Kata Pak Tafsir, tulisan Pak Irawan Insyaallah sudah bagus!” Tiba-tiba hidung saya kembung serasa dipuji langsung oleh Prof. Tafsir.

Begitulah Prof. Tafsir. Sulit ditebak! Saat ingin dipuji, beliau tidak memuji. Saat tidak ingin dipuji beliau memuji. Beliau pernah berkata, kelemahan manusia itu selalu ingin dipuji.

Padahal kita tahu, yang pantas dipuji hanya Allah. Allah itu hebat. Maka Pujilah Dia! Selamat jalan guruku, semoga di alam sana engkau mendapat pujian dari Sang Maha Terpuji! (www.uinsgd.ac.id).

Merujuk pada buku Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa segala sesuatu yang pasti akan terjadi, berarti dekat. Kematian adalah kepastian, maka mati adalah dekat, bahkan lebih dekat dari kemungkinan kamu jadi orang kaya ataupun jadi sarjana. Keyakinan ini begitu kuat tertanam sejak saya masih di pesantren. Mungkin sekali keyakinan ini yang membuat saya menjadi merasa enteng menjalani hidup, berani mencoba dan memasuki wilayah baru dengan segala kesulitannya. Bukankah hidup adalah permainan sesaat?

Dengan lugas Gede Prama memberikan komentar atas buku mantan Rektor UIN Jakarta, "Kematian bukannya lawan kehidupan. ia adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan indah sekaligus mati dengan indah."

Salah satu cara merawat, menyelami kematian biar abadi dengan menulis. Selamat jalan guruku, penafsir filsafat yang akurat ala UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang agama dan keberagaman

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//