• Opini
  • Di Balik Berwisata Alam Buatan di Priangan

Di Balik Berwisata Alam Buatan di Priangan

Sayangnya, upaya mengalami realitas kehidupan yang sesungguhnya oleh wisatawan juga telah dikooptasi oleh industri pariwisata.

Fitra Sujawoto

Pengajar, pemerhati pariwisata, dan wirausahawan, bisa dihubungi via email [email protected]

Lingkungan menanggung derita akibat industri dan pembangunan yang ugal-ugalan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

28 April 2025


BandungBergerak - Ada bagian menarik dari tulisan Anton Solihin berjudul "Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!" yang dimuat di bandungbergerak.id pada 17 April 2025. Apa makna belajar ilmu pariwisata bila di saat bersamaan destinasi-destinasi wisata buatan semacam kastil-kastilan yang berpotensi merusak alam dan lingkungan justru hadir seperti jamur di musim hujan? Begitu kira-kira salah satu ajuan pertanyaan Solihin dalam tulisan tersebut.

Pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada tulisan The Truth About Tourism karya John Tribe, profesor pariwisata dari Universitas Surrey di Inggris. Dalam tulisan tersebut, Tribe juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang serupa dengan Solihin: mungkinkah ribuan atau bahkan jutaan artikel ilmiah yang telah diterbitkan oleh para akademisi pariwisata gagal mengungkap kebenaran dari objek kajiannya sendiri? Atau jangan-jangan para akademisi dan peneliti pariwisata, alih-alih menjadi "singa di hutan", malah menjadi "singa sirkus" yang dibatasi oleh struktur?

Struktur yang dimaksud oleh Tribe tentu saja adalah struktur kuasa, yang dalam tulisannya disebutkan setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor, yakni person, rules, position, ends, dan ideology. Singkatnya begini, hasil dari pembacaan Tribe terhadap 13 ribu artikel ilmiah dengan kata kunci pariwisata dalam rentang waktu 1990–2002 menunjukkan bahwa produksi pengetahuan pariwisata seringkali berjarak dengan fenomena pariwisatanya sendiri, atau bahkan melegitimasi pergerakan industri pariwisatanya, disebabkan oleh lima faktor tersebut. Sebagai contoh, hanya sedikit sekali persentase penelitian pariwisata yang membicarakan isu-isu seperti ras, etnisitas, disabilitas, dan kelas sosial.

Pun demikian dalam konteks paradigma keilmuannya, yang oleh Tribe dianggap terlalu berfokus pada diskursus ekonomi dan manajerial ketimbang aspek-aspek sosial budaya. Dari temuan tersebut, Tribe mengajukan pertanyaan akhir yang menarik: jika pariwisata telah diteliti selama puluhan tahun dan sistem besar telah diciptakan untuk itu, mengapa pengetahuan yang dihasilkan masih bersifat timpang, tidak merata, dan bias? Dan, kenapa di saat lebih banyak kampus yang mempelajari pariwisata hadir, pertumbuhan pariwisata di Priangan justru bergerak pada arah yang berbeda bila dibandingkan dengan era Bandung Vooruit yang diceritakan oleh Solihin dalam artikelnya?

Singkatnya, mengapa teori-teori yang berkembang malah tidak sejalan, atau bahkan seolah tertinggal dari praktik-praktik industri pariwisata yang hadir di sekitar kita? Jawabannya, sekali lagi jika mengacu pada John Tribe, ialah bahwa apa yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan pariwisata dalam konteks akademis sebenarnya tidak benar-benar mampu memahami fenomena pariwisata karena telah terdistorsi oleh medan gaya pengetahuan dengan lima faktor struktur kuasanya.

Baca Juga: Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Di Balik Berwisata Braga-Bragaan

Relasi Kuasa Pariwisata

Lantas, apakah memungkinkan untuk memahami fenomena pariwisata secara utuh? Bagi Dean MacCannell (1976) dalam bukunya The Tourist: A New Theory of The Leisure Class, upaya untuk memahami fenomena pariwisata sama halnya dengan usaha untuk mengurai dan menyusuri kehidupan modern itu sendiri. Pariwisata, bagi MacCannell, tidak dapat disamakan dengan aktivitas ziarah atau perjalanan lain yang terjadi di era sebelum lahirnya masyarakat modern. Praktik berwisata ialah upaya untuk mengalami realitas kehidupan yang sesungguhnya setelah dalam kesehariannya manusia justru diasingkan atau dialienasi dari hidupnya sendiri. Karena itu, berwisata bukanlah sekadar aktivitas budaya; ia adalah struktur dari kesadaran modern itu sendiri. Maka, mustahil untuk menolak atau membuang pariwisata dari kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini.

Sayangnya, upaya mengalami realitas kehidupan yang sesungguhnya oleh wisatawan juga telah dikooptasi oleh industri pariwisata, sama halnya dengan yang terjadi pada ilmu pengetahuan pariwisata itu sendiri. Sajian pengalaman berwisata yang disiapkan oleh industri pariwisata berangkat dari hasrat yang dimiliki oleh manusia itu sendiri: mulai dari mencari pengetahuan, menguji adrenalin, menelusuri jejak masa lalu, memuaskan pancaindra, hingga memenuhi kebutuhan akan kebersamaan dan kekeluargaan.

Upaya kooptasi itu dapat dilihat, misalnya, dari berbagai praktik kampanye pemasaran destinasi, akomodasi, atraksi, dan aktivitas wisata yang menggunakan jargon-jargon yang menyentuh wilayah privat seperti: "uji adrenalinmu di sini", "tempat liburan terbaik untuk keluarga", "rayakan momen kebersamaanmu bersama kami", "mari berwisata sambil mencari jati diri", dan banyak lagi yang lain dengan gaya serta nada yang serupa.

Wisatawan, kemudian, alih-alih menjadi pelaku dominan atau agen kuasa dalam konsep Michel Foucault, justru menjadi target yang dipenjarakan oleh agen-agen industri pariwisata. Cheong dan Miller (2000) dalam Power and Tourism: A Foucauldian Observation mengurai pariwisata sebagai relasi kuasa yang menempatkan wisatawan sebagai target dari para agen kuasa: dari pemerintah, swasta, peneliti pasar, akademisi, penulis perjalanan, hingga pelaku lokal. Meskipun dalam konsep Foucault kekuasaan bersifat cair alias tidak statis dan tidak hanya berada di satu pihak saja, dalam praktik industri pariwisata, wisatawan dianggap lebih sering menjadi target berbagai komoditas pariwisata.

Maka jika seluruh catatan awal dari tulisan ini digunakan sebagai kerangka berpikir untuk mempersoalkan dan mengubah praktik pariwisata yang saat ini dianggap destruktif terhadap kondisi alam dan budaya, pihak yang harus memulai perubahan ialah para agen dari relasi kuasa industri pariwisata itu sendiri. Pariwisata berkelanjutan tidak lagi bisa sebatas menjadi jargon dari para regulator, pelaku usaha, dan akademisi belaka, karena yang lebih utama ialah bagaimana implementasi teknis di lapangan betul-betul bisa dirasakan sebagai tawaran nyata bagi wisatawan.

Pembongkaran dan pembatasan berbagai daya tarik wisata buatan yang dianggap mengganggu ekosistem harus juga dibarengi dengan pengembangan aktivitas pariwisata yang lebih berkelanjutan. Di balik setiap foto wisatawan, setiap tiket masuk, setiap rute perjalanan, tersimpan upaya dari masyarakat yang terus bergerak, mencari, dan berusaha menemukan kembali dirinya.

Tentu saja saya sepakat dengan Anton Solihin bahwa menyedihkan jika representasi dari Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan Museum KAA hanya diwakilkan oleh tempat wisata seperti Grand Asia Africa di Lembang. Betapa cerdasnya agen relasi kuasa pariwisata di masa jaya Parijs van Java mampu berkolaborasi untuk mempromosikan wisatawan kawah gunung berapi dalam satu kemasan paket wisata edukasi. Apakah hari-hari ini kita benar-benar kehilangan sajian pariwisata yang demikian itu? Kenapa kemudian kemasan semacam itu justru dianggap memiliki pangsa pasar niche alias sempit bila dibandingkan dengan tempat wisata macam Grand Asia Africa, Jans Park, D’Castello, atau sejenisnya?

Para agen relasi kuasa pariwisata haruslah tersadar bahwa praktik berwisata merupakan cerminan dari realitas masyarakat modern itu sendiri. Maka bila sajian berwisata yang diberikan terus-menerus mengakomodasi hasrat konsumerisme belaka, ujungnya, masyarakat macam apa yang akan terbentuk dari praktik berwisata tersebut? Bukankah pariwisata harus turut andil dalam membentuk masyarakat modern yang lebih bertanggung jawab terhadap kondisi alam, sosial, dan budaya?

Kaum perempuan menabur bunga sambil berdoa di saat ruwatan mata air Irung-Irung Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, 2 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Kaum perempuan menabur bunga sambil berdoa di saat ruwatan mata air Irung-Irung Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, 2 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Yang Tersisa dari Alam Priangan

Ada satu contoh praktik berwisata yang dapat saya jadikan ilustrasi penutup tulisan ini sekaligus memberikan gambaran nyata bahwa pariwisata adalah bagian tak terpisahkan dari struktur kesadaran masyarakat modern yang, sialnya, telanjur berlandaskan pada struktur kelas ekonomi. Saya dan keluarga cukup rutin berkemah, meski bukan dalam artian benar-benar berada di alam bebas dan liar. Keluarga saya mungkin mewakili data-data statistik yang mengatakan meningkatnya kecenderungan berwisata di alam terbuka.

Tumbuhnya minat wisatawan terhadap alam terbuka ini kemudian disambut oleh para pelaku industri. Ada yang menyediakan lokasi perkemahan dengan fasilitas terbatas, ada juga yang menghadirkan theme park ala kastil-kastilan lengkap dengan prosotan pelangi. Yang lain lagi bahkan sampai menyiapkan berbagai tenda mewah yang fasilitasnya bisa menyerupai hotel bintang lima serupa dengan penginapan para elite ketika retreat di Magelang.

Bagi saya, dua tawaran terakhir itulah yang paling problematik karena memberikan pengalaman sensorik yang paling tidak otentik. Pertanyaan sederhana "Pah, kapan kita camping lagi?" dari anak-anak saya mungkin bisa saya jawab dengan kebenaran yang lengkap tentang pariwisata. Tapi setidak-tidaknya, saya bisa mulai mengatakan pada mereka bahwa masih ada yang tersisa dari alam Priangan, meski itu belum tentu mewakili kondisi utuh dari alam Priangan yang terus tergerus oleh aktivitas pariwisata yang gagal mendayagunakan potensi alam, sosial, dan budaya sebagaimana mestinya. Tabik!

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Wisata atau tentang Lingkungan

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//