• Narasi
  • Melihat Jumat Agung sebagai Momen Membangun Cinta dan Penghayatan

Melihat Jumat Agung sebagai Momen Membangun Cinta dan Penghayatan

Perjamuan Kudus pada Jumat Agung menjadi momen penerimaan, koreksi, dan perbaikan akan seluruh hal yang sudah terjadi di belakang.

Arianna Eliasavitri

Penulis asal Bandung

Kebaktian Jumat Agung di GKI Guntur Bandung. (Foto: Tim Dokumentasi Paskah Guntur 2025)

2 Mei 2025


BandungBergerak.id – Dari seluruh rangkaian Masa Raya Paskah seperti Minggu Pra-Paskah 1-5, Minggu Palmarum Sengsara, Kamis Putih, Paskah. Jumat Agung merupakan salah satu momen penting dalam mengenang sekaligus menghayati penyaliban dan wafatnya Yesus Kristus. Jumat Agung yang pada tahun ini jatuh pada Jumat, 18 April 2025 membawa makna bahwa kematian Kristus di atas Kayu Salib sebagai “Jalan Baru yang Membawa Damai” sesuai dengan tema Liturgi Jumat Agung GKI Sinode Wilayah Jawa Barat.

GKI Guntur Bandung mengadakan 2 kali jam kebaktian yaitu Kebaktian Umum 1 atau yang sering disingkat sebagai KU 1 pada jam 07.00 WIB, dan Kebaktian Umum 2 atau KU2 yang diadakan pada pukul 09.30 WIB. Antusias jemaat tampak pada dua waktu pelaksanaan kebaktian tersebut. Sejak pagi-pagi jemaat sudah datang memenuhi kursi di gereja, begitu pula dengan kebaktian sesi selanjutnya pada pukul 09.30 WIB semua kursi jemaat juga terisi penuh. Tampak seisi gereja dipenuhi dengan jemaat yang berbaju dan berbalut nuansa hitam sesuai dengan liturgi Jumat Agung. Tak hanya para jemaat, namun para panitia, pengisi acara, seluruhnya turut memakai nuansa hitam sebagai momen tanda “duka” atas kematian Kristus tersebut.

Para panitia dan pengisi acara bernuansa hitam. (Foto: Dokumentasi Arianna Eliasavitri)
Para panitia dan pengisi acara bernuansa hitam. (Foto: Dokumentasi Arianna Eliasavitri)

Salah satu rangkaian Jumat Agung di GKI Guntur Bandung adalah adanya pembacaan nubuat sengsara Yesus yang dibacakan oleh dua narator yakni Maria Ramopolii dan Arianna Eliasavitri, berisikan tentang refleksi, “Apakah kita telah sungguh menyadari bahwa penderitaan-Nya Ia alami karena Ia menanggung dosa-dosa kita?”

Perarakan Salib pada 18 April 2025. (Foto: Dokumentasi Arianna Eliasavitri)
Perarakan Salib pada 18 April 2025. (Foto: Dokumentasi Arianna Eliasavitri)

Baca Juga: Memahami Kedalaman Identitas Keagamaan
Rumah Ibadah di Tengah Pusaran Komodifikasi Agama
Kerusakan Bumi dalam Perspektif Lintas Agama dan Budaya

Perarakan Salib

Momen Penghayatan yang membuat jemaat tertegun adalah saat Perarakan Salib yang diiringi lagu “Golgota, Tempat Tuhanku Disalib” membuat jemaat merinding. Di momen Perarakan Salib tersebut jemaat di ajak merenungkan peristiwa tersebut sebagai bukti cinta dan pengorbanan Yesus.

Selain itu, doa Jumat Agung membawa jemaat hanyut dalam gerakan penghayatan. Doa dibawakan oleh 5 orang berbeda dengan tema yang berbeda pula. Pertama, Kain Hitam yang dinarasikan sebagai sesuatu yang gelap, sepi, duka, dan tragis. Kedua, Mahkota Duri yang digambarkan sebagai sesuatu yang tajam, sakit, pedih. Ketiga, Palu dan Paku digambarkan sesuatu yang remuk, kejam dan Keras. Gersang, patah, dan rusak menjadi bagian penjelas akan Ranting dan Daun Kering. Terakhir, Tempat Kendi sebagai sesuatu yang berisikan pokok-pokok doa.

Perjamuan Kudus pada Jumat Agung sekaligus menjadi momen penerimaan, koreksi, dan perbaikan akan seluruh hal yang sudah terjadi di belakang. Seluruh rangkaian Jumat Agung membawakan arti cinta dan penghayatan harus tumbuh sebagai momen pemeriksaan diri, momen yang berjalan beriringan agar cinta dan kasih semakin tumbuh di antara hati yang sering berat, dan berbuah atas hidup bersama.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang agama

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//