Kerusakan Bumi dalam Perspektif Lintas Agama dan Budaya
Agama dan budaya pada dasarnya berperan melestarikan bumi dari kerusakan oleh manusia. Agama dan budaya lebih dari sekadar identitas.
Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 10 Juli 2024
BandungBergerak.id - Kerusakan ekologi menghantui kebijakan pemerintah tentang konsesi tambang pada organisasi keagamaan. Peran agama dalam melestarikan lingkungan hidup pun patut dipertanyakan.
Topik agama dan ekologi tersebut diangkat dalam diskusi lintas agama di Pedepokan Bumi Ageung Saketi, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Acara bertajuk “Milangkala Bumi Ageung Saketi” ini dihadiri oleh Pastor St. Ferry Sutrisna Wijaya dan Fauzan Anwar sebagai narasumber, serta Topik Mulyana sebagai moderator.
Topik Mulyana memaparkan urgensi penguatan literasi dalam konteks budaya Sunda yang berlandaskan lingkungan hidup. Ia menyoroti semakin goyahnya peran budaya yang terkandung dalam Tri Tangtu. Sebagai falsafah masyarakat Sunda, nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui tékad, ucap, dan lampah. Melalui acara sawala (diskusi) ini diharapkan dapat mengisi ucap atau pemikiran yang mendukung lampah, yaitu tindakan.
Dalam perspektif Katolik, Romo Ferry menyampaikan bahwa dasar-dasar hubungan manusia dengan lingkungan hidup berangkat dari Alkitab. Hal tersebut disampaikan oleh beliau Romo Ferry menunjukkan koleksi bacaan yang dibawanya. Literatur tersebut mencakup berbagai buku tentang krisis iklim, kitab suci, hingga dokumen gerejawi karya Paus Fransiskus.
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi berbentuk gelap dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya dan roh Allah melayang-layang di atas permukaan air,” demikianlah kutipan Kitab Kejadian yang dibacakan oleh Romo Ferry.
Ayat tersebut menceritakan kejadian penciptaan bumi berdasarkan perspektif kekristenan yang menyebutkan bahwa bumi pada mulanya diciptakan dalam keadaan sangat baik. Akan tetapi, Romo Ferry menuturkan, terdapat interpretasi tekstual yang terkadang disalahartikan.
“... Taklukkanlah itu, dan berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan segala binatang yang merayap di bumi (Kejadian 1:28).”
Romo menyoroti penafsiran ayat tersebut yang menjadi dalih bagi perusakan lingkungan. Menurutnya, frasa ‘taklukan dan kuasai’ seharusnya dimaknai sebagai tindakan yang sesuai dengan kehendak Pencipta; bukan manusia.
Ajaran sosial Gereja Katolik telah merangkum pemikiran para Paus terdahulu, termasuk dalam isu lingkungan. Romo Ferry menunjukkan bahwa ajaran agama pada konteks ini hakikatnya bersifat kontekstual–menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, Paus Fransiskus telah menulis ajakan moral mengenai lingkungan hidup. Berdasarkan kutipan dalam Laudate Deum, semua ciptaan-Nya, termasuk lingkungan, merupakan ‘saudara’ yang perlu dirawat.
Romo Ferry melihat isu lingkungan sebagai masalah yang memprihatinkan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh temperatur bumi yang semakin panas. Akan tetapiia beliau mengatakan bahwa terdapat ruang bagi optimisme. Terlepas dari kerusakan tersebut, ada tanda-tanda perbaikan yang dapat dicapai secara berkelanjutan apabila terdapat kesadaran yang digabungkan dengan upaya kolektif.
Romo juga menyebut agama dan seluruh ajaran kebudayaan sejatinya telah memberikan fondasi mengenai lingkungan hidup: bagaimana manusia memaknai dan menjalani hubungannya dengan alam. Dalam skala yang lebih besar, peran pemerintah menjadi hal penting untuk mengatur hubungan tersebut dan membentuk tatanan yang lebih lestari. Inisiatif individual tidak cukup tanpa daya dukung yang baik dari pemerintahan.
Lingkungan Hidup Perspektif Islam
Perspektif Islam terkait lingkungan hidup terkandung dalam Maqashid Syariah. Salah satu komponen ajaran tersebut adalah syariat agama untuk menjaga alam. Dalam Islam, Ulil Amri (pemerintah) memiliki kewajiban dalam mengurus alam. Konsep ini pun selaras dengan ajaran kebudayaan Sunda, yaitu Tata Salira, Nagara, dan Buana, yang membentuk konsep holistik dalam menjalankan kaidah kehidupan.
Fauzan Anwar menuturkan fenomena ketika banyak masyarakat muslim yang taat menjalani agamanya, namun mengabaikan atau bahkan merusak lingkungan hidupnya. Hal tersebut ia sayangkan, sehingga menurutnya pengetahuan yang diiringi oleh advokasi menjadi dua unsur penting dalam melestarikan alam.
Fauzan pun mengungkapkan dalam situasi dewasa ini agama hanya berperan sebagai identitas tanpa adanya pemaknaan mendalam terhadap ajaran-ajarannya. Menurutnya, tindakan sosial perlu diwujudkan dalam kehidupan masyarakat muslim, sebagaimana yang dicerminkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, pertentangan menjadi hal yang pasti terjadi.
Semangat perjuangan ini pun dirangkum oleh apa yang disebut sebagai ‘teologi pembebasan’. Seluruh agama dan budaya memiliki ajarannya sendiri dalam mengontekstualisasi nilai-nilainya terhadap persoalan lingkungan serta sosial.
“Dari akidah menjadi gerakan, dari akidah menjadi kebudayaan,” kata Fauzan.
Kebudayaan selalu bermuara pada spiritualitas. Selaras dengan pernyataan Romo Ferry, Fauzan kemudian mengungkapkan upaya pembaharuan (tajdid) dalam ajaran agama menjadi hal penting untuk menjawab kebutuhan zaman. Jika tidak, maka agama hanya berperan sebagai identitas semata tanpa substansi yang berarti.
Kebutuhan zaman tersebut perlu disertai oleh pengetahuan. Pendidikan kemudian menjadi unsur yang memfasilitasi kekurangan tersebut. Menurut Fauzan, hal ini perlu menjangkau ranah politik sebab urusan lingkungan tidak dapat lepas dari manusia, dan manusia tidak dapat lepas dari politik. Demikian pun berlaku terhadap budaya: akar dari suatu bangsa adalah budaya yang berujung pada spiritualitas.
Baca Juga: Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan akan Memicu Konflik Kepentingan
Biomassa, Sumber Energi Alternatif yang Bisa Menjadi Berkah atau Musibah
Kekayaan Perairan Indonesia tidak Mensejahterakan Rakyat
Seni dan Alam
Acara sawala Pedepokan Bumi Ageung Saketi diselenggarakan bersamaan dengan hari jadi pedepokan yang keenam. Pedepokan ini didirikan oleh Abah Enjum. Melalui padepokan yang bergerak di bidang budaya, Abah Enjum membuka ruang edukasi alternatif bagi masyarakat yang hendak mengenal kebudayaan Sunda dan kearifan lokalnya, termasuk tentang penghormatan pada alam.
Selepas diskusi, acara tersebut dilanjutkan oleh bedah karya yang dipandu oleh Desty Nursyiam dengan Bapak Dody Satya dan Kharisma Cahayati.
Dody Stya menampilkan pertunjukan kecapinya yang berjudul “Singa Sinyur” dalam tangga nada pentatonik salendro. Tembang ini berbicara memiliki makna filosofis mendalam yang berbicara mengenai alam.
“Urang jeung alam teu aya antara-na, lamun urang aya antara-na, urang rék cicing di mana?” kata Dody yang menggambarkan kedekatan manusia dengan alam, dan jika terdapat sekat (antara) dengan alam, maka manusia tidak memiliki tempat hidup.
Kedekatan terhadap alam sebagai lingkungan hidup pun tergambarkan oleh rangkaian karya lukis Kharisma. Karya pertama yang berjudul “Tuhan adalah Uang” yang mengilustrasikan ketamakan manusia. Kerakusan tersebut diwujudkan dalam ‘sesembahan’ manusia yang telah berganti menjadi uang. Banyak orang kemudian menghalalkan segala cara untuk mencapai kekayaan, sehingga lingkungan pun habis dirusaknya demi keuntungan ekonomi.
Karya kedua melukiskan ilustrasi mata menangis yang diberi judul “Tangisan Ibu”. Lukisan ini merupakan hasil dari pengalaman pribadi Kharisma yang prihatin terhadap kondisi lingkungan. ‘Ibu’ adalah personifikasi lingkungan yang digambarkannya sebagai mata yang menangis. Tangisan tersebut tampak dari pantulan planet bumi yang tercermin dalam matanya. Bumi digambarkan sebagai tempat yang tandus dan sudah tidak hijau lagi.
Terakhir, lukisan ketiga merupakan karya yang melukiskan Sungai Ciujung. Situs tersebut terletak di wilayah Kanékés yang merupakan wilayah suku Badui Dalam. ‘Suasana asri’ menjadi frasa yang mendeskripsikan lukisan tersebut karena kelestarian alamnya yang masih utuh. Namun, Kharisma mengekspresikan kekhawatirannya apabila sungai tersebut kehilangan keasriannya di masa depan.
Keprihatinan ini berakar dari pengalaman Kharisma ketika menemui sampah plastik dalam lingkungan masyarakat Badui Dalam. Kharisma kemudian menyampaikan urgensi edukasi, sebab ketiadaan edukasi di masyarakat tersebut tampak dengan bertebarannya sampah di lingkungan mereka–terlepas dari status wilayah Badui Dalam yang seharusnya bebas dari pengaruh budaya luar.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artiikel lain tentang Lingkungan