Biomassa, Sumber Energi Alternatif yang Bisa Menjadi Berkah atau Musibah
Sumber-sumber biomassa sebagai energi alternatif di Indonesia sangat melimpah. Salah pendekatan bisa melahirkan pembabatan hutan.
Penulis Awla Rajul24 April 2024
BandungBergerak.id - Ketahanan energi menjadi perhatian banyak pihak belakangan ini. Pemanasan global yang memicu krisis iklim mendorong gerakan yang mendesak pengurangan penggunaan energi fosil (minyak bumi, batubara, dan sejenisnya). Salah satu sumber energi pengganti energi fosil adalah biomassa yang berasal dari sumber daya hayati.
Meski demikian, transisi energi ke biomassa mesti hati-hati jika tidak dilandasi dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan keberlanjutan. Pemerintah sendiri memberlakukan strategi co-firing biomassa di 107 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara sebagai salah satu cara untuk bertansisi energi. Co-firing biomassa ini mendapat penolakan dari aktivis lingkungan seperti Walhi dan Trend Asia, mereka menilai co-firing akan melahirkan pembabatan hutan (deforestasi) besar-besaran untuk memenuhi pasokan biomassa.
Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Efri Mardawati menjelaskan, biomassa dan proses biorefinery sudah menjadi perhatian sejumlah peneliti dan pengambil kebijakan terkait transisi energi.
“Jadi ketahanan pangan dan ketahanan energi ini menjadi betul-betul concern baik nasional maupun internasional saat ini, terutama sudah terjadi goncangan terhadap ketersediaan energi fosil,” kata Efri Mardawati, diakses dari laman Unpad, Rabu, 17 April 2024.
Erfi menjelaskan, biomassa bisa berasal dari turunan langsung dan tidak langsung tanaman maupun hewan. Biomassa bisa bersumber dari limbah pertanian dan bisa diolah menjadi berbagai produk turunan melalui teknologi biorefineri.
“Biomassa yang tadinya merupakan beban lingkungan, apabila diolah justru dia jadi bahan baku untuk produk-produk yang value added-nya lebih tinggi,” kata Ketua Pusat Kolaborasi Riset (PKR) Biomassa dan Biorefineri yang berada di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Biorefinery adalah proses mengolah limbah biomassa menjadi beberapa produk. Limbah tanaman penghasil minyak, seperti kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai produk selain minyak. Limbah padatnya bisa diolah menjadi fiber, limbah cairnya bisa diolah menjadi bioenergi dan biomaterial.
“Concern-nya bagaimana mengolah biomassa ini tidak hanya menghasilkan satu produk tetapi semua fraksi yang ada diolah untuk menghasilkan sejumlah produk hilirnya. “Jadi di dalam satu biomassa itu bisa menghasilkan beberapa produk,” kata Efri.
Kelapa sawit merupakan tanaman industri yang jamak di Indonesia dan merupakan penghasil terbesar kedua di dunia. Tandan kosong kelapa sawit yang diproses dengan metode tertentu bisa menghasilkan banyak turunan, seperti bioethanol (pengganti bahan bakar) maupun xylitol (gula rendah kalori).
“Jadi dari satu tandang kosong kelapa sawit kita bisa menghasilkan xylitol untuk pangan, etanol untuk bioenergi, kemudian lignin senyawa yang bisa digunakan untuk bioaktif,” tambahnya.
Pemanfaatan limbah menjadi sumber bioenergi dapat mengatasi permasalahan lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah dan menjadikannya produk yang bernilai tinggi, limbah bukan hanya tidak menjadi beban lingkungan, tetapi juga menghasilkan keuntungan.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi biomassa. Sayangnya potensi ini belum terkelola secara maksimal. Misalnya, bahan-bahan kimia di industri kesehatan yang masih diimpor. Padahal, bahan baku kimia tersebut bisa diolah dan didapatkan dari biomassa dengan proses teknologi biorefinery.
“Jadi ada ketersediaan baku yang kita punya melimpah dan ada permintaan dari industri yang saat ini kita masih banyak impor. Kalau kita bisa produksi ini maka akan ketemu permintaan dan konsumsinya,” ungkap Erfi.
Baca Juga: Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A, Lingkungan Tercemar dan Mata Pencaharian Petambak Garam Hilang
Walhi Jabar Menyerukan Pensiunkan PLTU Cirebon 1 Sekarang Juga
Co-firing Biomassa, Akal-akalan Memperpanjang Umur PLTU
Catatan Kritis untuk Biorefinery dan Biomassa
Konsep biorefinery yang mengolah biomassa menjadi beragam produk merupakan alternatif dari konsep petroleum refinery yang mengolah minyak bumi menjadi berbagai produk. Pasar biorefinery secara global diprediksi akan terus tumbuh dan meningkat.
Mengutip dari Fortune Business Insights, pasar global biorefinery akan tumbuh dari 45,03 USD miliar pada tahun 2022 menjadi 80,26 USD miliar pada tahun 2029. Proyeksi pertumbuhan pasar ini salah satunya disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan dorongan global untuk bertransisi menggunakan sumber-sumber berkelanjutan.
Di tengah potensi ekonomi tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Trend Asia memperingatkan pemerintah untuk tidak menjadikan co-firing biomassa sebagai dalih untuk melakukan deforestasi. Terlebih Indonesia sedang memberlakukan strategi co-firing biomassa untuk memperpanjang umur 107 PLTU dalam rangka tansisi energi.
Dalam riset “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” yang dikeluarkan oleh Trens Asia, disebutkan bahwa ada kebutuhan lahan yang massif untuk membangun hutan tanaman energi (HTE) demi memasok bahan baku biomassa pelet kayu bagi 107 PLTU di 52 lokasi yang menerapkan co-firing.
Jika HTE menggunakan jenis tanaman gamal, maka dibutuhkan konsesi seluas 7.781.626 hektare (kebutuhan tertinggi). Ataupun jika menggunakan jenis tanaman lamtoro gung dibutuhkan konsesi seluas 2.334.488 hektare (kebutuhan terendah).
“Proyeksi terendah kebutuhan konsesi HTE seluas 2.334.488 hektare itu sama dengan 35 kali luas daratan DKI Jakarta atau setara dengan 3.270.000 lapangan sepak bola,” tulis Trend Asia dalam riset yang diterbitkan November 2022.
Klistjart Tharissa Bawar, Manajer Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jawa Barat menyebutkan, konsep biorefinery memang bisa diterima sebab bersumber dari sumber-sumber yang berkelanjutan. Konsep ini juga memanfaatkan limbah untuk menjadi produk turunan yang memiliki manfaat, daya jual, dan dapat menurunkan beban lingkungan.
Adapun yang menjadi kekhawatiran adalah pengadaan tanaman industri, seperti kelapa sawit dan jenis tanaman monokultur lainnya. Pengadaan tanaman-tanaman monokultur akan menjadi kontributor yang memperparah kondisi krisis iklim. Selain itu, penting pula untuk mengedepankan perspektif lingkungan dalam konsep biorefinery, alih-alih mengedapankan perspektif bisnis yang berujung pada produksi massal.
“Oke melihat ini sebagai alternatif dan kesempatan buat kita transisi, cuma perspektifnya harus lingkungan. Jangan sampai si biorefinery ini perspektifnya tetap industri. Kalau industri kan bakal mass production, pasti bakal ada dampak. Walaupun sebisa mungkin harus diminalisasi dan dikelola,” kata perempuan yang akrab disapa Caca, saat ditemui BandungBergerak, Rabu, 24 April 2024.
Proses biorefinery akan menghasilkan produk turunan yang beragam, mulai dari energi, bahan pangan, pakaian, pakan hewan, produk kimia, dan lainnya. Caca memberi catatan, produk-produk turunan ini menjadi tren positif dari pengolahan limbah. Namun yang perlu diperhatikan, sebelum menjadi limbah, ada produk utama yang membutuhkan pengadaan lahan.
Sehingga, jika arah kebijakan ekonomi Indonesia akan beralih ke bioekonomi, pemerintah perlu membuat regulasi khusus yang mengatur tentang biorefinery, pemanfaatan, dan segala macamnya. Semua itu membutuhkan empat aspek yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan, keadilan, pemulihan lingkungan, dan penegakan aturan dan pengawasan.
“Jadi tricky sih memang. Kalau ngomongin keberlanjutan, iya, karena sumbernya bisa diproduksi terus-menerus. Tapi kondisinya regulasi, krisis iklim, masifnya pembukaan hutan, hingga tanggung jawab lingkungan yang jarang dipenuhi oleh korporasi industri,” tandas Caca.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Energi dan Proyek Strategis Nasional