• Berita
  • SABTU SORE #21: Kebebasan Pers di Indonesia Terus Menurun karena Meningkatnya Represi dan Kekerasan

SABTU SORE #21: Kebebasan Pers di Indonesia Terus Menurun karena Meningkatnya Represi dan Kekerasan

Represi aparat negara, kekerasan terhadap jurnalis perempuan, ancaman terhadap pers mahasiswa, dan kecerdasan buatan mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia.

Disekusi tentang Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 3 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 5 Mei 2025


BandungBergerak.idHari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) 2025 yang diperingati setiap 3 Mei, menunjukkan kondisi kebebasan pers di Indonesia tetap memprihatinkan. Kekerasan terhadap jurnalis, ancaman verbal dan fisik, serta represi terhadap media, terus meningkat. Kurangnya komitmen negara untuk menjamin keamanan pers menjadi pemicu utama.

Hal ini bukan hanya meresahkan profesi jurnalistik itu sendiri, namun juga menggoyahkan pilar demokrasi Indonesia. Bahkan, kebebasan pers yang seharusnya menjadi salah satu tonggak demokrasi, kini terancam oleh kekuatan yang terus-menerus membatasi dan mengintimidasi para jurnalis.

Pada 1 Mei lalu, saat ribuan buruh menggelar aksi dalam rangka May Day, sejumlah jurnalis yang tengah menjalankan tugas jurnalistik menjadi korban kekerasan oleh aparat. Insiden tersebut hanya menambah panjang catatan kekerasan terhadap jurnalis yang semakin meningkat, dengan kekerasan fisik, digital, dan psikologis yang terus terjadi setiap tahunnya.

Catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan, hingga Mei 2025, terdapat 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus-kasus tersebut tidak hanya melibatkan aparat negara, namun juga kekuatan politik dan ekonomi yang berusaha membungkam suara kritis media.

Iqbal T. Lazuardi, Ketua AJI Bandung, menegaskan dalam diskusi “Sabtu Sore#21: Demokrasi Tanpa Kebebasan Pers, Mungkinkah?", bahwa kebebasan pers di Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Menurut Iqbal, kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara menunjukkan sikap rezim yang cenderung antikritik dan otoriter.

"Tiap tahun, selalu ada aksi represif terhadap pers. Misalnya, saat May Day kemarin, reporter Tempo.co yang sedang meliput dipukul oleh polisi," kata Iqbal, di diskusi yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 3 Mei 2025.

Iqbal menambahkan, serangan terhadap jurnalis semakin sering terjadi di tengah minimnya komitmen negara untuk menjamin keamanan dan kebebasan pers. Bahkan di tengah jaminan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang seharusnya memberikan perlindungan, kenyataannya kebebasan pers di Indonesia kerap dibatasi.

Sebuah studi AJI awal 2025 terhadap 2.020 jurnalis Indonesia menunjukkan bahwa 75,1 persen jurnalis telah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun digital. Fenomena ini juga terjadi pada pers mahasiswa, seperti yang dialami oleh LPM Jumpa Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Pada April 2025, LPM Jumpa menerbitkan unggahan Instagram mengenai isu hak asasi manusia (HAM) bagi komunitas LGBT yang mengundang kecaman dari pihak kampus.

Alya, salah satu anggota LPM Jumpa, mengungkapkan bahwa orang tuanya dihubungi oleh pihak kampus pada tengah malam, dan pada 14 April 2025, Alya bersama anggota lainnya dipanggil ke pihak kemahasiswaan. Kampus menganggap menghubungi orang tua di tengah malam adalah hal wajar. Bahkan, LPM Jumpa akhirnya dibekukan oleh pihak kampus.

Alya menyadari bahwa menjadi Pers Mahasiswa (Persma) independen sangat sulit tantangannya karena ketika ingin mengkritik dengan tujuan membangun malah dibatasi oleh kebijakan kampus. Di samping itu, Alya berharap kampus dapat mendukung setiap kegiatan yang dilakukan LPM Jumpa. Namun, Alya beranggapan bahwa kampusnya cenderung memberikan tekanan dan intervensi.

”Aku penginnya kampus itu mendukung, tapi mereka hanya memahami persma itu cuma mengkritisi. Padahal kita itu tidak hanya mengkritisi, melainkan ingin mempunyai peran besar untuk membangun kampus menjadi lebih baik,” tutupnya.

Hal ini menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kebebasan pers, baik yang profesional maupun pers mahasiswa, terancam oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kritik media.

Disekusi tentang Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 3 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Disekusi tentang Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 3 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Represi terhadap Jurnalis Perempuan

Kondisi kebebasan pers di Indonesia juga sangat dirasakan oleh jurnalis perempuan, yang menghadapi tantangan ganda: selain menghadapi kekerasan terhadap jurnalis secara umum, mereka juga harus berjuang melawan diskriminasi gender dan kekerasan seksual.

Data dari AJI mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen jurnalis perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pelaku pelecehan beragam, bisa rekan kerja, atasan di tempat kerja, ruang redaksi, narasumber, dan pihak-pihak tertentu lainnya.

Catur Ratna Wulandari, Pemimpin Redaksi DigitalMamaID mengungkapkan, jurnalis perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi yang sangat sulit. Di dunia jurnalistik, perempuan sering dijadikan objek. Contoh, jika narasumber sulit diakses, perempuan kerap dipilih untuk mewawancarai karena dianggap lebih ‘mudah’ untuk mendapatkan informasi. Situasi ini membuat perempuan jurnalis lebih rentan terhadap kekerasan gender.

”Tantangannya itu sangat berat, kalau narasumbernya susah atau narasumbernya itu kira-kira cunihin (seksis) gitu. Malah disodori perempuan dengan dalih supaya informasi yang didapatkan bisa lebih banyak,” ujar Ratna.

Selain kekerasan fisik dan seksual, jurnalis perempuan juga rentan menghadapi diskriminasi dalam ruang redaksi. Ratna mengingatkan bahwa media harus memberikan dukungan penuh terhadap perempuan jurnalis, terutama ketika mereka menjadi korban kekerasan atau intervensi. 

Masalah lainnya, profesi sebagai jurnalis juga sering kali dipandang maskulin. Jumlah media di Indonesia terus bertambah, namun jurnalis perempuan tidak bertambah signifikan. Bisa jadi, karena maskulin inilah yang menjadi alasan personel perempuan di dunia pers lebih sedikit ketimbang laki-laki.

Dosen Universitas Diponegoro, Nurul Hasfi melakukan penelitian tentang jurnalis perempuan yang mengatakan, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia tidak lebih dari 25 persen. Data tersebut diperkuat oleh penelitian AJI pada 2021 yang menyatakan bahwa jurnalis perempuan di Indonesia hanya sekitar 20 persen.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis Mendesak Polisi Mengusut Teror Bom pada Jurnalis Papua
Solidaritas Jurnalis Bandung: Lawan Revisi Undang Undang Penyiaran!

Ancaman Terhadap Jurnalisme Independen

AJI, melalui Ketua Umumnya Nany Afrida, menyuarakan kekhawatiran terhadap masa depan jurnalisme independen di Indonesia. Menurutnya, serangan terhadap kebebasan pers terus meningkat. Kekerasan terhadap jurnalis menjadi lebih intens dan semakin mengancam kualitas demokrasi .

Laporan World Press Freedom Index yang dirilis oleh Reporters Without Borders pada 2 Mei 2025 menunjukkan bahwa Indonesia semakin terpuruk dalam hal kebebasan pers, turun ke peringkat 127 dari 180 negara, padahal pada 2024 Indonesia berada di peringkat 111 dan pada 2023 di peringkat ke-108.

Nany menegaskan bahwa jurnalis adalah benteng demokrasi yang harus dilindungi. "Di tengah krisis demokrasi yang melanda Indonesia, Hari Kebebasan Pers Dunia bukan sekadar peringatan, namun seruan untuk memperkuat solidaritas, bersatu untuk melawan represi, menciptakan jurnalisme yang bermutu, dan terus berpihak pada kepentingan publik. Hanya dengan pers yang bebas, independen, dan berkelanjutan, demokrasi bisa bertahan,” jelas Nany, dalam keterangan resmi peringatan WPFD 2025.

Tema WPFD tahun ini adalah Reporting in the Brave New World-The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media, yang menantang perusahaan media dan jurnalis untuk dapat meningkatkan profesionalisme serta kapasitasnya.

Kebebasan pers di Indonesia juga menghadapi tantangan baru seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). AJI mengakui meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi dalam produksi berita, teknologi ini tidak bisa menggantikan peran jurnalis yang harus melakukan verifikasi dan konfirmasi.

Adi Marsiela, dari Bidang Internet AJI , menekankan bahwa media harus memprioritaskan peran jurnalis meskipun ada teknologi AI.

“Perusahaan media sebaiknya memprioritaskan peran jurnalis meski ada teknologi AI. Teknologi tetap tidak bisa menggantikan peran jurnalis yang memahami konteks dan dapat melakukan verifikasi dan konfirmasi yang belum bisa digantikan mesin atau algoritma,” ujar Adi Marsiela dari Bidang Internet AJI Indonesia.

Penggunaan AI dalam produksi berita juga berpotensi mengancam kebebasan pers, karena teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk memantau dan mengawasi jurnalis, serta mengaburkan kebenaran fakta melalui algoritma yang bias. 

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Sifa Aini Alfiyya, atau artikel-artikel lain tentang Hari Kebebasan Pers Sedunia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//