Konser Musik Orkestra Unpar untuk Masyarakat 3T Indonesia
Konser musik orkestra dari Parchestra bertajuk Parikrama Parahyangan ini ditata musikus Dwiki Dharmawan. Ditujukan untuk penggalangan dana.
Penulis Audrey Kayla Fachruddin7 Mei 2025
BandungBergerak.id - Sabtu malam, 3 Mei 2025, Auditorium Arntz Geise Hall Unpar, Bandung, diwarnai dengan konser bertajuk Parikrama Parahyangan persembahan Parahyangan Orchestra (Parchestra). Pertunjukan musik bertajuk Parikrama Parahyangan ini ditata langsung oleh musikus Dwiki Dharmawan. Hasil konser akan disumbangkan kepada masyarakat 3T –Tertinggal, Terdepan, dan Terluar – di Indonesia.
Kata “Parikrama” diangkat dari Bahasa Sanskerta dan dapat diartikan sebagai ritual mengelilingi sebuah tempat yang dihormati atau disucikan. Melansir dari keterangan resmiParchestra, bersama Dwiki Dharmawan berusaha membagikan berbagai kisah mengenai perjalanan mereka di Tanah Parahyangan.
Lebih dari sekedar pagelaran musik, konser bertajuk Parikrama Parahyangan ini merupakan bagian dari penggalangan dana oleh Unpar bersasma beberapa sponsor serta donatur seperti PT Karya Bakti Parahyangan, Integrated Arts Unpar, United Tractors, Teknik Sipil Unpar Angkatan ‘75, Fazioli, Paneru, PT Grain and Green, Duta Putra Land, dan Keluarga Eks-Kolese Loyola Bandung.
Konser ini merupakan hasil kolaborasi antara Parchestra, Paduan Suara Mahasiswa Unpar, Dvya Vocal Ensemble, Jinggaswara, dan Bandung Choral Society. Konser ini diarahkan oleh empat orang pengaba: Gregorius Gerald Pratomo, Alfonsus Albert, Rita Victoria, dan Kasih Kurnia Indah. Selain berkolaborasi dengan Dwiki Dharmawan sebagai penata musik, konser ini juga melibatkan berbagai musisi Indonesia seperti Trie Utami, Ita Purnamasari, Daniel Christianto, Nya Ina Raseuki (Ubiet), Alfin Satriani, Endang Ramdan, Filipus Cahyadi, Timotius Simanjuntak, dan Rudy Zulkarnaen.
Baca Juga: Spirit Parchestra Membawa Kemeriahan Musik Orkestra di Ranah Pendidikan
Belajar Musik Orkestra di ITB Bersama Adi MS
Dalam penataan lagu, Dwiki menggabungkan orkestra klasik dengan elemen jazz dan tradisional, seperti memadukan tiga warna unik ke dalam satu palet sehingga menghasilkan sebuah lukisan yang harmonis.
Kisah Parikrama Parahyangan dibuka oleh improvisasi vokal Ubiet yang berjiwa melalui “Rampak Randai”–lagu yang terinspirasi dari musik Minangkabau, dipadukan dengan meriahnya orkestra klasik, perkusi, serta paduan suara sehingga melahirkan overture megah dan semarak. Kemudian, panggung Parikrama dimainkan oleh Dwiki dengan piano Fazioli Malachite. Bersama dengan piano coklat yang bertabur mutiara Mother of Pearl dan batu malasit hijau, Dwiki melanjutkan dengan pertunjukan solo piano “Selamatkan Hutan Kita”, sebuah lagu yang ia dedikasikan untuk menggambarkan pengalaman serta perasaannya setelah melihat hutan Kalimantan dari atas pesawat.
Selama menyaksikan konser ini, saya dapat merasakan apa yang ingin Dwiki sampaikan dari setiap dentingan pianonya–rasa kecewa dan sedih melalui nada-nada melankolisnya serta sedikit rasa ketegangan di dalamnya. Lagu ini kemudian diakhiri dengan rasa determinasi untuk menghijaukan hutan tersebut kembali.
Setelah itu, Dwiki kembali melanjutkan konser dengan lagu “Demi Fajar” bersama Daniel Chirstianto, “Taubat” dengan Ita Purnamasari, serta duet antara piano dan saksofon milik Timotius Simanjuntak, “A Night in Murcia”, sebuah jazz yang terinspirasi dari sebuah festival kebudayaan Kristen, Islam, dan Yahudi di Kota Murcia.
Setiap lagu membawa penonton ke dalam dunia yang berbeda. Tidak hanya melalui emosi tiap instrumen musik, hal ini didukung juga dengan visualisasi musik yang dibuat oleh para mahasiswa jurusan Integrated Arts Unpar.
Menurut Koordinator Visualisasi Karya Parikrama Parahyangan Kalyanarga “Arga” Rizal, setiap visualisasi yang diciptakan awalnya didasari dengan interpretasi bersama tim visualisasi karya dan kemudian dikembangkan berdasarkan eksplorasi perasaan masing-masing anggota ketika mendengarkan berbagai lagu tersebut. Meskipun tiap anggota memiliki gaya visualisasi yang berbeda, mereka tetap dapat menggabungkan berbagai elemen tersebut dan menghasilkan sebuah visualisasi yang berhasil membawa para penonton semakin mendalami tiap lagu yang dibawakan.
Kisah ini kemudian dilanjutkan dengan lagu “Kepada Kesangsian” secara akapela oleh Bandung Choral Society, Jinggaswara Choir, dan Dvya Vocal Ensemble yang memenuhi Arntz Geise Hall dengan perasaan mendayu pada malam itu.
Dwiki kemudian tampil kembali dengan suara Ubiet, xylophone Alfin Satriani, dan Parchestra untuk membawakan “Gunungan”, sebuah lagu yang Dwiki tulis bersama kawannya, I Nyoman Windha. Pada telinga penulis yang awam, lagu kompleks nan berirama cepat ini sekilas terdengar seperti “mengadu” antara piano dan xylophone–atonal namun tetap harmonis.
Lagu kedelapan, “Si Patokaan”, merupakan lagu yang Dwiki aransemen secara khusus untuk Parchestra dan konser Parikrama Parahyangan. Seperti yang kita ketahui, lagu asal Minahasa ini identik dengan nada cerianya meskipun memiliki lirik yang bertolak belakang–rasa kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya yang akan merantau. Dwiki, dengan tangan ajaibnya, seakan menyulap “Si Patokaan” menjadi lagu yang penuh akan harapan nan lembut, sesuatu yang masih sejalan dengan arti lirik lagu tersebut.
Kemudian, Dwiki mengundang sahabatnya, Trie Utami, untuk memeriahkan panggung Parikrama lebih lanjut. Mereka membawakan lagu “Terumbu Menangis” seraya mengajak para penonton untuk meningkatkan kepeduliannya terhadap ekosistem laut yang kian menurun.
“Ini adalah, barang kali, bentuk daripada kepedulian kami sebagai seniman, dalam kapasitas kami sebagai musisi. Ibarat fotografer kali, ya. Kami menangkap apa yang terjadi di masyarakat dan menuangkannya ke dalam lagu,” ujar Trie Utami. sebelum menyanyikan lagu “Terumbu Menangis”.
Waktu hampir melewati pukul sepuluh malam, panggung megah Parikrama Parahyangan secara resmi ditutup dengan lagu jazz bernuansa timur tengah, “Spirit of Peace”. Lagu ini dapat dilihat sebagai “pemersatu” para penonton di mana maestro kendang Endang Ramdan berinteraksi dengan mereka melalui “permainan” mengikuti nada kendang melalui tepukan tangan. Kasih Kurnia Indah, mahasiswi Integrated Arts Unpar dan pengaba penutup konser Parikrama Parahyangan, mengatakan bahwa ia merasa sangat gugup sebelum konser ini dimulai. Namun, setelah melewati berbagai sesi latihan dan menyelesaikan konser ini dengan baik, Kasih merasa sangat lega dan terhormat karena dapat berkolaborasi dengan Dwiki Dharmawan.
Kasih juga menyatakan bahwa Dwiki telah membantunya untuk merasa lebih santai pada hari konser dimulai sehingga ia dapat menutup konser Parikrama Parahyangan dengan hati yang ringan.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Audrey Kayla, kawan-kawan juga bisa menengok liputan lainnya tentang Musik Bandung