Spirit Parchestra Membawa Kemeriahan Musik Orkestra di Ranah Pendidikan
Salah satu nomor lagu konser musik klasik orkestra ini berjudul Sungai Cikapundung yang dilatarbelakangi kehidupan warga di bantaran sungai.
Penulis Yopi Muharam13 November 2024
BandungBergerak.id - Konser musik klasik Parahyangan Orchestra (Parchestra) bertajuk Spirit yang diselenggarakan di auditorium PPAG Unpar, Bandung, Selasa, 12 November 2024 malam membawa kemeriahan yang menekan perasaan. Kendati masih berumur muda, Parchestra hadir selayaknya komunitas orkestra profesional.
Konser ini menyajikan kolaborasi antara puluhan orang muda yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa Paduan Suara Mahasiswa Unpar, Parchestra, dan musikus lainnya. Orang-orang muda tersebut memadati ampiteater untuk memainkan pelbagai alat musik, mulai dari biola, viola, selo, double bass, terompet, saxophone, flute, serta berbagai macam alat perkusi.
Ketika mereka bersiap, para penonton seketika senyap, bahkan suara langkah kaki pun terdengar sangat jelas. Perhatian penonton terpusat pada gerak langkah para pemain.
Sua orang pemain perkusi sibuk mondar-mandir memainkan berbagai alat musiknya seperti xylophone, drum bass, marimba, dan lainnya ketika musik mulai dialunkan. Sesekali dua orang itu membuka-buka lembaran HVS di stand partitur.
Setiap dua orang itu selesai memainkan alat musik yang menggunakan stik, mereka menyimpan kembali alat musiknya perlahan-lahan agar suaranya tidak mengganggu yang lain. Sesekali penonton juga mengeluarkan gawai untuk mengabadikan momen.
Dalam konser ini, Parchestra menghadirkan enam konduktor atau pengaba yang didominasi orang muda, salah satunya pengaba sekaligus pendiri Parchestra, Fauzie Wiriadisastra. Setiap pengaba memainkan musik yang mempunyai filosofi tersendiri.
Fauzie memandu 11 lagu di konser ini, salah satu lagu berjudul Buih Bisu Sungai Cikapundung. Lagu ini dibawakan dalam nuansa berbeda karena diwarnai percakapan langsung dengan warga bantaran Sungai Cikapundung.
Bertabur Filosofis
Sebelum Fauzie menaiki tangga pengaba, salah satu mahasiswa Unpar, Muhamad Fathan menceritakan kilas balik lagu tersebut. Dengan suara datar dan lesu, dia menceritakan bahwa lagu yang membawa isu tentang bantaran sungai Cikapundung ini berawal dari sebuah proyek tugas kuliahnya.
Selama beberapa hari, Fathan, Rizal, dan Charty menyusuri bantaran sungai Cikapundung untuk mendapatkan referensi musiknya. Tanpa diduga, Fathan menemukan peristiwa yang mengejutkan. Pada 7 Maret 2024 lalu, tiga santri dikabarkan hanyut terbawa arus di Sungai Cikapundung.
Cerita ini menjadi pemantik kuat musik yang dibawakan oleh Fauzie. Dengan melibatkan masyarakat, musik ini seakan mengajak interaksi antara manusia dan lingkungan. Menurut Fathan, suara alam bukan hanya sekadar latar belakang, tetapi berperan vital dalam perjalanan hidup.
Sungai Cikapundung menjadi saksi bisu yang menyimpan perasaan dan pesan yang sulit diungkapkan. Mengenai hal itu, mereka mencoba membawakan pesan tersebut ke dalam sebuah aransemen musik, di mana dalam musiknya juga melibatkan percakapan masyarakat sekitar.
“Bisikan tersebut menjadi pelipur lara sekaligus memberi peringatan dan menggambarkan lingkungan spiritual antara manusia dengan alam,” ujar Fathan lirih. “Melalui proyek ini, kami turut mendoakan korban dan keluarga yang ditinggalkan. Selamat mendengarkan buih bisu di sungai Cikapundung,” lanjutnya.
Fauzi lantas melangkah ke tengah dan menaiki tangga pengaba. Suara tepuk tangan sementara memecah keheningan. Fauzie mengangkat tangan seraya memberi isyarat kepada operator untuk mematikan lampu. Seketika ruangan menjadi senyap dan gelap.
Krek... krek... krek... sebuah alat musik perkusi yang suaranya menyerupai gemuruh aliran sungai. Suara anak kecil terdengar sayup di sebuah audio. Fauzie mengarahkan tangannya ke arah lain, seakan memberi isyarat agar pemain viola dan biola menggesek senarnya. Begitupun alat musik lainnya mulai mengikuti irama. Sehingga aransemen tersebut seakan menggambarkan suasana di sekitar sungai.
Di pertengahan penampilan, videotron memanjang berukuran sekitar 8 x 2 meter menampilkan sebuah narasi percakapan diiringi suara rekaman. Seketika alat musik senyap dimainkan. Beberapa menit senyap, seketika juga Fauzie mengarahkan tangannya ke arah pemain perkusi. Dong... pemain perkusi itu memukul bass drum satu pukulan dengan keras yang membuat beberapa penonton kaget.
Kali ini, aransemen musik dimainkan lebih seram lagi. Gesekan viola seakan lebih menyayat. Membawa perasaan campur aduk didengarkan. Ditambah ketika masyarakat bercerita kisah tiga santri itu. “Terus ada dua orang santri selamat, mereka keburu ditolong sama santri lainnya. Sedangkan satu santrinya hilang terbawa arus,” ujar masyarakat.
Rekaman wawancara itu terus diputar hingga musik usai. Fauzie meninggalkan tangga pengaba tanpa memberi salam kepada penonton. Seketika musik dan audio itu senyap. Penonton kembali memberikan apresiasinya dengan tepuk tangan. Sedangkan Fauzie telah berada di balik pintu keluar panggung.
Fauzie bercerita, lagu yang dibawakan itu merupakan projek mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas mata kuliahnya. Dalam meramu musiknya, dia mengatakan bahwa mahasiswa ketiga mahasiswa itulah yang menciptakannya.
“Mahasiswa sendiri yang ngerjain sebetulnya. Parkestra sendiri ya kita menyediakan alat musik,” ujar dosen bidang peminatan Integrated Arts. “Yang memainkan komposisi itu, yang ngerjain semua suara mahasiswa mereka bertiga tadi,” lanjutnya.
Baca Juga: PROFIL BANDUNG SYMPHONY ORCHESTRA (BASO)
Merintis Jalan Musisi Orkestra Muda Jawa Barat
Pertemuan Dua Dunia Berbeda dalam Konser Orkestra Dangiang Karinding
Sedang Bertumbuh
Sebelum sesi pertama usai, seorang perempuan berkostum serba hitam jalan ke tengah menuju tangga pengaba. Dia adalah Maria Jessa Tiffany, mahasiswa Integrated Arts semester tujuh. Dia membawakan lagu berjudul Beliefs, musik yang dikomposisikan oleh Stefiani Marian.
Maria sangat percaya diri untuk menjadi pengaba. Penampilan ini merupakan kali pertama Maria menjadi seorang pengaba di acara orkestra. Dia tampil di hadapan puluhan penonton, termasuk kedua orang tuanya. Bagi Maria, pengalaman ini menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam hidupnya.
Maria bercerita, kendati dirinya senang bermain musik, menjadi pengaba sebetulnya tidak pernah terbersit dalam benaknya. Akan tetapi, keaktifannya di UKM paduan suara mahasiswa dapat membawanya menjadi seorang pengaba.
Pada semester enam, salah satu mata kuliahnya mengharuskan mahasiswanya untuk menjadi pengaba. Hal tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Maria. Tak disangka, hasil dari menempuh mata kuliah ditambah ilmu yang didapat dari UKM membawa Maria menjadi seorang pengaba.
“Saya ingin terus mencoba, dan kebetulan semester lalu, ada kelas untuk menjadi konduktor untuk memimpin mengaba orkestra atau panduan suara,” tutur Maria kepada BandungBergerak saat ditemui usai tampil. “Rasanya seru, cuma agak gerogi,” lanjutnya.
Maria menyiapkan acara ini selama dua bulan. Satu bulan penuh dia manfaatkan untuk berlatih bersama dengan Parkestra. Secara kolaborasi, akhirnya Maria bisa tampil sukses. Hal ini menjadikan motivasi untuk Maria untuk terus berkarya. Salah satunya dengan menciptakan komposisi lagu ciptaanya.
“Kebetulan saya juga bikin komposisi lagu, saya mau bikin komposisi lagi yang lebih baik dan wow menurut saya,” ungkapnya. “Dan juga saya ingin berkesempatan untuk mengondak lagi, baik di orkestra maupun di panduan suara,” lanjutnya.
Di sisi lain, Parkestra sendiri merupakan unit kegiatan yang langsung dinaungi rektorat. Keanggotaanya pun macam-macam. Menurut Fauzie, kebanyakan anggotanya adalah alumni Unpar. Bahkan ada juga mahasiswa di luar Unpar. Akan tetapi Parkestra membuka pintu selebar-lebarnya untuk masyarakat yang ingin bergabung.
Bahkan, dalam mengadakan penampilan orkestra ini pun dibuka untuk umum. Asal lolos audisi. Umur Parkestra ini baru dua tahun. Terhitung masih baru. Setiap mengadakan acara pun, alat seperti perkusi menyewa dari luar. Sementara untuk alat lainnya dimiliki pribadi oleh masing-masing pemain.
Fauzie mengungkapkan Parkestra ini akan terus berjalan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. Pada tanggal 1 Desember mendatang, Parkestra akan berkolaborasi dengan penari balet. Setahu Fauzie juga kolaborasi antara balet dan live musik akan menjadi yang perdana di Indonesia.
“Setahu saya sih pertama ya not leker dibawakan dengan live musik. Setahu saya di Indonesia belum pernah sih,” ujarnya. Dia juga berharap ke depannya Parkestra lebih dikenal lagi, bahkan masyarakat dapat menonton secara langsung penampilan Parkestra ini.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, kawan-kawan juga bisa menengok liputan lainnya tentang Musik Bandung