• Berita
  • Pertemuan Dua Dunia Berbeda dalam Konser Orkestra Dangiang Karinding

Pertemuan Dua Dunia Berbeda dalam Konser Orkestra Dangiang Karinding

Karinding, alat musik bambu dari budaya Sunda, bertemu dengan instrumen musik klasik dalam Konser Orkestra Dangiang Karinding di Auditorium PPAG Unpar, Bandung.

Konser Orkestra Dangiang Karinding di Auditorium PPAG Lantai 2, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa, 24 Juli 2024. (Foto: Sri Destriani/BandungBergerak)

Penulis Noviana Rahmadani25 Juli 2024


BandungBergerak.id – Para siswi dari Ursula Junior Choir & St. Peters Children Youth Choir, terlihat anggun dalam balutan kebaya. Mereka melantunkan lagu-lagu daerah Jawa Barat seperti “Jaleuleuja”, “Oray-Orayan”, “Perepet Jengkol”, dan “Tokecang”. Lagu-lagu ini menggema diiringi bunyi karinding—alat musik tradisional Sunda terbuat dari bambu—dan orkestra.

Konser Orkestra Dangiang Karinding merupakan perwujudan kolaborasi antara Pangauban Karinding, Parahyangan Orchestra (Parchestra), dan Atap Foundation. Perpaduan karinding dan instrumen musik klasik orkestra membawa hanyut penonton ke dalam harmoni langka dan menawan. Bisa dibayangkan, suara karinding yang monoton bertemu dengan celo, biola, atau saksofon.  

Menggabungkan dua jenis musik yang berbeda bagaikan menyatukan dua dunia yang berbeda pula. Hal ini membutuhkan proses yang panjang dan penuh dedikasi, seperti yang ditunjukkan dalam konser Orkestra Dangiang Karinding di Auditorium PPAG Lantai 2, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa, 24 Juli 2024.

Orkestra dan karinding memiliki perbedaan yang signifikan dalam berbagai aspek, mulai dari latar belakang budaya, skala tangga nada, hingga cara bermain. Orkestra yang berasal dari tradisi musik barat, memiliki disiplin ketat dan aturan baku dalam permainannya. Di sisi lain, seni karinding memiliki fleksibilitas dan ekspresivitas yang lebih tinggi.

“Tantangannya kompleks,  karena hampir semua jadi tantangan. Dua-duanya punya disiplin sendiri-sendiri,” kata Kimung, Direktur Atap Foundation, penggagas ide kolaborasi orkestra-karinding, saat ditemui BandungBergerak selepas berakhirnya konser pertunjukan Dangiang Karinding.

Lebih dari sekadar pertunjukan musik, konser ini sebagai bentuk dorongan untuk menjadikan karinding sebagai alat musik pendidikan nasional dan diakui sebagai UNESCO Intangible Heritage for Humanity. Karinding memiliki potensi besar untuk diajarkan dan dinikmati oleh generasi muda, sekaligus memperkaya khazanah budaya bangsa di mata dunia.

Sesi pertama konser ini membawa para penonton kembali ke masa lampau, menapaki jejak budaya Sunda yang diwariskan oleh para karuhun (nenek moyang). Alunan lagu-lagu tradisional seperti “Jaleuleuja”, “Oray-Orayan”, “Perepet Jengkol”,  dan “Tokecang”, yang lazim diajarkan di sekolah-sekolah, membawa nuansa nostalgia dan mengingatkan para penonton akan nilai-nilai luhur budaya Sunda. Penampilan pupuh "Juru Demung", "Dangdanggula", dan "Balakbak" pun turut menghiasi sesi ini. Pupuh, dengan irama dan syairnya yang memiliki ciri khas tersendiri, merupakan salah satu kekayaan budaya Sunda yang perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus.

Sesi kedua menampilkan lagu-lagu yang diciptakan antara tahun 2010 hingga 2014, diambil dari tiga proyek musik: The Devil And The Deep Blue Sea, Paperback, dan proyek bersama Toki Sofya. Lagu-lagu ini merupakan hasil eksplorasi musik karinding yang lebih modern.

Menyadari pentingnya edukasi dalam pelestarian budaya, sesi ketiga konser ini menarasikan bahwa karinding secara khusus menyasar sekolah-sekolah sebagai target utama. Berfokus pada lagu-lagu yang diciptakan untuk tujuan pendidikan. Konser Karinding di Hari Anak Nasional ini sebagai gerakan nyata untuk melestarikan budaya Sunda dan menanamkan kecintaan terhadap musik tradisional kepada generasi muda. Dengan menggabungkan edukasi dan hiburan, diharapkan dapat membuka peluang baru bagi karinding untuk terus berkembang dan memberikan dampak positif yang luas.

“Diproyeksikan untuk alat peraga pendidikan. Jadi kita bikinnya memang sangat sebentar, straight to the point,” kata Kimung.

Penetapan karinding sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2021 dari kategori seni pertunjukan, diperlukan komitmen serius untuk menjaga kelestarian karinding. Alat musik tradisional karinding mengandung nilai kearifan lokal yang mendalam. Dalam alunannya, terkandung filosofi yang mendorong kesadaran ekologi dan nilai-nilai kebudayaan. Suara yang dihasilkan dari getaran bambu melambangkan keseimbangan alam dan harmoni manusia dengan lingkungannya.

“Dari warisan budaya tak benda aja, berarti kan ada nilai kearifan lokal di situ.  Jika benar diterapkan nilai-nilainya, bisa diresapi oleh anak-anak dari kecil, itu bisa menghindarkan mereka dari berbagai paham-paham yang paling soft sampai ke yang paling keras. Itulah nilai kearifan lokal yang diharapkan mampu menghadirkan ‘Ibu Pertiwi’ di dalam diri mereka. Demikian nantinya secara attitude akan jauh lebih terbentuk karakter,” kata Kimung.

Baca Juga: Merintis Jalan Musisi Orkestra Muda Jawa Barat
Dari Konser Bandung Symphony Orchestra hingga Pesta Demokrasi Tanpa Etika Lingkungan Hidup
Belajar Musik Orkestra di ITB Bersama Adi MS

Proses Kreatif yang Mendalam

Meskipun belum mendapatkan dukungan nyata dari pemerintah, upaya pelestarian karinding terus digaungkan oleh berbagai pihak. Universitas dan lembaga pendidikan mengambil peran penting dalam menjaga kelestarian karinding salah satunya dengan menyelenggarakan konser kolaborasi yang digarap secara independen, dengan semangat inklusif, terintegrasi, dan berkelanjutan. Semangat ini menjadi dasar dalam menjalankan proyek pelestarian karinding. Kendati begitu, mereka membuka ruang bagi kerja asama dengan berbagai pihak, baik pemerintah, komunitas, maupun khalayak luas.

“Jaringan yang sekarang kita garap itu lebih ke lembaga pendidikan,” kata Kimung.

Ke depan, tim berencana untuk menggabungkan gamelan dengan karinding dan orkestra, menciptakan harmoni antara instrumen diatonis dan pentatonis. Proyek ini diharapkan dapat membuka lebih banyak peluang kolaborasi, memperkaya dunia musik, dan melestarikan warisan budaya dengan cara inovatif dan inklusif.

“Gimana sih jadinya kalau tiga entitas ini digabung,” ungkap Kimung.

Apresiasi Kolaborasi Dangiang Karinding

Salah satu dampak positif dari konser ini adalah potensinya untuk meningkatkan apresiasi terhadap musik tradisional. Hal ini diungkapkan oleh salah satu penonton, Mira, dosen arsitektur Unpar yang terkesan dengan kolaborasi unik tersebut.

“Kebayangnya sih bakalan bagus, mengingat suara karinding ini agak monoton,” kata Mira.

Ia juga menilai, selama ini, musik tradisional sering kali diasosiasikan dengan orang tua dan dianggap ketinggalan zaman. Namun, kolaborasi Dangiang Karinding menunjukkan bahwa kawula muda juga mampu berpartisipasi dalam melestarikan budaya tradisional.

Sementara itu, Ali, salah satu maestro karinding yang tampil di konser Dangiang Karinding, mengungkapkan bahwa menyatukan karinding dengan orkestra adalah tantangan yang cukup besar. Sebagai alat musik tradisional yang ketukannya tidak teratur, menyelaraskan permainan karinding dengan musik orkestra yang lebih terstruktur memerlukan latihan yang intensif. Dibutuhkan waktu sekitar 11 bulan, sejak September 2023, untuk menggodok konser istimewa ini hingga mencapai hasil yang memuaskan.

Terlepas dari tantangan, Ali merasa bangga dapat berpartisipasi dalam konser ini. Ia melihatnya sebagai kesempatan untuk memperkenalkan karinding supaya lebih dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat luas, bahkan dikolaborasikan dengan berbagai jenis musik lainnya di masa depan.

“Jadi untuk sekarang, dengan diadakannya orkestra ini semoga ke depannya bisa dikolaborasikan lagi dengan musik lainnya,” ungkap Ali.

Dalam dunia musik, kolaborasi adalah salah satu elemen kunci yang dapat menghasilkan karya luar biasa. Kesukaran serupa juga dirasakan pula oleh Ningrum (32 tahun), pemain biola yang tergabung dalam Parkestra. Ia berbagi pengalaman dan pandangannya mengenai kolaborasi dalam konser Dangiang Karinding. Saat ditanya mengenai tantangan dalam menyesuaikan nada selama latihan, Ningrum menjelaskan bahwa pada awalnya mengalami sedikit kesulitan.

"Kadang-kadang awal-awal iya soalnya kaget ada suara-suara lain. Tapi kita belum biasa aja," ujarnya. Adaptasi terhadap suara-suara baru memerlukan waktu, tetapi dengan latihan yang konsisten, mereka mulai terbiasa dan menemukan harmoni.

Kolaborasi ini tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan, tetapi juga sebuah perjalanan nilai pendidikan dan kebudayaan yang bermakna. Kolaborasi antara karinding dan orkestra ini membuktikan bahwa meskipun berasal dari dunia yang berbeda, musik dapat menyatukan dan menghadirkan keindahan melalui sinergi dan kreativitas. Dengan dukungan yang terus berkembang, proyek ini memiliki peluang besar untuk menjadi inspirasi dan model bagi kolaborasi serupa di masa depan.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Musik di Kota Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//