PROFIL BANDUNG SYMPHONY ORCHESTRA (BASO): Dari Gereja ke Panggung Orkestra
Bandung Symphony Orchestra (BASO) menambah semarak peta musik klasik. Kelompok ini didirikan orang-orang muda berusia belasan tahun.
Penulis Linda Lestari6 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Lampu ruangan dimatikan lima menit sebelum konser dimulai, hanya tersisa lampu panggung. Para pemain musik sudah bersiap di atas panggung mengenakan pakaian serba hitam. Lampu sorot mengarah ke MC yang membuka acara sekaligus membacakan peraturan selama konser Bandung Symphony Orchestra (BASO) berlangsung.
Seorang pria muda berjas hitam muncul dari belakang panggung, Nathan Budiman (17 tahun), konduktor yang akan memimpin konser BASO. Ia mempersilakan penonton berdiri. Konser dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama.
Konser bertajuk “Cineclassics: Classics in the Movies” yang digelar pada 27 Juli 2024 malam itu adalah konser kedua yang disajikan para musisi muda Bandung Symphony Orchestra. Dilaksanakan di Teater Gedung Administrasi Pusat Universitas Maranatha, Bandung konser ini mempresentasikan perjalanan gaya musik sinematik.
“Film tidak hanya tentang seni akting dan sinematografi, tetapi juga tentang musik yang menciptakan atmosfer dan membangun suasana sebuah cerita,” tulis BASO dalam Booklet Cineclassics: Classics in the Movies.
Musik film dapat menceritakan sebuah kisah, menggambarkan emosi sebuah tokoh atau adegan, dan bahkan menentukan suasana hati di dalam cerita. Karya-karya komponis film seperti John Williams yang menciptakan lagu-lagu di film Star Wars yang mendunia dan Hans Zimmer yang menciptakan lagu-lagu film Interstellar, digemari oleh penonton film dan penikmat musik di seluruh dunia.
Lagu pertama yang ditampilkan BASO adalah “When You Wish Upon A Star” karya Ned Washington, Leigh Harlin, dan diadaptasi oleh sang konduktor, Nathan Budiman. Ia sudah berganti jas sejak pembukaan lagu pertama menjadi warna krem. Di lagu “La La Land Medley” karya Justin Hurwitz dan diaransemen oleh Filipus Wisnumurti & Fakhry M. K., BASO mengajak penonton untuk ikut terlibat dan memberikan tepuk tangan berirama sesuai arahan sang konduktor.
Musik Komunitas
BASO adalah orkestra berbasis komunitas di Kota Bandung. Ide membentuk komunitas musik orkestra BASO muncul secara spontan pada bulan Desember 2022. Didirikan oleh 4 orang anak muda yang bermain orkestra di suatu gereja, mereka adalah Nathan Budiman, Calvina Izumi, Timotius Willyanto, dan Gabriella Margareth. Berawal dari merekam untuk cover lagu “Jesus Bleibet Meine Freude BWV 147” karya Johann Sebastian Bach, mereka akhirnya menambah anggota dan berhasil menggelar konser pertamanya pada awal Februari 2024 di Institut Français Indonésie (IFI).
Arianna Eliasavitri, penulis asal Bandung, dalam laporan naratifnya yang tayang di BandungBergerak (Konser Bandung Symphony Orchestra, dari Bach hingga Barbie), menuturkan di awal-awal kelahirannya 4 orang kwartet BASO menyajikan musik untuk melayani gereja-gereja di Bandung.
“Mereka juga pernah tampil di Taman Hutan Raya Bandung dengan membawakan lagu-lagu tradisional. Seiring dengan waktu anggota yang bertambah tidak melulu 4 orang,” tulis Arianna.
Yang menjadi ciri khas BASO adalah para personelnya yang masih belia. Nathan Budiman, laman resmi menyebutkan ia menjabat sebagai Direktur Artistik BASO, selain konduktor. Nathan baru berusia 17 tahun, adalah salah satu pendiri Orkestra Simfoni Bandung bersama Timotius Williyanto, Calvina Izumi, dan Gabriella Margareth H. P.
“Didirikan oleh sekelompok musisi muda dengan tujuan memberikan ruang bagi para musisi untuk berkarya dan mengabdikan diri pada seni kami,” demikian keterangan laman resmi BASO.
Selain menjadi konduktor, Nathan juga memainkan biola di bawah bimbingan Fadliansyah. Ia juga merupakan pemain biola di Orkes Parahyangan di bawah arahan Fauzie Wiriadisastra. Kegiatan lainnya adalah mengarang dan mengaransemen musik. Karya-karya Nathan di antaranya, “Candaan Pagi #4” (berkolaborasi dengan Nerissa Eva Budiman dan Demas A. Darmawan) dan “Bandungburg Concerto” yang telah ditayangkan perdana oleh Parahyangan Orchestra.
Nerissa Eva Budiman sebagai salah satu anggota dari BASO menyebutkan, mayoritas anggota komunitas musik klasik ini merupakan orang muda. Anggota termuda grup orkestra ini berusia 15 tahun atau sekitar kelas 3 SMP. Meskipun begitu, mereka terbuka untuk berbagai kalangan usia yang ingin bergabung dengan grup orkestra ini.
Nerissa sendiri merupakan seorang solois biola berusia 15 tahun. Ia mulai tertarik pada dunia musik sejak umur 4 tahun saat mencoba les piano. Di umur 10 tahun ia mulai tertarik mendalami alat musik lainnya seperti gitar dan biola. Saat ini, ia aktif di BASO sebagai violinis dan menjadi Direktur Artistik pada gelaran konser BASO Juli lalu.
Menurut Nerissa, tujuan dari dibentuknya grup orkestra ini ialah ingin menyediakan wadah bagi musisi-musisi Bandung, terutama bagi generasi muda yang tertarik dengan musik orkestra. Sementara ada 3 misi yang mereka coba jalankan, yakni membangun kesukarelaan para musisi untuk ikut berpartisipasi secara aktif; menyelenggarakan kegiatan musik secara berkala untuk mengembangkan kemampuan musisi; dan menjadi komunitas untuk berbagi pengalaman dan belajar bersama secara terbuka tanpa biaya apa pun.
Mereka menggelar latihan setiap Jumat malam terutama saat menjelang konser. Sempat juga berkolaborasi dengan Radio Maestro FM yang menyediakan studio untuk latihan.
“Kita biasanya latihan setiap hari Jumat dan biasanya jamnya malam agar semua bisa menyesuaikan. Jadi malam setelah sekolah, malam setelah kuliah, malam setelah kerja,” kata Nerissa.
Nerissa masih merasakan kebanggaan atas keberhasilan konser pertama BASO berjudul “When Bach Meets Barbie, A Musical Evolution”. Konser perdana ini menggunakan beberapa alat musik gesek untuk membawakan lagu-lagu dari evolusi film Barbie. Sementara konser kedua berjudul “Cineclassics: Classics in the Movies” yang lebih kompleks karena menggunakan lebih banyak alat musik. Konser-konser BASO membawa penonton pada perjalanan sinematik melalui simfoni musik klasik.
Nerissa berharap, BASO dapat mencapai tingkat skill profesional meski mereka adalah orkes berbasis komunitas. Ia berharap bisa membawakan lebih banyak karya-karya komponis terkenal dan legendaris lainnya seperti Pyotr Ilyich Tchaikovsky, Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, Johann Sebastian Bach, bahkan Antonio Vivaldi.
“Semoga kita bisa tumbuh menjadi orkestra yang standarnya dan tingkatnya bisa mencapai profesional,” kata Nerissa.
Baca Juga: Agar Musik Klasik Indonesia tak Terpinggirkan
Blusukan Musik Klasik di Klassikhaus Recital Rama Widi dan Billy Aryo
Rahasia Kekuatan Skena Musik Indie Bandung Menaklukkan Industri Musik
Lingaran Musik Klasik Para Personel BASO
Laman resmi BASO juga mencatat profil singkat pentolan-pentolan komunitas musik klasik ini. Nerissa di awal pendirian komunitas masih berusia 14 tahun. Perempuan asal Bandung ini mempunyai cita-cita berkarya di dunia musik. Ia mulai belajar piano bersama Tania Chrisentia Wirapranata, dan mencapai Kelas 5 ABRSM dengan Distinction. Ia belajar biola bersama Laksmi Nirmala Saraswati pada usia 9 tahun, dan terus belajar bersama Fadliansyah hingga sekarang.
Nerissa menjuarai Audio Music Production di UniSadhuGuna Noble Scholar Competition 2022 bersama teman-temannya. Pada tahun 2023, ia bergabung dengan orkestra dari sekolah BPK Penabur yang beranggotakan 9 kota di Indonesia. Dia adalah salah satu pemain biola di Parahyangan Orchestra.
Nerissa membawakan komposisi perdana untuk Konser Kedua Parahyangan Orchestra, Kizuna, bertajuk "Candaan Pagi #4" (bekerja sama dengan Nathan Budiman dan Demas A. Dermawan). Pada tahun 2024, ia menjadi pemimpin konser orkestra untuk acara Paskah terbaru "Aku Telah Melihat Tuhan". Ia mengikuti Gala Concert Bandung Orchestra Festival Bandung Philharmonic dan mengikuti klinik orkestra dari Nachaphon Tiptan, Bob Stoel, dan Carmen Caballero.
Pentolan BASO lainnya, Veronica Emily Hadinata selaku Direktur Artistik, Concertmaster. “Bohemian Rhapsody” yang dimainkan oleh pemain biola Lucia Micarelli di konser Josh Groban menarik perhatian Emily untuk mempelajari biola. Pada usia 8 tahun, Emily mulai belajar biola di bawah bimbingan Brigitta Setyorini, kemudian dilanjutkan dengan Arya Pugala Kitti dan saat ini belajar di bawah bimbingan dari Giovani Biga.
Ada juga Kasih Karunia Indah selaku konduktor. Kasih, lahir pada 12 Oktober 2002, adalah seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan pada musik. Kasih belajar piano klasik dengan bimbingan Sari Badudu, dan konduktor & komposisi di bawah bimbingan Fauzie Wiriadisastra.
Kasih menempuh pendidikan S1 di bidang Seni Terpadu, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Konser When Bach Meets Barbie: A Musical Evolution adalah konser kedua yang dia lakukan sebagai konduktor. Sebelumnya, ia membawakan karyanya sendiri di konser kedua Parahyangan Orchestra, Kizuna.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Konser Musik Klasik