RISET UNPAR: Rahasia Kekuatan Skena Musik Indie Bandung Menaklukkan Industri Musik
Modal sosial yang dimiliki komunitas musik indie di Bandung menjadi rahasia suksesnya menaklukkan industri musik tanah air.
Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id20 Desember 2022
Riset BandungBergerak.id—Pada 2002, band asal Bandung Mocca menggebrak panggung musik Indonesia lewat album My Diary. Musik popnya yang unik dengan sentuhan flute menjadi angin segar di dunia musik tanah air. Di tengah dominasi label besar, Mocca berhasil menguasai pasar lewat jalur indie. Sebuah keberanian yang menginspirasi banyak musisi untuk meniti jalur yang sama. Namun tidak semua berhasil karena ada satu faktor penting penyokong keberhasilan musisi indie, yaitu modal sosial.
Album perdana Mocca diproduksi oleh Fast Forward, salah satu pionir label indie di Indonesia yang dibentuk oleh anak muda Bandung tahun 1999. Mocca berhasil menjual 150.000 kopi album perdana yang melambungkan lagu Secret Admirer dan Me and My Boyfriend. Dua lagu ini diputar di radio, televisi, juga panggung-panggung musik di tanah air dan mengantarkan. Kesuksesan Mocca membuat label indie semakin mendapat tempat di industri musik Indonesia. Pencapaian Mocca ini menandai puncak kejayaan skena musik indie Bandung.
Geliat skena musik indie Bandung dimulai jauh sebelum Mocca merilis album perdananya. Pada 1993, Studio Reverse memproduksi salah satu album indie pertama di Indonesia bersama PAS band yang berjudul 4 Through the Sap. Hasilnya mengejutkan! Dengan pola distribusi yang sangat sederhana, album itu terjual 4.700 kaset. Kesuksesan itu membuat label mayor menggaet PAS untuk merilis ulang albumnya.
Studio Reverse merupakan salah satu simpul penting dalam perkembangan skena musik indie Bandung. Anak-anak indie terbantu dengan yang menjual rilisan musik dan berbagai merchandise band luar negeri.
Melalui label 40.1.24, Studio Reverse juga menginisiasi album kompilasi yang berisi belasan band bernama “Masalaluindahsekalipisan”. Tidak hanya sukses dalam angka penjualan, album tersebut juga mampu mengorbitkan band-band yang terlibat di dalamnya untuk membangun popularitas, baik di dalam skena musik Bandung ataupun nasional. Usaha memproduksi karya musik secara independen pun menjadi tren yang menyebar ke berbagai daerah.
Peneliti Magister Ilmu Sosial Universitas Katolik Parahyangan Jeffri Yosep Simanjorang dan Gandhi Pawitan meneliti bagaimana modal sosial berperan dalam perkembangan skena musik indie Bandung pada rentang 1994-2004. Para peneliti ini mewawancarai 17 orang yang aktif dalam komunitas indie Bandung pada dekade itu.
Eksistensi skena musik juga turut berperan dalam predikat Kota Bandung sebagai jantung budaya populer di Indonesia sejak 1970-an. Penelitian tentang skena musik Bandung juga semakin banyak dilakukan dengan berbagai perspektif, seperti politik, agama, juga kajian gender. Akan tetapi, meski penelitian soal komunitas musik indie semakin bertambah, belum banyak yang mengaitkannya dengan modal sosial. Hal inilah yang menjadi fokus Jeffri dan Gandhi.
Modal sosial dalam perkembangan skena musik indie Bandung perlu diteliti mengingat pada awal perkembangannya, para pelaku musik tidak memiliki banyak pilihan wadah untuk berekspresi. Teknologi belum berkembang seperti sekarang. Tidak mudah untuk mendapatkan informasi perkembangan musik dunia. Produksi musik juga masih dikuasai oleh label mayor yang juga menguasai jalur distribusi. Itu yang membuat para musisi tak punya kebebasan dalam berkarya. Di tengah semua keterbatasan itu, komunitas musik indie Bandung pada era 1994- 2004 secara kolektif berhasil menemukan alternatif baru dalam bermusik. Mulai dari cara untuk mendengarkan hingga memproduksi musik. Berbagai terobosan pun bertahan hingga saat ini, di mana label indie merupakan salah satu aktor penting dalam industri musik secara umum. Semua itu bisa terwujud karena adanya modal sosial.
Baca Juga: RISET UNPAR: Membujuk Pengguna Angkutan Umum dengan Aplikasi ecoGlide
RISET UNPAR: Merumuskan Strategi Pemasaran Digital ala Konsultan Kreatif
RISET UNPAR: Rumus Tokcer Memasarkan Kreativitas Indonesia
RISET UNPAR: Agar Tidak Tabu Membicarakan Pengelolaan Keuangan
Jejaring komunitas
Lalu, apa itu modal sosial? Modal sosial merupakan bentuk modal yang bukan termasuk dalam modal ekonomi dan budaya. Modal sosial bisa berbentuk jaringan atau hubungan sosial yang terbentuk dalam sebuah komunitas. Jaringan itu yang membuat anggota komunitas bisa mengakses sumber daya untuk mengembangkan dirinya. Orang-orang dalam komunitas tersebut bisa saling percaya dan mampu bekerja sama dengan baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan, kepercayaan (trust), timbal balik (reciprocity), juga kerja sama (cooperation) yang tumbuh dalam komunitas musik indie Bandung tumbuh secara alami pada periode awal sekitar 1990-an.
“Terdapat beberapa kantung tempat berkumpulnya anak muda Bandung. Dunia musik adalah salah satu topik yang banyak didiskusikan oleh pemuda saat itu,” kata peneliti dalam laporan hasil penelitiannya yang diterbitkan di Sosioglobal, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi edisi Desember 2020.
Ketika itu, di Bandung terdapat komunitas skateboard di Taman Lalu Lintas yang diyakini menjadi cikal banyak talenta musisi Kota Bandung. Selain itu ada pula Kolektif Balai Kota yang biasa diikuti oleh 15-30 orang. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki dengan berlatar belakang pendidikan baik berusia akhir belasan sampai awal 20-an dengan semangat do-it-yourself. Ada pula kelompok yang berkumpul di belakang Bandung Indah Plaza, dikenal sebagai Punk Indonesia. Di Jalan Purnawarman, penikmat musik grunge biasa berkumpul seiring meledaknya musik asal Seattle tersebut di awal tahun 1990-an. Sementara di timur kota, terdapat komunitas underground yang banyak diisi oleh penikmat musik metal bernama Ujung Berung Homeless Crew.
Berbagai komunitas di Bandung itu bertemu di Gelora Olah Raga (GOR) Saparua. Setiap akhir pekan, mereka biasa berkumpul untuk menikmati konser. Musik yang ditampilkan berbeda dengan yang disajikan industri musik arus utama. Pertunjukan musik ini digelar secara kolektif, tidak ada sponsor yang jadi penyokong. Secara ekonomi, konser ini tidak menghasilkan cuan. Akan tetapi, konser ini berhasil menjadi pertunjukan musik yang bisa dinikmati banyak kalangan. Komunitas musik yang ada saling bekerja sama dan bertukar sumber daya.
“Pola tersebut akhirnya menjadi sebuah siklus, di mana GOR Saparua dan titik kumpul lainnya menjadi tempat beredarnya referensi musik, melahirkan musisi-musisi baru, juga menciptakan pecinta grup musik baru. Seiring berjalannya waktu, tidak jarang orang yang sebelumnya mengunjungi GOR Saparua untuk menonton konser musik, beberapa waktu kemudian menjadi musisi yang mempertontonkan hasil karya musiknya. Siklus ini pun semakin lama semakin memberikan kesempatan dan pengalaman yang lebih besar bagi orang-orang yang bergelut di dalam industri musik,” demikian peneliti Jeffri menyebut. Pada akhirnya, aktivitas berbagai komunitas musik indie Bandung berhasil membangun dan menghidupkan ekosistem musik.
Ekosistem musik terbangun inklusif. Genre musik yang beragam bisa tumbuh bersama. Tidak heran jika di tengah konser musik undergorund terdapat band bergenre pop turut tampil. Ini dialami oleh band pop Pure Saturday yang mentas di konser underground. Ikatan yang kuat atau bonding tidak hanya terbentuk di dalam komunitas tapi juga sesama pelaku musik. Musik berhasil menembus batasan sosial dan menghubungkan satu sama lain.
Produksi dan Distribusi Mandiri
Setelah berhasil membuat konser musik mandiri, muncul ide baru untuk membuat label sendiri yang kemudian disebut dengan label indie. Ide ini lahir karena para musisi mengalami penolakan dari label. “Ada yang bilang ga cocok dan yang lainnya, jadi daripada nggak dirilis kita itu nyari tau supaya bisa ngerilis, dan jadinya ngerilis sendiri aja,” kata Ale, informan penelitian yang merupakan pemain bas salah satu band legendaris Kota Bandung menceritakan pengalamannya merilis album perdana bandnya pada tahun 1996.
Label indie memberi nilai plus dibanding label mayor seperti fleksibilitas, warna musik, hingga kekerabatan, label indie menjadi kekuatan besar pada peta industri musik saat ini. Langkah ini kemudian diambil juga oleh musisi lainnya. Lahirlah beberapa album kompilasi hasil aksi kolektif para musisi. Dua di antaranya yang paling terkenal ialah “Masaindahbangetsekalipisan” rilisan Reverse Studio tahun 1997 dan “Brain Beverages” rilisan Harder Records pada tahun 1999. Album kompilasi ini merupakan strategi untuk memenuhi biaya produksi yang tidak murah ketika itu. Biaya rekaman setidaknya Rp 300.000 setiap shift. Bahkan untuk menekan biaya, rekaman dilakukan saat live atau semi track.
Modal sosial yang bisa membuat komunitas memproduksi musiknya. Dari jalinan pertemanan, musisi bisa mengakses sumber daya yang dimiliki oleh teman lain. Secara teori, inilah yang disebut dengan bridging antar musisi.
Tidak hanya sampai memproduksi karyanya sendiri, komunitas indie juga membangun jaringan distribusinya sendiri. Distro atau distribution outlet dirancang sebagai penyambung antara musisi dan penikmatnya. Penggemar musik bisa datang ke distro untuk mendapat informasi, rilisan musik, juga membeli merchandise musisi kesayangan mereka.
“Sebetulnya sih kalo menurut saya munculnya distro itu karena impact dari event-event itu, karena awal munculnya distro itu karena ada event-event musik, ada komunitas-komunitas band, kaya skateboard, BMX, terus karena pedagang yang seneng sama musik juga. Kan awalnya itu ada 2 distro, yang satunya lagi itu Unkl347. Cuman bedanya kalo Unkl347 itu kan lebih ke clothing ya. Dan itu tuh sempet ada gunanya sebagai tempat penjualan tiket event-event, itu tuh tiket dititipin di distro untuk dijual di sana. Dulu itu saya bikin si-Harder selain dibuat sebagai information centre lah ya, bisa jadi juga jadi tempat nongkrong anak-anak, bisa dibilang juga tempat buat anak-anak berinteraksi,” kata Wan, seorang informan yang aktif terlibat di komunitas indie Bandung. Beberapa distro masih eksis sampai sekarang dan menjadi salah satu tempat nongkrong anak muda Kota Bandung.
Penelitian Jeffri dan Gandhi ini menyimpulkan, skena musik indie Bandung memiliki modal sosial yang kuat dan disokong oleh intensitas pertemuan dan bonding antar individu. Hal itu mampu menembus dinding keterbatasan infrastruktur musik dan menjadi kekuatan untuk berinovasi. “Modal sosial tersebut pada akhirnya mampu menjelma menjadi sesuatu yang memungkinkan terjadinya inovasi,” demikian kesimpulan peneliti.
Modal sosial ini yang membuat komunitas musik Bandung istimewa. Pelaku musik hadir di banyak kota di Indonesia, tapi tak semua mampu menghidupkan komunitasnya. Modal sosial inilah terbukti menjadi pembeda.
*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung