• Riset
  • RISET UNPAR: Rumus Tokcer Memasarkan Kreativitas Indonesia

RISET UNPAR: Rumus Tokcer Memasarkan Kreativitas Indonesia

Produk kreatif memerlukan kreativitas. Namun kreativitas melahirkan paradoks. Mengelolanya adalah kunci.

Penyandang disabilitas netra mendengarkan penjelasan teman bisik saat Nonton Film bersama Bioskop Harewos di Museum Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung,30 Maret 2022. Acara ini bertujuan untuk memberikan sensasi menonton bioskop bagi penyandang diabilitas netra sekaligus menandai peringatan Hari Film Nasional 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id5 Desember 2022


Riset BandungBergerak.id—Riset yang dilakukan Dr. Elvy Maria Manurung dari Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan dan Prof. Dr. Daniel Daud Kameo dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), bisa jadi telah menemukan rumus tokcer meramu produk kreatif yang sekaligus mampu menembus pasar. Rumus tersebut ditemukannya dalam industri film Indonesia.

Elvy & Daniel menghabiskan tiga tahun (2015-2017) untuk menuntaskan penelitian yang hasilnya terbit dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis pada April 2021 dengan judul “Creativity and Its Paradoxes: How the Indonesia Movie Industry Can Survive.” Riset tersebut mengeksplorasi industri film Indonesia untuk mencari benang merah antara film dengan kualitas jempolan yang sekaligus sukses meraup penonton lewat sudut pandang paradoks dan manajemen kreativitas.

Elvy dan Daniel sengaja meneliti industri film. Sebagai produk budaya,film bisa memberi dampak yang luas. Trilogi film Lord of The Ring misalnya yang tak hanya sukses meraup keuntungan materi tapi juga banyak memberi dampak banyak pada negara Selandia Baru tempat lokasi syuting film tersebut. Proses produksi film tersebut membuat indeks inovasi industri film kreatif Selandia Baru meloncat dari peringkat rendah menjadi peringat teratas di antara negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Di Indonesia situasinya seperti jalan di tempat. Memang industri film berkembang pesat pasca reformasi. Dari hanya hitungan jari saja pada tahun 1999, melonjak menjadi lebih dari 120 film yang diproduksi selama setahun pada 2015. Genre film yang dihasilkan pun beragam. Ironisnya, film berkualitas gagal di pasaran.

Film Indonesia dengan kualitas sinematografi jempolan yang meraih penghargaan di manca negara yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari; justru penjualan tiketnya jeblok. Bagi Elvy & Daniel situasi tersebut menjadi indikasi film Indonesia mengalami ketegangan khas antara kreativitas dan komersialitas.

Baca Juga: RISET UNPAR: Agar Tidak Tabu Membicarakan Pengelolaan Keuangan
RISET UNPAR: Populisme Pragmatis pada Politik Indonesia dalam Rivalitas Jokowi-Prabowo
RISET UNPAR: Bahaya Penyalahgunaan Praperadilan
RISET UNPAR: Menyiapkan UMKM Menghadang Resesi

Wacana Film Indonesia

Elvy & Daniel menjadikan Film Siti sebagai fokus penelitiannya. Film Siti meraih penghargaan film terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2015. Film itu juga meraih penghargaan di manca negara. Misalnya penghargaan Arte Award di Busan Film Festival, serta masuk dalam nominasi festival Telluride di Amerika Serikat. Namun, Film Siti gagal di pasar domestik.

Film Siti adalah film independen karya sutradara Ifa Isfansya pada tahun 2014.  Film bergenre kehidupan sehari-hari (slice of life) tersebut bercerita tentang seorang wanita yang terpinggirkan bernama Siti yang berusaha menyelamatkan kehidupan keluarganya.

Dalam satu kesempatan wawancara dengan sutradara film tersebut, Elvy & Daniel mengetahui bahwa film Siti diproduksi dengan anggaran rendah. Pengambilan gambar film tersebut sengaja hitam-putih.

Elvy & Daniel menggunakan metode grounded reaserch dalam penelitiannya. Metodologi yang pertama kali digagas oleh Glaser dan Strauss (Khan, 2014; Noble & Mitchell, 2016) yang biasanya dipergunakan sosiolog. Dalam perkembangannya metodologi ini dipergunakan berbagai ilmu sosial lainnya seperti ilmu politik, kesehatan masyarakat, perencanaan kota, bahkan bisnis dan administrasi.

“Secara umum, grounded sebagai metode yang bertujuan untuk mengkonstruksi atau menemukan teori dari data yang diperoleh secara sistematis dari penelitian sosial,” tulis Elvy & Daniel (2021).

Dalam prosesnya, Elvy & Daniel juga menggunakan analisis wacana (discourse analysis). Fim Siti dipergunakan sebagai wacana/discourse dalam meneliti tegangan-tegangan yang terjadi antara kreativitas dan komersialitas dalam industry film Indonesia.

Elvy & Daniel mengerjakan penelitian selama tiga tahun dengan menganalisa 1.468 film Indonesia, melakukan wawancara pada 253 penonton film di 8 kota, dan menemui serta melakukan wawancara terhadap 20 pembuat film (produser, penulis naskah, sutradara, serta art desginer), dua pengelola bioskop (XXI dan CGV), serta perwakilan pemerintah. Kedua peneliti tersebut juga melakukan focus group discussion dengan dua pakar budaya dan film, dan selanjutnya mewawancarai ulang beberapa narasumber terkait untuk melakukan validitas triangulasi.

Wawancara juga dilakukan terhadap para penonton film mengenai film Siti, film Indonesia yang lain,dan film asing. Pertanyaan seputar proses kreatif dalam produksi film diajukan kepada para pekerja seni dan movie-maker untuk mengurai proses kreatif dan mendapatkan gambaran/makna yang lebih utuh dalam industry kreatif perfilman. Sementara kepada pengelola bioskop ditanyakan dan digali tentang persepsi mereka atas film Indonesia yang memenangkan penghargaan festival film tingkat nasional hingga internasional, serta aturan dan kebijakan yang mereka lakukan atas pemutaran film-film Indonesia di bioskop.

Paradoks Kreativitas pada Film Indonesia

Di tengah proses penelitian tersebut Elvy & Daniel menemukan kesesuaian dengan konsep paradoks dan manajemen kreativitas. “Penelitian ini memang sangat luas karena menggunakan grounded research sebagai metode penelitian. Tidak ada hipotesis awal atau beberapa teori yang dipilih sebagai kerangka teoritis. Konsep paradoks kreativitas muncul setelah mewawancarai para pembuat film, demikian juga hal tentang bagaimana mengelolanya” tulisnya.

Elvy & Daniel menggambarkan situasi paradoks kreativitas seperti seorang manajer yang dihadapkan pada tantangan untuk merangsang inovasi dalam organisasi. Beberapa memilih memberikan kebebasan tak terbatas pada organisasi yang malah berujung kekacauan, bukan kinerja luar biasa. Yang lain mencoba merangsang kreativitas karyawan melalui program dan kegiatan yang telah ditentukan sebelumnya dan bisa juga memberikan hasil yang luar biasa.

“Menciptakan ide atau inisiatif baru dan berguna mengharuskan para pemimpin untuk terus-menerus mendefinisikan kembali kebutuhan organisasi mereka, memodifikasinya, dan menyesuaikan perilaku karyawan mereka. Situasi paradoks ini tidak akan pernah hilang, dan inilah inti dari proses inovasi. Oleh karena itu, paradoks hanya dapat dikelola tetapi tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik. Memahami paradoks dan penyebabnya mungkin membantu tetapi tidak membuatnya mudah untuk ditangani,” tulis Elvy & Daniel.

Situasi paradoks kreativitas menjadi keseharian yang dihadapi pegiat film dalam proses produksi karyanya. Pembuat film harus mengenal situasi paradoks dalam mengelola kreativitasnya saat menggarap sinematografi dan story telling  dalam proses bisnis produksi film seperti pengenalan konsumen, strategi dan inovasi pemasaran, perilaku dan strategi pembiayaan.

Film Siti sebagai discourse merepresentasikan dilema kreativitas. Sineas yang memperkenalkan ide kreatif yang baru dan segar lewat karyanya tersebut harus berhadapan dengan situasi industri perfilman yang  justru tidak mendukung perfilman dari segi penonton maupun regulasi  pembuatan film. Pengelola bioskop misalnya bisa menghentikan penayangan satu film bila dalam tiga hari pertama gagal mencapai target minimal penonton.

Kreativitas dan Pasar

Dengan para pegiat film, Elvy & Daniel mendiskusikan 20 film Indonesia. Diantaranya dengan Sheila Timothy, Joko Anwar, Chand Parwez, Ifa Ifansyah, Garin Nugroho, Atid Sammaria, Key Simangunsong, dan Motulz. Film yang dipilih tersebut berasal dari beragam genre dengan jumlah penonton mulai dari 9 ribu orang hingga yang ditonton sampai 1,7 juta orang.

Pertanyaan yang diajukan menggunakan teori kreativitas dan inovasi Drucker dalam kerwirausahaan untuk mengurai proses kreativitas dalam produksi film. Diantaranya mengenai unsur kebaruan, orisinalitas, hingga makna film.

Hasilnya menjadi bahan diskusi kembali dengan beberapa pembuat film ternama seperti Riri Riza, Slamet Raharjo, Chand Parwez, Key Mangunsong, Motulz, Ifa Ifansyah, Sheila Timothy, Joko Anwar, Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen, dan Garin Nugroho. Diskusi yang sama juga dilakukan bersama perwakilan pemilik dan pengelola bioskop di Jakarta, Ibu Catherine Keng dari XXI dan Ibu Dian Soenardi dari CGV.

Elvy & Daniel kemudian memetakan seluruh hasil diskusi tersebut menjadi diagram yang membagi 20 film pilihan tersebut dalam empat kuadran. Sumbu X (horizontal) mewakili tingkat komersialitas atau daya jual film tersebut, dan sumbu Y (vertikal) mewakili tingkat kreativitas film. Angka mewakili judul film tersebut.

 

Grafis Hubungan Kreativitas dan Komersialitas (Manurung, 2016).
Grafis Hubungan Kreativitas dan Komersialitas (Manurung, 2016).

Keterangan:

1) Puisi Tak Terkuburkan/Garin Nugroho/ --  penonton, 2) Petualangan Sherina/Mira Lesmana/1,400,000 penonton, 3) Denias: Senandung di Atas Awan/Nia Zulkarnaen/200,000 penonton, 4) Jelangkung/Jose Purnomo/1,300,000, 5) Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan/Hanny R, Saputra, Chand Parwez Servia, and others/1,100,000 penonton, 6) Tabula Rasa/Sheila Timothy/27,829 penonton, 7) Get Married/Chand Parwez S/1,389,454 penonton, 8) Si Jago Merah/Chand Parwez S/44,684 penonton, 9) Kuntilanak 2/Raam Punjabi, Rizal Mantovani/1,200,000 penonton, 10) Bulan Terbelah di Langit Amerika/Rizal Mantovani/838,383 penonton, 11) Sang Pemimpi/Mira Lesmana/1,742,242 penonton , 12) Penghuni Lain/Roman Malik/16,045 penonton, 13) Sokola Rimba/Mira Lesmana, Riri Riza/39,443 penonton, 14) Lima Elang/Salman Aristo, Rudy Soejarwo/121,764 penonton, 15) Siti/Ifa Isfansyah/9,030 penonton, 16) Miracles: Jatuh dari Surga/Ichwan Persada/8,207 penonton, 17) The Raid/Ario Sagantoro, Gareth Evans/759,895 penonton, 18 Habibie dan Ainun/Damoo Punjabi dan Manoj Punjabi, Faozan Rizal/4,488,889 penonton, 19) 5 cm/Sunil dan Ram Soraya, Rizal M/2,392,210 penonton, 20) Aach... Aku Jatuh Cinta/Raam Punjabi, Garin Nugroho/ 20,757 penonton.

Kuadran 1 (K1) dianggap film yang sangat kreatif tapi menarik sedikit penonton. Penonton beranggapan film tersebut tidak menarik selera mereka dengan alasan yang bervariasi. Film dinilai sulit ditafsirkan, ceritanya terlalu aneh, lebih suka film ringan, tidak ada aktor/aktris terkenal.

Kuadaran 2 (K2) film dinilai cukup bagus dan kreatif sekaligus dapat diterima pasar. Dari diskusi terungkap film memenuhi beberapa kriteria kreativitas yakni memiliki gagasan kebaruan/kebajikan, menawarkan orisinalitas, memberikan nilai dan makna yang bermanfaat bagi penonton.

Kuadran 3 (K3) film dinilai kurang kreatif dan tidak bisa menembus pasar. Meskipun menggunakan aktor/aktris terkenal film tersebut Film dinilai kurang memuaskan, dan ide ceritanya tidak berkembang. Khusus film horor Penghuni Lain dinilai kurang menarik dan biasa saja, penonton menyebutkan tidak ada aktor terkenal di film itu.

Kuadran 4 (K4) Film dinilai sedang (kurang kreatif) namun berhasil merambah pasar. Meskipun kurang kreatif, penonton menilai film Virgin menarik, dan model terkenal yang membintangi film itu dinilai berhasil memainkan peran masing-masing. Aktrisnya memenangkan nominasi sebagai aktris terbaik di Festival Film Bandung dan Festival Film Indonesia.

Mengelola Kreativitas di Industri Film

Elvy & Daniel mencatat beberapa hal dalam penelitiannya. Diantaranya pegiat film menyepakati industri film memerlukan strategi pemasaran yang lebih inovatif agar bisa bersaing dengan film asing.

Sheila Timothy percaya ide baru dengan penelitian dan pendanaan yang memadai menjadi syarat menghasilkan film Indonesia yang baik. Pendapatnya ditegaskan Joko Anwar, Riri Riza, Garin Nugroho, dan Chand Parwez. Lalu Ifa Ifansyah menyebutkan keterbatasan anggaran jangan menyurutkan semangat menghasilkan karya kreatif. Chand Parwez menekankan pentingnya mempekerjakan aktor/aktris terkenal untuk menarik penonton.

Joko Anwar, Riri Riza, dan Ifa Ifansyah sepakat bahwa mendongeng (story telling) yang menarik itu penting dalam industry kreatif. Sheila Timothy saat memproduksi Wiro Sableng pada tahun 2017 mencatat bahwa sinematografi berkualitas tinggi menjadi faktor yang semakin penting untuk menghasilkan film yang bagus. Motulz dan Key Mangunsong (masing-masing adalah desainer seni dan sutradara film) menegaskan pendapatnya.

Elvy & Daniel menemukan kondisi yang tidak ideal ketika pembuat film tidak dapat mengelola paradoks kreativitas dengan baik (K1, K3, dan K4). Film dalam kelompok K1 contoh film yang dianggap sangat kreatif tapi gagal menarik penonton yang cukup besar. Film K3 dinilai kurang kreatif dan gagal menembus pasar. Lalu pada film K4 mendapat dinilai sedang (tidak cukup kreatif) tapi mampu menembus pasar.

Elvy & Daniel mendapat kondisi tidak ideal yang dihadapi sejumlah film yang mendapat banyak penghargaan prestisius tapi minim apresiasi penonton (Opera Jakarta /Garin Nugroho, Siti/Ifa Ifansyah, Modus Anomali/Sheila Timothy , Denias: Senandung di Atas Awan/Alenia Production) berasal dari faktor kurangnya literasi dari penonton lokal. Penonton film kita terkesan/lebih suka film ringan dan terkesan “membodohi”. Pengelola bioskop XXI dan CGI membenarkannya. Film Indonesia terkadang terlalu segmented, hanya memenuhi ceruk pasar tertentu.

Elvy & Daniel sependapat dengan Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Dalam satu pertemuan perfilman di Jakarta pada November 2015, Triawan menyatakan sineas Indonesia membutuhkan strategi pemasaran yang inovatif.  Sayangnya Bekraf tidak memiliki strategi untuk membantu saat itu. Kondisi tersebut menunjukkan industri film di Indonesia masih membutuhkan sokongan pemerintah untuk menembus pasar domestik.

Lewat analisis terhadap 20 film Indonesia pasca reformasi tersebut, Elvy & Daniel membuat rumus sederhana agar sineas Indonesia bisa menghasilkan karya kreatif dan berkualitas, juga sukses di pasar dengan strategi yang tepat. Kuncinya pada pengelolaan paradoks kreativitas.

Ada enam faktor kunci yang harus menjadi perhatian. Yakni (i) ide alur cerita baru, (ii) penceritaan atau naskah yang menarik, (iii) penelitian lapangan yang memadai, (iv) sinematografi berkualitas tinggi, (v) strategi pemasaran yang inovatif, dan (vi) aktor dan aktris terkenal. Peran pemerintah Indonesia tetap penting dan diprlukan untuk mendukung industri perfilman Indonesia, khususnya kebijakan yang berpihak pada pemasaran film Indonesia di pasar domestik.

“Memproduksi film tak selalu spekulatif. Pembuat film yang mampu mengelola paradoks kreativitasnya dengan baik, kemungkinan besar akan efektif, berhasil membuat filmnya diterima pasar,” tulis Elvy & Daniel.

*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//