• Narasi
  • Blusukan Musik Klasik di Klassikhaus Recital Rama Widi dan Billy Aryo

Blusukan Musik Klasik di Klassikhaus Recital Rama Widi dan Billy Aryo

Rama Widi sebagai harpis adalah salah satu seniman dari lingkungan akademis. Celis eksentrik Billy Aryo berangkat dari pengalaman musik secara mandiri.

Sophan Adjie

Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Katolik Parahyangan, anggota Pusat Studi Pancasila (PSP) Unpar

Konser musik klasik antara cellis Billy Aryo, dan harpis, Rama Widi, di Café Tujuhari, Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu (17/7/2022). Duet ini menghadirkan beberapa judul musik klasik barat. (Foto: Muhammaddzia)*

20 Juli 2022


BandungBergerak.id - Sebuah kolaborasi cellis (pemain cello), Billy Aryo, dan harpis, Rama Widi, menjadi sajian menarik di Café Tujuhari, Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu (17/7/2022). Konser musik klasik ini membawakan empat solo harpa dari total dua belas karya yang disajikan, di antaranya Andrea Bocelli (Come un Fiume Tu), Marcel Tournier (Promenade a l'automne), Bach Gounod (Ave Maria), Jules Massenet (Meditation).

Tempat pertunjukannya bukan sebuah audiotorium yang memang dikhususkan untuk pagelaran musik klasik. Melainkan, sebuah ruang publik yang mempertemukan apreasiator kopi dan (mungkin) aparatur seni musik. Hadir juga sebagai apresiator dalam pertunjukan yang diprakarsai oleh Klassikhaus yang didirikan oleh Windy Setiadi dan Hazim Suhadi, bekerja sama dengan Café Tujuhari. Addie MS conductor Twilight Orchestra beserta beberapa personilnya juga nampak hadir pada pertunjukkan inklusif itu.

Rama Widi sebagai harpis adalah salah satu seniman dari lingkungan akademis. Ia belajar di Vienna, Italia serta mengambil studi setara magister jurusan musik pedagogik. Pengalamannya menempuh studi musik memberikan sentuhan cendekiawan musik yang kekhasannya hanya dimiliki oleh seorang Rama Widi.

Di lain pihak, cellis eksentrik Billy Aryo berangkat dari pengalaman musik secara mandiri. Ia berlatih musik di bawah rindang pohon dan hijaunya rerumputan Taman Suropati. Ia memutuskan meninggalkan panggilan ruhani dan studi formalnya di jurusan filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarra, Jakarta. Lalu, masuk ke sekolah musik merdeka di Taman Suropati, Jakarta Selatan. Gurunya Billy Aryo adalah realitas kehidupan itu sendiri dan guru besarnya adalah motivasi.

Saat Billy dan Rama dipersatukan melalui konser musik, ada suatu pengalaman menarik untuk disingkap. Gejolak estetik saya sebagai apreasiator yang ada dalam pertunjukan itu berdeburan seperti ombak Pantai Pandawa, Bali. Kegelisahan perasaan dan pikiran akibat menonton pertunjukan duet cellis dan harpis, Billy dan Rama, yang tidak biasa. Setidaknya sakedar memberikan perspektif lain dan memunculkan diskusi selanjutnya demi keberlanjutan proses berkesenian Billy-Rama dan rakyat semesta.

Gaya Blusukan Rama Widi dengan Harpa

Blusukan menjadi populer ketika Joko Widodo, mantan gubernur DKI yang kemudian menjadi presiden RI, ingin mengenal masyarakat lebih dekat. Perilaku blusukan adalah peristiwa ‘turun’ melihat langsung realitas. Laku ‘turun’ ini dilakukan oleh orang yang di atas, berperan sebagai pejabat atau pemimpin, bahkan bangsawan.  

Jauh sebelumnya, di awal abad ke-20, HOS Tjokroaminoto melakukan blusukan sebagai sosialisasi gerakan Sarekat Dagang Islam. Alhasil jumlah anggota bertambah hampir satu setengah juta pengikut, dampak dari blusukan. Keberanian HOS Tjokroaminoto untuk ‘turun’ ke relung terkecil masyarakat mungkin tidak penah ‘disentuh’ oleh penguasa Hindia Belanda saat itu. Blusukan telah mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat yang semula berbicara di belakang, menjadi berani bicara dan bertindak di depan, progresif memperjuangkan hak-hak sipilnya.

Rama Widi pada pertunjukan bersama Klassikhaus melakukan peristiwa ‘turun’ yang disaksikan oleh rakyat yang hadir di café Tujuhari. Ia melihat langsung dari dekat reaksi rakyat, mendengarkan keluh kesahnya. Ia hadir untuk berinteraksi dengan rakyat yang plural.

Rama Widi berorasi melalui kumpulan nada yang menyembur dari harpa. Ia bahkan meluruskan kesalahkaprahan paradigma masyarakat terhadap musik harpa sebagai musiknya perempuan. Padahal, harpa dalam sejarahnya merupakan musik maskulin. Rakyat di café Tujuhari manggung-manggut dengan mata bersinar tercerahkan oleh kemaskulinan harpa. Teknik musik pun diperkenalkan dengan menunjukkan kombinasi permainan pedal-pedal harpa yang selama ini jarang orang lihat. Rakyat diperlihatkan teknik injakan pedal harpa yang membantu harpis menyesuaikan nada yang diinginkan. Sesekali juga sang harpis melakukan strumming seperti gitaris memainkan rhythm.

Billy Sang Egaliter

Karya-karya yang dibawakan mungkin asing di antara sebagian besar apresiator saat itu, namun kehangatan pertunjukannya mendekatkan keteasingan persepsi rakyat tentang musik klasik. Rakyat awam menjadi rukun dengan musik klasik, bercanda melalui encore iringan spontan sendok garpu Billy dan clap hand yang diiringi harpa.

Keberhasilan menampilan pertunjukan yang guyub tak lepas juga dari upaya dan kerja keras Billy Aryo untuk mencairkan kekakuan antara musik klasik barat dan inferioritas rakyat semesta terhadap musik yang dianggap ningrat.  Dengan gaya dan penampilan dari Billy Aryo yang radikaldari akar rumput, ia melengkapi motif konser duet harpa dan celo untuk berorasi di tengah-tengah rakyat. Musik klasik barat dibutuhkan sebagai gizi kualitas impor.  

Billy agak gemetar saat memainkan lagu pertama Ave Maria (Bach Gounod), karena memang belum makan seharian. Ia mewakili problem klasik sebagian rakyat yang sampai hari ini belum ada solusi, yaitu terlambat makan, karena sibuk bekerja demi target setoran harian. Tangan kanannya bergemetaran, ia berusaha untuk tenang dan berharap segera berlalu dari konser itu. Hatinya menguatkan pikirannya sendiri bahwa cinta pada musiklah yang akan membuatnya tegar dan mampu menyelesaikan pertunjukan yang mulia itu. Apa daya, di tengah-tengah permainan, Billy terjatuh. Ada nada yang tergelincir. Bagi saya, itu bukan keterjatuhan ataupun kesalahan. Tetapi, pengorbanan atas kecintaan pada musik. Ia rela menderita demi yang dikasihinya, musik.

Antony Brich seorang cendekiawan Inggris, penulis buku Nationalism and National Integration mengatakan bahwa nasioanalisme adalah kesetiaan pada negara merupakan cikal bakal nasionalisme dan patriotisme. Billy, sang celis, menunjukkan kesetiaannya kepada musik sebagai ‘negara’. Ketika ia jatuh beberapa kali dalam pertunjukkan blusukan musik klasik, ia telah menjadi pahlawan bagi pertunjukan Klassikhaus.

Itu sebabnya, saat selesai pertunjukan, Billy merasa puas, nikmat karena sudah melewati medan perang dan menang meski berdarah-darah. Di akhir pertunjukan Rama Widi, sang pijakan, menggenggam tangannya, menghormat kepada rakyat yang menonton. Bukankah itu heorik?

Cuplikan Wawancara

Setelah konser saya sempatkan melakukan wawancara kepada Rama Widi demi mengonfirmasi aktivitas blusukan musiknya dan juga Billy Aryo (yang saya sebut) ‘Si Pendekar Cello’. Berikut cuplikannya,

Saya       : Rama, apa pertimbangan duet dengan cellis?

Rama     : Celo itu deep buat saya, sementara harpa itu cantik. Pertemuan keduanya menjadi sebuah keseimbangan suara.

Saya       : Kenapa dipilihnya Billy?

Rama     : Saya itu membutuhkan patner dan Billy pantas jadi patner karena teman yang baik. Bermusik dengan sahabat lebih mudah chemistry-nya. Semacam menikah, menikahlah dengan sahabat. Billy itu meminta saya untuk berlatih dan saya terima ajakan berlatih itu. Saya juga bilang kalau saya (harpa) nanti jadi pijakannya dan Billy jadi melodi. Saya akan jadi pijakan yang solid.

Saya       : Ada pesan apa yang mau disampaikan dari konser duet itu?

Rama     : Untuk siapa neh? Musisi klasik muda atau awam?

Saya       : Dua-duanya aja deh.

Rama     : Untuk musisi klasik muda jangan pernah puas karena di atas awan ada awan. Hal ini sering saya bilang juga ke murid-murid. Musik klasik adalah musik minoritas maka perlu saling support, bukan mengotak-kotakan agar musik klasik maju. Terus untuk awam, menonton musik klasik gak harus mengerti. Datanglah ke recital, konser-konser musik klasik untuk menikmati musiknya, bukan untuk mengerti musiknya.

Saya       : Bil, gimana setelah pagelaran ada perasaan apa?

Billy        : Underpressure banget. Ini konser one way trip and no turning back.

Saya       : Tadi diawal-awal ada kendala. Kenapa?

Billy        : Belum makan dari kemarin. Pagi sama siang ngopi doang. Pas trouble mencoba untuk mengalir saja. [Sayup-sayup, terdengar Billy memesan rokok].

Rama Widi dan Billy Aryo ditunggu blusukan selanjutnya. Mungkin suatu saat nanti Rama dan Billy akan hadir dan bertemu dengan seniman tari, penyair, dramawan dari Bandung, supaya musik klasik barat semakin inklusif dan ramah bagi semua orang. Mengadaptasi pesan Rama Widi, tidak perlu mengerti musik, tapi menikmati musik bersama-sama bisa menjadi pilihan mempersatukan rakyat dari berbagai kelompok, demi Indonesia jaya dan mulia, demi Pancasila.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//