• Berita
  • Indeks Kebebasan Pers Indonesia Merosot di Era Kecerdasan Buatan, Jurnalis Menghadapi Kekerasan Fisik, Digital, dan Finansial

Indeks Kebebasan Pers Indonesia Merosot di Era Kecerdasan Buatan, Jurnalis Menghadapi Kekerasan Fisik, Digital, dan Finansial

Tahun 2025 menjadi tonggak suram dengan menurunnya posisi Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia. Pilar demokrasi semakin rapuh.

Ilustrasi. Jalan panjang memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia, 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Ryan D.Afriliyana 9 Mei 2025


BandungBergerak.idSejak runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya era reformasi 1998, Indonesia sempat menjadi contoh bagi negara-negara di Asia Tenggara dalam membangun media independen. Setelah lebih dari dua decade reformasi, harapan terhadap kebebasan pers kian memudar. Bahkan tahun 2025 menjadi tonggak suram dengan menurunnya posisi Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dirilis Reporters Sans Frontières (RSF), dari peringkat 111 pada 2024 menjadi 127 dari 180 negara.

Penurunan indeks kebebasan pers Indonesia bukan hanya angka, tapi refleksi ironis yang bertepatan dengan momen peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) 3 Mei 2025 lalu. Represi aparatur negara turut mendongkel merosotnya indeks ini.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyerukan pentingnya mempertahankan ruang bagi jurnalisme yang bebas dari represi. Kebebasan pers bukan sekadar slogan, tetapi prasyarat utama untuk menjaga demokrasi tetap hidup.

“Hari Kebebasan Pers Dunia bukan sekadar peringatan, namun seruan untuk memperkuat solidaritas, bersatu untuk melawan represi, menciptakan jurnalisme yang bermutu, dan terus berpihak pada kepentingan publik,” ujar Ketua AJI Indonesia Nany Afrida, dalam keterangan resmi tentang WPFD.

Laporan RSF 2025 mengungkap realitas mengejutkan: lebih dari enam dari sepuluh negara yang dinilai mengalami penurunan skor kebebasan pers. Untuk pertama kalinya, sebagian besar negara tergolong berada dalam kategori "sulit" atau "sangat serius" dalam hal kebebasan jurnalisme. Skor rata-rata global bahkan merosot di bawah 55 poin.

Khusus di Indonesia, kondisi ini tidak lepas dari dua tekanan utama: kekerasan terhadap jurnalis dan ketidakstabilan ekonomi media. Studi AJI yang dirilis pada Maret 2025 menunjukkan bahwa 75,1 persen jurnalis di tanah air pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Dalam kurun waktu hingga 3 Mei 2025 saja, tercatat sudah 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus-kasus tersebut tidak hanya dilakukan oleh aparat negara, tetapi juga oleh aktor-aktor politik dan ekonomi yang ingin membungkam suara-suara kritis.

“Serangan terhadap kebebasan pers terus meningkat. Yang terakhir, bahkan saat meliput aksi Hari Buruh 1 Mei kemarin, sejumlah jurnalis di beberapa daerah yang tengah melaksanakan tugas jurnalistiknya juga mengalami serangan,” terang Nany.

Namun, bahaya terhadap kebebasan pers tidak hanya datang dari tindakan represif di lapangan. Tekanan ekonomi yang dialami industri media saat ini merupakan ancaman yang lebih senyap namun tak kalah mematikan.

RSF melaporkan, indikator ekonomi menjadi salah satu penyebab utama penurunan indeks global tahun ini. Sebanyak 160 dari 180 negara tercatat mengalami kesulitan atau bahkan ketidakmampuan dalam menjaga stabilitas finansial media mereka.

Konsentrasi kepemilikan, ketergantungan terhadap pengiklan, minimnya transparansi, bantuan publik, serta ketiadaan model bisnis yang berkelanjutan telah mendorong media ke jurang ketidakpastian. Media berita terjebak antara mempertahankan independensi editorial dan memastikan kelangsungan ekonomi mereka.

Pemimpin Redaksi RSF Anne Bocandé mengatakan, jika media berita terkendala secara finansial, maka mereka akan terjerumus dalam persaingan untuk menarik khalayak dengan mengorbankan pelaporan yang berkualitas. Bahkan media bisa menjadi mangsa para oligarki dan otoritas publik yang ingin memanfaatkan mereka.

“Menjamin kebebasan, independensi, dan pluralitas dalam lanskap media saat ini membutuhkan kondisi keuangan yang stabil dan transparan,” jelas Anne.

Baca Juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers

Kecerdasan Buatan, Peluang atau Jebakan?

Dalam situasi ini, teknologi kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai paradoks: di satu sisi menjadi alat bantu jurnalis dalam memproduksi berita, di sisi lain menimbulkan tantangan baru. AJI Indonesia mencatat, kehadiran AI dalam industri media adalah keniscayaan, namun tetap harus ditanggapi secara kritis.

Menurut AJI, teknologi ini memang mampu mempercepat proses kerja redaksional—dari transkripsi, penerjemahan, hingga penyuntingan. Tetapi, AI tidak dapat menggantikan intuisi, konteks, dan nilai-nilai etika yang melekat pada jurnalisme manusia.

Adi Maersiela dari Bidang Internet AJI Indonesia mengingatkan, AI bukan solusi jika diperlakukan sebagai pengganti jurnalis. Perusahaan media sebaiknya memprioritaskan peran jurnalis meski ada teknologi AI.

“Teknologi tetap tidak bisa menggantikan peran jurnalis yang memahami konteks dan dapat melakukan verifikasi dan konfirmasi yang belum bisa digantikan mesin atau algoritma,” ujarnya. 

AI juga berpotensi menjadi alat pengawasan terhadap jurnalis, terutama bila jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan semangat kebebasan berekspresi. Kemampuan AI dalam memantau aktivitas daring dapat membahayakan keselamatan dan independensi jurnalis.

Di tengah krisis ekonomi media dan kecanggihan teknologi, kualitas informasi yang diterima publik menjadi taruhan utama. Jika media terjerumus dalam tekanan ekonomi dan digantikan oleh mesin tanpa etika, maka masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat, berimbang, dan dapat dipercaya. Hal ini memperburuk disinformasi di era digital ini.

Sejalan dengan latar belakang tersebut, AJI menggelar aksi dan diskusi di 34 kota di seluruh Indonesia. Langkah ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran bersama akan pentingnya mempertahankan integritas profesi wartawan dan menyoroti dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap kualitas jurnalisme.

Tahun 2025 bukan hanya mencatat penurunan dalam indeks kebebasan pers, tetapi juga menandai titik kritis bagi masa depan jurnalisme bermutu di Indonesia. Diperlukan perlindungan hukum terhadap jurnalis, reformasi ekonomi media, maupun tata kelola teknologi digital yang etis agar Indonesia tidak kehilangan fondasi utama demokrasi: kebebasan pers.

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Ryan D.Afriliyana, atau artikel-artikel lain tentang Hari Kebebasan Pers Sedunia 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//