• Narasi
  • Amanah Publik Seharusnya untuk Kesejahteraan Publik

Amanah Publik Seharusnya untuk Kesejahteraan Publik

Jika rakyat sudah kehilangan kepercayaan pada pemangku kekuasaan, maka upaya untuk mengembalikan rasa kepercayaan akan teramat sulit dan bahkan teramat mahal.

Rusmin Sopian

Penulis adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Bangka Selatan. Saat ini tinggal di Toboali Bangka Selatan

Ilustrasi. Kekuasaan cenderung korup jika tidak diawasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

11 Mei 2025


BandungBergerak.id – Dalam konteks Indonesia hari ini, banyak para pemimpin negeri yang diberi amanah oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini memperlakukan amanah sangat suci bak milik pribadi. Mereka merawat dan memelihara jabatan yang diembannya dengan penuh kasih sayang.

Mereka memperlakukan kekuasaan sebagai hak milik pribadi dan kelompok, bukan mandat dari publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik dengan transparansi yang tinggi. Tak heran banyak pejabat publik mengatasnamakan kepentingan diri sebagai kepentingan publik. Akibatnya, kekuasaan menjadi amat personal dan pejabat publik mencampuradukkan antara kepentingan pribadi, kelompok, dan kepentingan umum.

Fenomena ini membuat pejabat publik terkadang dalam menentukan pembantunya untuk mengimplementasikan kebijakannya dengan memperlakukan kekuasaan sebagai hak milik pribadi tanpa berdasarkan asas meritokrasi, prestasi, dan keunggulan yang lazim berlaku. Kekuasaan seolah-olah inheren dengan mobil dan rumah pribadi serta kehormatan diri. Akibatnya bukan hanya sistem yang tergerus, namun budaya unggul dan kompetisi yang selama ini menjadi solusi dan inheren dengan penganugerahan jabatan publik menjadi tidak berlaku.

Budaya unggul dan kompetitif tak terpakai. Hanya ada dalam retorika dan narasi.

Kondisi ini bukan hanya merusak sistem. Kelalaian penempatan orang yang salah pada posisi yang salah pada waktu yang salah membuahkan kefatalan dalam mencapai cita-cita pemerintah dan masyarakat secara komprehensif.  Kondisi ini juga akan membuat produktivitas dan energi tidak terjalin dengan baik dan mesra serta harmoni.

Justru kegagalan menempatkan orang pada posisi yang salah hanya akan membuat kreativitas dan dinamika produktivitas akan terhambat. Hadis Nabi pun dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.

Bahkan Allah SWT telah berfirman dalam surat Al Zumar yang berbunyi, "Katakanlah hai kaum ku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan mendapat siksaan yang menghinakannya dan lagi ditimpa oleh azab yang kekal.”

Intinya ketika pejabat publik gagal memberikan yang terbaik untuk kepentingan umum (publik), harusnya dengan kesadaran pribadi yang unggul dan bermartabat harus menyerahkan kepada para bangsawan pikiran bangsa yang berpotensi untuk mendorong kemajuan dan perubahan. Dan inilah yang dinamakan dengan keikhlasan dan bukan mempertahankan diri dan berapologi atas nama perintah pemimpin.  

Hendak puluhan kali berganti pemimpin, amanah rakyat masih tetap bercokol atas nama perintah pemimpin tanpa mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kepentingan khalayak umum. Dan ketika para penerima kekuasaan dari pemimpin memiliki kesadaran moral maka pemimpin negeri akan mudah melahirkan produk-produk yang bermanfaat bagi rakyat. Para pejabat publik seharusnya mempunyai kesadaran moral yang tinggi terhadap kekuasaan sebagai alat untuk melayani orang banyak (publik) dan bukan sebagai sumber daya untuk mengeksploitasi atas nama jabatan.

Baca Juga: Jejak Hitam Kekuasaan di Gedung Dewan
Pendidikan dan Kekuasaan
Analisis Film Leviathan (2014): Kekuasaan, Hukum, dan Yang Tak Bernama

Kesadaran Moral

Padahal sejarah mengajarkan bahwa pemimpin kita tempo dulu memiliki kesadaran moral untuk memperlakukan kekuasaan sebagai alat untuk mengeskalasi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sekaligus instrumen untuk mencerdaskan rakyat. Perilaku Bung Hatta yang tidak pernah mengambil keuntungan atas jabatan yang diembannya harusnya jadi teladan bagi para pemegang kekuasaan, dari tingkat pusat hingga daerah. Kesadaran moral dalam memandang dan memperlakukan kekuasaan dan jabatan harusnya dijadikan teladan dalam membangun negeri ini mulai Pulau Miangas hingga Rote.

Pada sisi lain untuk mengerakkan rakyat guna mendayagunakan pembangunan, harus terjalin kesepakatan akan cita-cita bersama, yakni tidak ada perbedaan pandangan antara cita-cita pemimpin dan cita-cita rakyat. Pembangunan akan berhasil jika rakyat merasa didampingi oleh para pemegang kekuasaan yang berwatak melindungi, mengayomi dan memiliki keteladanan yang tinggi dan bermoral.

Jika apa yang telah dikerjakan rakyat dengan segenap kemampuan jiwa dan raga hanya menguntungkan para pemegang kekuasaan, maka tekad dan cita-cita bersama itu akan lenyap. Dan kalau kita masih memelihara para pejabat publik yang masih banyak mengambil daripada memberi maka yang lahir adalah sikap masa bodoh, apatis, karena rakyat telah kehilangan kepercayaan dan legitimasinya kepada para pemangku kekuasaan.

Kalau sudah demikian, maka pejabat publik (pemimpin) memang hanya berpredikat sebagai pemimpin atribut tanpa kuasa hakiki. Dan rakyat pada hari penghakiman di TPS-TPS akan menjawabnya dengan kekuasaan mereka, yang hanya akan membuat pejabat publik hanya tinggal nama tanpa kesan dan tanpa warisan yang dapat dibanggakan.

Jika rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada para pemangku kekuasaan, maka upaya dan usaha untuk mengembalikan rasa kepercayaan itu teramat sulit dan bahkan  teramat mahal.

Dalam kondisi tersebut amat sulit bagi suatu negara dan daerah untuk membangun. Tanpa adanya kesamaan cita-cita antara rakyat dan para pemangku kekuasaan maka tidak akan lahir hubungan dialogis dan saling percaya antara rakyat selaku pemberi mandat kekuasaan dan pemimpin sebagai penerima mandat dari publik.

Pada saat tertentu  para pemegang kekuasaan  perlu menjadi penunjuk jalan, pembimbing dan pelindung. Dan pada suatu saat pula,  pemimpin perlu minta petunjuk kepada rakyat. Itulah hubungan simbiosis mutualisme antara pemimpin yang menerima amanah dari rakyat dan rakyat yang memberikan mandat kepada pemimpin untuk memimpin .

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//