Pendidikan dan Kekuasaan
Krisis akhlak, adab, dan etika yang terjadi saat ini adalah contoh nyata dari pendidikan yang hanya menghamba pada kepentingan bisnis dan mekanisme pasar semata.

Arif Yudistira
Peminat dunia anak dan pendidikan. Menulis Buku "Momong; Seni Mendidik Anak "(2022)
7 Maret 2025
BandungBergerak.id – Di negara Persia kuno, menurut Herodotus, kurikulum itu sangat simpel sekali, yakni agar anak-anak lelaki dapat berkuda, menembak, dan berbicara dengan benar. Hakekat sekolah tidak lain daripada memberikan apa-apa yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya (Harold Benjamin, 1982).
Pada kenyataannya, kurikulum maupun sekolah tidak sesederhana yang dikatakan Herodotus. Kurikulum itu kompleks, rumit, sesuatu yang terus diperbarui, disahkan, dan ditetapkan di setiap pergantian rezim kekuasaan (baca :kalau perlu). Terlebih bila kita lihat kurikulum yang ada di Indonesia.
Mengapa kurikulum pendidikan terutama di Indonesia seolah tidak pernah selesai dan menjadi persoalan penting di setiap pergantian rezim? C. E. Beeby (1982) mengutip Hilda Taba (1962) , “membingungkan adalah ciri utama teori kurikulum.” Di Indonesia sendiri kurikulum pendidikan tidak bisa lepas dari pengaruh kekuasaan politik. Siapa yang berkuasa ia turut menentukan, menciptakan arah kebijakan baru dalam semua bidang termasuk di bidang pendidikan. Pendidikan harus dirancang sesuai dengan arahan atau kebijakan kekuasaan.
Michael W Apple (2024) menulis, “kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan sarana dari indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan”. Setiap pergantian rezim seolah ingin menunjukkan bahwa inilah aku yang berkuasa, harus beda dengan penguasa sebelumnya. Ada satu contoh yang ditunjukkan oleh C.E. Beeby (1982) dalam bukunya Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Beeby menemukan fakta mencengangkan betapa perubahan kurikulum hanyalah menuruti hasrat kekuasaan. “Kurikulum sekolah lanjutan 1964 sangat bercorak politis-ideologis yang didasarkan atas doktrin demokrasi terpimpin Soekarno. Kurikulum 1969 mengubah corak tersebut tanpa mengurangi prinsip-prinsip Pancasila yang baik oleh pemerintahan Soekarno maupun oleh pemerintahan Soeharto dinyatakan sebagai falsafah negara meskipun dengan tafsiran berbeda.”
Apa yang menjadi landasan kurikulum dari rezim satu ke rezim berikutnya adalah kemauan rezim, bukan evaluasi yang sungguh-sungguh tentang realitas di lapangan mengenai fakta yang sebenarnya terjadi tentang kerumitan, masalah dan juga soal-soal penerapan kurikulum yang terjadi di mata guru maupun siswa. Perwakilan guru yang ada dalam organisasi guru sering dimanfaatkan untuk melegitimasi bahwa guru sudah diajak berpartisipasi dan memberi masukan tentang kurikulum baru. Anehnya guru-guru sering kaget dan memberikan protes tentang keterlibatan mereka dalam kurikulum baru yang menurut mereka rumit dan membingungkan. Fenomena ini hanya segelintir wajah pendidikan kita yang tidak terlepas dari dominasi kekuasaan. Apa dampaknya? Dampak yang nyata adalah pendidikan menjadi komoditi yang masif bagi proyek-proyek untuk melayani kepentingan kekuasaan. Akibatnya, tujuan pendidikan tidak semakin tercapai namun semakin jauh api dari panggang.
Baca Juga: Sebermasalah itukah Kredit Pendidikan?
Mengurai Problem Pendidikan Luar Sekolah
Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita
Berkaca dari Sejarah
Sejarah adalah kaca benggala kata pepatah. Dari sejarah pendidikan di Indonesia, kita bisa belajar bagaimana pendidikan terbaik di Indonesia pada masa lampau dirancang, dan diterapkan untuk Indonesia masa depan. Kita memiliki undang-undang tentang otonomi daerah, tetapi sistem pendidikan kita masih sentralistik yang tidak terlepas dari pengaruh serta kekuasaan pusat. Baik dari manajemen, kurikulum, sampai dengan penganggaran dana.
Pakar pendidikan H. A. R. Tilaar dalam bukunya Kekuasaan dan Pendidikan (2009) menyoroti kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita. Ada empat kecenderungan dalam sistem pendidikan kita. Pertama, sistem pendidikan mengacu pada ekonomi pasar bebas. Kedua, nilai-nilai dalam masyarakat kita menjadi semakin melemah seperti adat-istiadat, keluarga di samping merosotnya patriotisme. Ketiga, terlalu menekankan pada persaingan yang tajam untuk bersaing di pasar bebas. Keempat, pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan bisnis dan industri.
Menatap Masa Depan
Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan nasional kita memiliki konsep pendidikan nasional yang berkebudayaan. Kita ingat sistem pendidikan Taman Siswa yang dibangun dengan kurikulum nasional yang memiliki prinsip seperti; kemerdekaan, perlawanan terhadap kolonialisme, kemandirian dan berkebudayaan.
Kurikulum yang ada di Indonesia saat ini cenderung mengikuti arus pasar bebas yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh neoliberalisme. Krisis akhlak, adab, dan etika yang terjadi saat ini adalah contoh nyata dari pendidikan yang hanya menghamba pada kepentingan bisnis dan mekanisme pasar semata.
Bila kita mau menengok sejarah pendidikan kita, sejatinya kita memiliki konsep atau sistem pendidikan Taman Siswa yang memiliki kurikulum dari tingkat dasar sampai menengah. Dari tingkat SMK atau kejuruan kita bisa bercermin dari sistem pendidikan yang digagas oleh Mohammad Sjafei, INS Kaju Tanam.
Sayangnya, kita lebih memilih mekanisme pasar dalam penentuan kurikulum kita, tanpa menengok kembali sejarah pendidikan kita di masa lalu. Saat ini kita memiliki pemerintahan baru, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), ada aroma kental bahwa pendidikan kita akan dibongkar pasang, dan disesuaikan dengan kemauan kekuasaan. Dan kita tahu, yang menjadi korban dalam perubahan ini tidak lain adalah anak-anak kita dan guru kita.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pendidikan