• Opini
  • Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita

Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita

Bagaimana kalau mengganti program Sastra Masuk Kurikulum menjadi Sastra Masuk Kementerian? Untuk membuktikan program-program demikian memang layak untuk dijalankan.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Ilustrasi novel Saman karya Ayu Utami. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

20 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Beberapa bulan lalu, tepatnya 19 Mei 2024, Sastra Masuk Kurikulum diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebagian menyambut baik karena pemerintah (akhirnya) punya upaya membumikan sastra bagi pelajar. Sebagian yang lain mengkritik. Para sastrawan dan kritikus sastra bergantian mengutarakan pendapatnya.

Tiga hari selepas Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra terbit, Nirwan Dewanto, seorang budayawan cum penyair, esais, editor, dan kurator, menyampaikan bahwa “buku” panduan itu menyebarkan disinformasi dan mengandung kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang bobrok. Pemenang The S.E.A. Write Award 2018 itu berharap bukunya, Jantung Lebah Ratu, dikeluarkan dari daftar rekomendasi.

Dalam surat terbuka tersebut, Nirwan juga menyoroti upaya kanonisasi sastra yang dilakukan oleh para kurator dengan memasukkan karya mereka sendiri dalam 177 buku terdaftar. Laki-laki berusia 63 tahun itu mengkritik Sastra Masuk Kurikulum hanya melanjutkan program Pengajaran Sastra, dengan memasukkan karya-karya mutakhir yang belum teruji secara pedagogis.

Sekalipun bukan sastrawan dan kritikus sastra, saya bersikap seperti Nirwan: keberatan dengan program Sastra Masuk Kurikulum. Sempat berkuliah di kampus guru membuat saya mengerti bahwa program ini sama sekali tidak menyentuh akar masalah minat sastra pelajar kita hari ini. Menyerahkan urusan pelik ini hanya ke 14 penulis dan 3 guru adalah langkah yang kurang ajar –kalau tidak mau disebut bodoh.

Pemerintah Indonesia tampaknya terlalu terburu-buru ingin seperti negara-negara berpendidikan maju semacam Finlandia. Sembrono. Bagaimanapun, program seperti ini tidak akan manjur kalau tidak ada perombakan total dalam sistem pendidikan kita.

Baca Juga: Peran Terlupakan Kesusastraan Tionghoa di Peta Sastra Indonesia
Hadiah Sastra Rancage Mengandung Kritik terhadap Kegagalan Sistem Pendidikan Nasional
Untungnya Musik Universal, Akmal Mungkin Tidak Menyadarinya

Tulang Punggung dan Berat Punggung Guru

Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari.

Pepatah itu barangkali cocok menggambarkan kondisi guru hari ini: bagaimana mungkin para murid memperoleh pengetahuan dan pengalaman bersastra sementara pengajarnya saja tidak bersastra? 

Kendati begitu, saya berpendapat guru-guru tidak pantas mendapat penghakiman. Bisa jadi mereka bukannya tidak mau, tetapi tidak bisa. Pemerintah, beserta seluruh pemangku kebijakan pendidikan lainnya, adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas persoalan guru tersebut.

Semuanya terjadi begitu terstruktur. Saya akan membahas mulai kurikulum pendidikan kita hari ini.

Per Februari 2022, Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka, yang katanya jauh lebih ringkas, lebih sederhana, dan lebih fleksibel dibandingkan kurikulum sebelumnya. Sematan kata “Merdeka” memang terkesan progresif. Namun pada praktiknya, masih jauh panggang dari api.

Di lapangan, guru masih terjajah. Mengajar adalah satu hal, sementara mengurusi beban administrasi adalah hal lain yang harus diselesaikan. Guru-guru harus membuat rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek dan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Harus mengunduh aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan mengisi Rencana Hasil Kerja (RHK). Harus ikut program Guru Penggerak dan mengerjakan tugas-tugasnya yang bejibun. Dan, tetek bengek lainnya.

Pertanyaan lalu mengemuka, kapan mereka punya waktu untuk membaca buku? Mendalami sastra? Saya kira hampir mungkin tidak ada. 

“Semuanya bisa dijadikan prioritas dengan manajemen waktu yang pas,” kata seorang narasumber dalam sebuah webinar ketika ada guru yang mengeluhkan waktu yang tersita karena Kurikulum Merdeka.

Sialan, enteng sekali! Solusi yang aneh, problematis, dan tidak menyelesaikan masalah.

Jika hanya satu-dua guru saja yang bermasalah, mungkin manajemen waktu memang menjadi masalahnya. Namun, kalau yang terdampak itu banyak orang, apalagi terus berlarut-larut sampai dua tahun, artinya permasalahannya lebih jauh daripada itu.

Bagi sebagian orang, membaca buku, dalam hal ini sastra, adalah pekerjaan mengisi waktu luang. “Harusnya bisa disempatkan,” komentar salah satu netizen. Sayangnya, banyak guru yang memilih menghabiskan waktu luang untuk lembur –memeriksa tugas siswa atau menyiapkan pembelajaran esok hari– atau mencari penghasilan tambahan.

Ya, penghasilan. Di Indonesia, gaji guru, utamanya guru honorer, masih terbilang rendah. Dalam data yang dihimpun Databoks dari situs lowongan kerja Jobstreet, rata-rata terendah gaji guru di Indonesia pada Oktober 2023 adalah Rp2,4 juta per bulan. Jauh dibandingkan dengan rata-rata terendah gaji guru negara tetangga per bulan: Malaysia (Rp5,54 juta), Filipina (Rp6,97 juta), Thailand (Rp9,52 juta), dan Singapura (Rp11,92 juta).

Ketika berbincang dengan beberapa rekan saya yang menjadi guru (honorer), mereka mengaku hanya mendapatkan gaji sebesar Rp500 ribu per bulan. Hampir setara dengan seperempat UMR Banjarnegara (Rp2.038.005) yang notabenenya adalah terendah di Indonesia. Ya, guru-guru ini hanya mendapat gaji satu minggu untuk kerja satu bulan.

Mencari pekerjaan sampingan adalah pilihan kalau tidak mau berhutang. Jangan heran kalau menemukan guru-guru yang juga mengajar bimbel atau les privat. Atau berdagang, bertani, dan menjadi driver ojek online. Jangan heran kalau guru-guru tidak punya waktu untuk membaca dan bersastra

Program Literasi Sebatas Proyek, Murid Jadi Takut Baca Buku

Memancing kegemaran bersastra sebetulnya pernah digalangkan pemerintah sebelumnya: Gerakan Literasi Sekolah. Dalam Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah (2019), ada banyak strategi untuk membentuk ekosistem sekolah yang literat. Ada dua kegiatan yang akan saya soroti: pembuatan pojok baca dan penyediaan waktu khusus membaca buku nonpelajaran.

Untuk yang pertama, memang, salah satu alasan rendahnya minat membaca kita adalah akses terhadap buku yang terbatas. Penyediaan pojok baca di ruang-ruang kelas dianggap sebagai solusi. Namun, melihat apa yang terjadi di sekolah saya dulu, penyediaan pojok baca terbilang tidak efektif. Terkesan seperti menumpuk buku dan buang-buang anggaran.

Buku-buku yang disimpan di pojok baca juga benar-benar asal. Kebanyakan buku diambil dari perpustakaan sekolah –mayoritas adalah terbitan Balai Pustaka dan hampir tidak ada karya-karya mutakhir. Hasilnya mudah ditebak: pojok baca tersebut dipenuhi sarang laba-laba karena tidak satupun murid yang mengambil (atau sekadar mendekat).

Untuk yang kedua, penyediaan waktu khusus membaca buku nonpelajaran juga, lagi-lagi, tidak efektif. Di sekolah saya dulu, aktivitas membaca dilakukan setiap pagi selama 15 menit, sebelum dimulainya pembelajaran. Selepas “dipaksa” membaca, mereka dituntut menuliskan resensi hasil bacaan. Mereka diminta mempresentasikannya di depan kelas. Alih-alih cinta, mereka justru menganggap buku sebagai beban. Mereka jadi takut membaca.

Kini kian jelas, sekalipun kurikulum demi kurikulum berganti, sekalipun program demi program baru dicanangkan, kondisi literasi di ruang pendidikan tidak berubah. Pemerintah terkesan tidak serius mengatasi persoalan literasi di sekolah. Aktivitas literasi hanya dijalankan sebatas proyek: mendistribusikan buku, memberikannya kepada murid, memaksanya membaca, dan hore gerakan literasi di sekolah berjalan sukses. Padahal, literasi tidak sesederhana itu. Tidak sama sekali.

Bagaimana mungkin mendekatkan sastra kepada pelajar sementara para pelajarnya justru memilih menjauh dari buku?

Mendekatkan Sastra dengan Metode Membaca yang Pas

Rendahnya minat sastra di kalangan para pelajar memang dosa pemerintah. Tapi, menanti pemerintah menyelesaikan ini bagai pungguk merindukan bulan. Artinya, kita tidak bisa duduk diam berpangku tangan. Kita sendiri harus melakukan sesuatu.

Ketika ruang pendidikan formal sulit untuk direbut, ruang pendidikan alternatif bisa dicoba. Lewat ruang pendidikan alternatif (yang biasanya ada di skala lokal dan kecil), buku-buku dipilih dan dikondisikan agar relevan dengan konteks lingkungan dan pembacanya. Upaya membangun kebiasaan kultur sastra ini bisa dimulai dari tingkatan terendah: komunitas, lingkar pertemanan, atau bahkan keluarga.

Sastra adalah wacana. Buku sastra adalah benda yang elitis. Meminjam perkataan Muhidin M. Dahlan, menjangkau kedalaman sastra membutuhkan tindakan-tindakan yang khas: waktu luang, perangkat pengetahuan, ketahanan fisik, konsentrasi, dan seterusnya.

Di abad 10, hanya kelas tertentu yang memiliki akses terhadap buku sastra: kaum pujangga, kaum brahmana. Untuk menghubungkan sastra dengan masyarakat, diselenggarakan “pengajian” di malam-malam tertentu, terutama malam purnama. Buku dibacakan, publik mendengarkan.

Sekalipun klasik, metode tersebut bisa dibilang masih relevan untuk mendekatkan sastra dengan masyarakat. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha membuktikannya lewat ngaji kitab. Muhidin melihat Gus Baha tidak berfokus pada kuantitas, tapi kedalaman. Sebuah kitab dibaca secara perlahan. Dari kalimat per kalimat. Dari paragraf ke paragraf. Dari halaman ke halaman. Sambil dipandu oleh seorang yang memiliki otoritas atas buku yang disajikan.

Lain Gus Baha, lain Ubaidilah Muchtar. Di Ciseel, di wilayah yang tidak ada di peta, Ubay memulai pembiasaan bersastra dengan mengadakan reading group Max Havelaar karya Multatuli. Reading group dipilih karena sifatnya yang murah, massal, dan intensif.

Setiap Selasa pukul 16.00 WIB, anak-anak duduk melingkar di sebuah surau sambil masing-masing memegang buku Max Havelaar. Jumlah halaman yang dibaca tidak banyak, hanya sekitar satu sampai dua halaman saja. Tapi justru dengan metode membaca superlelet tersebut, anak-anak bisa lebih dalam memaknai konteks cerita yang dihadirkan.

Eka Kurniawan punya metode membaca sendiri buat anaknya. Anak Eka bukan tipe yang memiliki antusiasme terhadap buku. Eka mengerti, membaca bukan prioritas pertama anaknya –yang lebih suka menonton YouTube, terutama film kartun dan video how to versi anak-anak. Eka tidak menunggu tugas itu dilakukan guru sekolah. Eka mengambil peran.

Langkah awal yang dilakukan Eka adalah mengakrabkan buku secara fisik. Kemudian, bersedia membacakannya. Dan, yang tidak boleh disepelekan adalah mengajak ngobrol. Informasi apa pun dari sebuah buku, dipakai untuk merangsang pembicaraan.

“Saya yakin, dengan bertambahnya usia, dia akan “kangen” sendiri dengan isi buku-buku itu dan memutuskan membacanya sendiri. Demi kesenangan, bukan karena tugas atau kewajiban,” tulis Eka dalam esainya di Mojok berjudul Jangan Memaksa Anak untuk Suka Membaca, Nanti Mereka Takut.

Kemudian cerita lain hadir dari Yona Primadesi. Dirinya berpandangan proses membaca sangat dipengaruhi faktor eksternal dan internal individu. Membaca bukan kegiatan yang pasif, berasal dari luar individu, dan perkara kognitif belaka. Dalam membaca, perlu juga memperhatikan apa yang dibaca, motif membaca, tingkat intelegensi, gender, kondisi sosial budaya, dan aktivasi dalam proses membaca.

Persoalan membaca yang kerap didasarkan persoalan eksternal tanpa melihat internal individu membuat Yona menduga-duga, “jangan-jangan, selama ini orang tidak suka membaca bukan karena tidak ada bacaan, tapi karena bacaan yang ada dinilai tidak bermanfaat.”

Dari sana, Yona mengajari anaknya, Abinaya Ghina Jamela, membaca. Penulis buku Dongeng Panjang Literasi Indonesia (2018) dan Ingatan Masa Kecil (2022) itu memasukkan pendekatan teknik teater dalam kegiatan membaca: olah raga, olah rasa, dan olah intelektual. Bagi Yona, membaca adalah aktivitas dan pengalaman yang meramu ketiga hal tersebut.

Selain metode-metode yang barusan disampaikan, tentu masih banyak metode membaca lain yang bisa dipraktikan. Sebagian besar dapat ditemukan menumpuk di daftar arsip skripsi mahasiswa bahasa dan sastra. Sebagian lagi terselip dalam agenda-agenda komunitas literasi yang rutin mengadakan aktivitas sastra.

Kembali ke program Sastra Masuk Kurikulum, saya punya satu saran menarik dan realistis untuk dicoba. Bagaimana kalau mengganti program Sastra Masuk Kurikulum menjadi Sastra Masuk Kementerian? Untuk membuktikan program-program seperti demikian layak dijalankan atau tidak.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Tofan Aditya, atau tulisan-tulisan lain tentang sastra

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//