• Opini
  • Untungnya Musik Universal, Akmal Mungkin Tidak Menyadarinya

Untungnya Musik Universal, Akmal Mungkin Tidak Menyadarinya

Bagi saya, lagu-lagu Bernadya semacam semangat bagi muda-mudi budak cinta untuk keluar dari lingkaran toxic relationship; alat membangun kesadaran perubahan sosial.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Ilustrasi. Aplikasi digital memungkinkan semua orang menikmati berbagai konten melalui gawai. ( (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

7 Oktober 2024


BandungBergerak.idTeruntuk M. Akmal Firmansyah yang baik.

Saya membaca tulisanmu yang berjudul Sialnya Kita Miskin, Bernadya Mungkin Tidak Merasakannya di kolom esai BandungBergerak. Saya keberatan kalau kamu mengatakan bahwa lagu Bernadya, yang memperlihatkan tangisan dan patah hati karena cinta, tidak relevan dengan kelas bawah. Memang kamu ini siapa berani bisa bilang begitu? Departemen Penerangan?

Jika Akma bersaksi “lagu-lagu Bernadya tidak akan dinyanyikan oleh ibu-ibu yang bekerja di pabrik berkaraoke ria melalui speaker bluetooth”, saya ingin mengundang dirimu mampir ke kampung saya. Di sini, ibu-ibu yang bekerja di pabrik garmen menyetel musik Bernadya keras-keras untuk menemani kerja-kerja mereka, dan bukan Jayanti. 

Sebagai mahasiswa program studi sejarah, saya yakin betul Akmal pernah membaca soal musik highbrow dan lowbrow di Eropa di paruh kedua abad-20. Memang, pernah ada masanya orang-orang yang mendengarkan musik classic, jazz, atau experimental digolongkan sebagai kelas dominan, orang-orang dengan modal kultural besar. Sementara pendengar musik populer digolongkan sebaliknya. Pada zaman itu posisi kelas sosial diidentifikasikan oleh musik yang didengar.

Tapi itu dulu.

Rasa-rasanya, dengan perkembangan arus informasi hari ini, di mana akses terhadap musik bisa diperoleh di mana saja –mengutip kata Akmal, “di earphone yang bocor, di minimarket yang sepi, di kedai-kedai kopi”–, pendikotomian musik tidak lagi relevan. Semua begitu kompleks. Ada banyak faktor yang mempengaruhi preferensi musik orang-orang, ekonomi hanya salah satunya.

Pembentukan Selera Musik Kita

Saya tidak memungkiri bahwa faktor ekonomi membentuk pilihan musik dari masing-masing orang. Dalam estetika marxis, ruang-ruang kebudayaan (dalam hal ini seni) diintervensi oleh realitas material-ekonomis masyarakat. Dalam bahasa mudahnya, kesadaran individu untuk memproses kesenian terbentuk oleh realitas yang dihadapinya.

Sekalipun Marx berkata demikian, tidak serta merta bahwa basis material mendeterminasi dimensi-dimensi lain. Meminjam apa kata Widya Rafifa Salsabila, Marx tidak bermaksud untuk mereduksi kesenian sekadar implikasi dari “perkara ekonomi” belaka. Yang dimaksudnya, realitas material-ekonomis merupakan titik tolak yang dapat memberi kemungkinan bagi suprastruktur kesenian.

Lantas, faktor apalagi yang kiranya mempengaruhi preferensi musik seseorang? Ya, tepat sekali, media.

Dalam artikel Vice berjudul Dikotomi Selera ‘Gedongan vs Kampungan’, Warisan Jurnalisme Musik di Indonesia dikatakan bahwa diskriminasi dan framing terhadap genre musik tertentu menyebabkan segregasi dan bias kelas. Dalam artikel tersebut, contoh yang diambil adalah tulisan-tulisan musik yang dimuat Aktuil.

Aktuil, yang kala itu populer di kalangan anak muda, selalu menampilkan musik-musik dengan cita rasa barat, begitu yang dikatakan Remy Sylado. Modal kultural yang dibawa oleh awak Aktuil kemudian menegaskan persepsi soal musik rock barat yang keren dan penuh pemberontakan. Tanpa disadari, kondisi tersebut menegaskan posisi mereka dalam kontestasi kebudayaan melalui cibiran terhadap musik lain, dalam hal ini dangdut dan pop. Akhirnya dalam representasi kuasa simbolis itu, genre dangdut dan pop dicap sebagai musik kampungan, musik kelas bawah, dan bukan selera anak muda kala itu.

Kembali ke persoalan Bernadya, mencap lagu-lagu dalam album Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan (2024) tidak relevan dengan satu kelompok tertentu adalah pemikiran yang diskriminatif dan bias kelas. Pada dasarnya, musik itu universal. Persoalan relevansi, itu adalah hal yang subjektif, hak masing-masing orang. Setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, yang menjadikan penafsiran atas lagu-lagu Bernadya menjadi sangat beragam.

Baca Juga: Surat Buat Toilet Sekolah
Halalbihalal Dago Elos: Setelah Lebaran, Warga Akan Terus Melawan Penyerobotan Tanah
Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan

Penafsiran Lagu Bernadya: Obat Patah Hati, Imajinasi Kelas Bawah, dan Perlawanan

Jika Akmal meyakini lagu-lagu Bernadya tidak relevan dengan kelas bawah, saya justru sebaliknya. Apalagi kalau melihat bahwa lagu-lagu tersebut saat ini masih berada di puncak klasemen platform Spotify. Bagi saya, tingginya angka pemutaran dapat menjadi salah satu indikator bahwa lagu-lagu tersebut relevan dengan banyak orang. Tanpa batasan kelas dan memiliki penafsiran yang beragam.

Bagi gen Z yang underprivileged dan harus menafkahi keluarga kecilnya, lagu-lagu Bernadya mungkin bisa menjadi obat penenang dalam menjalani kehidupan depresi yang pesakitan dan tanpa cinta. Lagu-lagu Bernadya tentu lebih murah ketimbang harus pergi ke psikolog atau psikiater, atau berobat ke rumah sakit jiwa.

Bagi kelas bawah, lagu-lagu Bernadya mungkin bisa jadi semacam imajinasi ketika patah hati melanda. Mereka mungkin bermimpi menjalani masa-masa kehilangan seperti aku lirik dalam lagu-lagu tersebut: memiliki waktu luang agar bisa bersedih lama di sudut kafe paling sunyi, merenungi buku-buku bacaan di perpustakaan, atau mengingat antarjemput oleh mantan menggunakan mobil.

Bagi abang-abang gerakan, lagu-lagu Bernadya mungkin dijadikan referensi untuk melakukan perlawanan demi perlawanan. Sebetulnya, Akmal sendiri, entah sadar atau tidak, sudah melakukannya.

Di akhir tulisannya, Akmal menuliskan bahwa lagu Untungnya, Dunia Masih Berputar –yang padahal judul aslinya adalah Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan– mengajak kita untuk melihat segalanya dengan akal sehat. Agar tidak terperosok ke jurang kesedihan. Agar bisa menghadapi hidup meski chaos dan menciptakan cinta yang membebaskan.

Lain Akmal lain Rinaldi Fitra Riandi. Dalam tulisannya yang berjudul Kukira Lagu Bernadya, Ternyata Kisah Nyata, buruh perancang kata ini mendapat hikmah dari lagu-lagu Bernadya: “belajar bahwa urusan personal semacam patah hati juga merupakan persoalan politis, dan kebijakan “cuti patah hati” harus diperjuangkan bersama.”

Sementara saya sendiri, melihat lagu-lagu Bernadya semacam semangat bagi muda-mudi budak cinta untuk keluar dari lingkaran toxic relationship. Lewat pengaluran yang mantap, Bernadya menyampaikan pesan bahwa melepaskan adalah pilihan terbaik ketika mendapatkan pasangan yang lebih banyak menuntut ketimbang memberi.

Nampaknya, lagu-lagu Bernadya lebih menyenangkan dibahas dan ditafsirkan dengan pandangan progresif seperti ini ketimbang menjustifikasi relevan atau tidak dengan satu kelompok tertentu. Dengan demikian, lagu-lagu Bernadya dapat dijadikan alat untuk membangun kesadaran demi perubahan sosial di masyarakat.

Bukan begitu, Akmal?

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Tofan Aditya, dan tulisan-tulisan lain tentang Musik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//