Surat Buat Toilet Sekolah
Bill Gates sampai turun tangan merevolusi toilet-toilet sekolah. Di Indonesia, hanya 16 persen satuan pendidikan yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi.
Tofan Aditya
Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]
2 Mei 2024
BandungBergerak.id - Hallo, Toilet Sekolah! Lama sudah aku nggak jumpa denganmu. Gimana kabarmu sekarang? Aku curi dengar dari toilet tetangga katanya kondisimu makin mengenaskan, ya? Wah, kalau iya, sedih sih. Di perayaan Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) hari ini, ternyata nasibmu masih nggak kunjung baik. Kalau Bapak Ki Hadjar Dewantara tahu, pasti sakit hati.
Di tempatku sekarang, kaum manusia lagi sibuk ngobrolin hasil pemilu kemarin. Kamu pasti sudah tahu dong siapa yang menang. Itu loh yang kemarin janjiin program makan siang dan susu asam sulfat gratis. Ih, geli nggak sih nyimak janji kampanye mereka? Sebagai kaum Toilet kamu juga pasti ngeh kalau janji itu nggak realistis. Selain itu, apa coba gunanya program gituan kalau nggak dibarengi sama tempat buang hajat yang memadai. Bikin kasus berak di celana melonjak aja!
Sebagian kelompok manusia melakukan protes menolak kepemimpinan beliau. Hasilnya? Bisa ditebak: lembaga-lembaga negara kita memang cuek kalau urusan beginian. Beda kalau urusannya kasus pornografi atau pencemaran nama baik, biasanya mereka lebih sat-set. Tapi apa mau dikata, dari dulu kan suara manusia tuh memang cuma buat dihitung, bukan didengar.
Ah tapi ya sudahlah, terkait perpolitikan ini mungkin akan aku ceritakan lain waktu. Berbuncah-buncah kalau aku ceritakan sekarang. Dalam surat ini, aku justru ingin sedikit membahas tentang dirimu yang selalu kotor, yang selalu bau. Semoga kamu nggak sakit hati membacanya. Sebab ini bukan hanya tentang kamu.
Dari kecil, dari jejang SD sampai universitas, kamu, Toilet Sekolah, selalu berada di posisi teratas sebagai lokasi paling horor di sekolah. Jauh mengungguli Ruang BK dan Ruang Musik di posisi kedua dan ketiga. Saking horornya, aku yakin hantu selevel Valak bakal minder kalau ketemu kamu.
Penampakkanmu selalu berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Tinja yang tidak terguyur sempurna, lantai kotor berkerak, lampu remang-remang, sarang laba-laba di langit-langit, coretan tak senonoh memenuhi dinding, gayung bocor dengan bentuk tidak sempurna, tidak ada gantungan, tidak ada tempat sampah, dan tidak bisa kunci. Kengerianmu itu kian hakiki dengan aroma pesing yang menguar sampai luar ruangan. Sungguh penyiksaan bertubi-tubi bagi semua pancaindra manusia.
Bukan berarti penampilanmu yang menjijikan ini karena tidak pernah dibersihkan. Setiap pagi, aku mengamati petugas kebersihan tidak pernah absen menyikat, mengarbol, dan mewipol dirimu. Tapi menuju sore, rupamu kembali seperti sedia kala. Aku mendapatkan kesimpulan bahwa jumlah petugas kebersihan memang tidak sebanding dengan jumlah civitas academica nirkemanusiaan yang mengunjungimu.
Dan persis, itu malasahnya! Kamu nggak pernah jadi prioritas untuk diperhatikan. Sudah berulang kali pemimpin berganti, sudah berulangkali Hardiknas diperingati, tapi kondisimu masih begitu-begitu saja. Kalau boleh sarkas, kamu adalah bukti kegagalan pemerintah dalam mengurusi hal-hal dasar kehidupan.
Menjadi Toilet tentu bukan perkara mudah dan tidak akan menjadi mudah. Dunia mestinya tahu, membicarakanmu tidak melulu berkutat di persoalan tahi. Tapi, masa depan kita semua. Masa depan bangsa dan dunia.
Opa Bill Gates adalah salah satu orang yang sudah berpikiran sampai ke sana. Lebih dari satu dekade terakhir, Gates Foundation, yayasan milik Opa, telah mendonasikan ratusan triliun dollar untuk membangun dan mengembangkan toilet di berbagai negara di dunia.
Terlihat menggelitik memang ketika mengetahui Opa Bill, orang yang selama ini merevolusi komputer, sekarang justru mau repot-repot merevolusi toilet. Tapi, Opa Bill visioner. Dia sudah ngeh kalau itu adalah satu cara untuk menyelamatkan dunia!
Tapi, lain Opa Bill Gates, lain Indonesia.
Dalam Profil Sanitasi Sekolah yang dirilis Kemedikbud pada tahun 2020, hanya 16 persen satuan pendidikan yang memiliki akses terhadap layanan dasar yang terdiri dari ketersediaan air, sanitasi, dan kebersihan sekaligus. Artinya, ada sekitar 43,5 juta anak dan 356.388 satuan pendidikan yang masih belum mendapatkan kenyamanan ketika buang air.
Kalau di Jawa Barat sendiri, memang sih 85 persen sudah mendapatkan akses air yang layak. Tapi untuk persentasi sanitasi dan kebersihan yang layak masih berada di angka 27 persen dan 41 persen. Lha, gimana ceritanya ada air buat cebok tapi nggak ada tempat ceboknya?!
Ah itu mah kan data tahun 2020, sekarang mah harusnya udah lebih baik dong?!
Baca Juga: Halalbihalal Dago Elos: Setelah Lebaran, Warga Akan Terus Melawan Penyerobotan Tanah
Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan
Surat Terbuka buat Anakku (Kelak) yang Beranjak Remaja
Harusnya sih begitu, tapi karena saya belum mendapatkan data terbaru soal Profil Sanitasi Sekolah dan belum melihat keseriusan pemerintah dalam menanggulangi masalah ini, sepertinya masih jauh panggang dari api. Toh, anggaran buat pembangunan Toilet Sekolah saja dikorupsi. Coba tengok kasus di Bekasi setahun silam terkait dugaan kasus korupsi terhadap 488 toilet dengan nilai per unit mencapai 196-198 juta rupiah.
Meski tidak diseriusi pemerintah, kamu tidak perlu merasa kerdil. Kamu itu penting. Sama pentingnya dengan kurikulum pendidikan di negeri ini yang terus bergonta-ganti. Kamu punya peran vital untuk turut serta dalam mewujudkan amanat preambule UUD 1945: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Perlu bukti?
Aku melakukan survei singkat kepada beberapa teman sekolahku dulu. Dari survei tersebut, didapatkanlah hasil bahwa mereka tidak konsentrasi mendengarkan menjelasan guru sebab harus menahan buang air karena Toilet Sekolah yang tidak layak. Mereka menderita. Dan ini berbahaya, orang-orang seperti itu bisa saja mendapatkan masalah kesehatan seperti gangguan kandung kemih, TCD (tifoid, collera, disentri), dan diare.
Ya, betul diare! Diare, jika dibiarkan, akan sangat berbahaya. Dalam data World Health Organization, diare masuk jajaran 10 besar penyakit paling membunuh sedunia. Diare menyebabkan penderitanya mengalami dehidrasi dan rentan terkena infeksi. Tidak kurang sekitar 443 ribu anak meninggal setiap tahunnya.
Selain penyakit berbahaya, ketiadaan Toilet Sekolah juga mempengaruhi indikator kesetaraan gender suatu wilayah. Lho, kok bisa? Bisa dong! Ternyata ada kaitannya sanitasi yang layak dengan rendahnya angka melanjutkan siswa perempuan.
Studi UNESCO mengatakan bahwa satu dari lima anak perempuan harus putus sekolah karena layanan sanitasi yang buruk. Dalam jumlahmu yang masih minim dan tidak layak, siswa perempuan banyak yang mengalami gangguan organ reproduksi. Tentu masalah seperti ini bisa berdampak panjang terhadap aspek sosio-ekonomi mereka.
Lalu, berbicara dampak lingkungan, setidaknya ada 14 ribu ton tinja yang mencemari badan air setiap hari, berujung pada tercemarnya 75 persen sungai dan 70 persen air tanah. Jadi air minum yang dikonsumsi kemungkinan besar bercampur dengan … , ya silakan isi sendirilah, yah.
Wahai Toilet Sekolah, aku berbelasungkawa betul dengan dirimu. Aku juga kesal. Kesal dengan pemerintah brengsek di menara gading sana yang nggak kunjung ngasih kamu perhatian. Kek sibuk banget gitu sampai nggak punya waktu ngurusin kamu. Padahal kan kerjaan mereka cuman tidur rapat doang.
Aku kira, setelah kamu jadi 1 dari 17 tujuan pembangunan perkelanjutan (SDGs) kondisimu akan lebih baik. Ternyata tidak. Sepertinya kita harus bergerak sendiri, membangun jaringan advokasi sendiri. Membangun kesadaran bersama tentang pentingnya Toilet Sekolah.
Aku akan mencoba mengajak teman-temanku yang mendaku diri sebagai aktivis gender, lingkungan, dan HAM. Sepertinya mereka tidak sungkan untuk membantu dirimu. Selagi aku menggalang dukungan, kamu juga jangan duduk diam saja, kamu harus turut serta melawan. Kamu bisa mengajak teman-teman sesama jenismu untuk mogok kerja. Ya, aku yakin betul itu akan membuat ekonomi-politik kita kaos. Pasti ketika itu dilakukan tuntutan-tuntutan kita akan diterima.
Mungkin hanya itu yang saat ini bisa kita lakukan bersama. Semoga kamu tidak gentar melawan pemerintah baru yang otoriter nanti yah. Kita bareng-bareng kok. Jangan takut. Semoga di Hardiknas tahun depan kondisimu bisa lebih baik.
Eh, sudah dulu ya. Aku mules ini. Bye.
*Simak tulisan-tulisan lain dari Tofan Aditya, atau artikel menarik lainnya tentang Pendidikan