• Opini
  • Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan

Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan

Kita harus melawan kalau tidak mau ditindas negara. Saya yakin para camilan lain juga akan sepakat.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Logo legendaris biskuit Khong Guan. (Sumber foto: tangkapan layar jacobis.co.id/home/khong-guan/)

15 April 2024


BandungBergerak.id – Asalamualaikum, Bung Rengginang! Selamat lebaran! Semoga Bung berada dalam keadaan renyah selalu.

Salam kenal. Saya Tofan. Saya Pengelola Komunitas di BandungBergerak, sebuah media kecil yang menaruh perhatian ke isu-isu pinggiran. Akhir-akhir ini, saya tertarik untuk menjalin komunikasi dengan makhluk selain manusia, yang juga dipinggirkan. Tetiba saja saya langsung kepikiran Bung.

Saya prihatin menyimak wawancara Bung dengan Agus Mulyadi di Mojok tiga tahun lalu. Pelik juga ternyata kisah hidup Bung. Benar kata orang, menjadi Rengginang memang tidak semudah kelihatannya. Tapi kok Bung nggak pernah cerita? Akhir-akhir ini kita sering ketemu loh padahal.

Tapi okelah, setiap makhluk pasti punya alasan kenapa enggan bercerita. It's okay, take your time. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menulis surat saja. Meskipun pasti sulit buat Bung membaca pesan ini di keadaan gelap gulita. Yap, saya mengerti kok di dalam kaleng Khong Guan belum tersedia lampu.

Kembali ke wawancara Bung dengan si Agus. Dalam obrolan intim tersebut, saya menggarisbawahi dua hal. Pertama, guyonan "Rengginang di kaleng Khong Guan" sudah basi. Kedua, meskipun basi, guyonan tersebut tetap digunakan dengan dampak yang parahnya justru negatif.

Soal yang pertama, sekalipun basi, saya yakin guyonan itu datang lagi di lebaran tahun ini. Ya, semacam basa-basi untuk memecah kebuntuan topik obrolan lah. Seperti "kapan lulus?", "kapan kerja", "kapan nikah?", "kapan punya anak?", dan pertanyaan kapan-kapan lainnya.

Seperti kentut yang sering ngaleos, guyonan tersebut pasti (terasa ataupun tidak) akan berdampak. Saya mengerti kegelisahan Bung. Bung tentu keberatan karena dilekatkan dengan praktik penipuan dan pengecohan. Bung juga tentu tidak terima karena seolah dianggap lebih rendah dari biskuit Khong Guan.

Saya bukan Rengginang dan tidak akan pernah menjadi Rengginang. Tapi saya mengerti, kalau bukan karena olok-olok tersebut, mestinya menjadi Rengginang tidak seburuk apa yang orang-orang pikirkan. Lagian, keberadaan Bung di dalam kaleng kan bukan kehendak sendiri.

Persis, itulah yang ingin saya tekankan dalam surat ini: terkadang kita mendapatkan stigma atas apa yang di luar kehendak kita.

Baca Juga: Surat Terbuka buat Anakku (Kelak) yang Beranjak Remaja
Surat Terbuka untuk Presiden di Hari Raya Idulfitri

Stigma, Pemerintah, dan Pejabat

Ah iya, saya jadi ingin bercerita. Stigma oleh orang lain, yang Bung alami, juga pernah saya (dan teman-teman saya) alami. Kejadian ini baru terjadi beberapa pekan ke belakang. Saya akan ceritakan sedikit.

Semua bermula ketika kami mengadakan diskusi "Menyelami Hikmah-Hikmah Kehidupan". Dari judul saja, harusnya sudah terkesan Ramadan banget, dong? Singkat cerita, diskusi itu dibubarkan. Penyebabnya sepele: kami mengundang Ilham Aidit, anak dari D. N. Aidit yang distigmatisasi oleh negara, sebagai narasumber.

Main bubar-buarin aja. Kita mau bahas mental health hey, bukan yang marxis-marxis!

Gara-gara kejadian tersebut, saya sempat dikira kafir oleh kenalan-kenalan saya di media sosial. Lah, mereka ini kenapa sih? Mereka lihat KTP saya aja nggak pernah loh, kok berani-beraninya mengkafir-kafirkan orang? Haram loh itu hukumnya dalam Islam.

Yang saya alami belum seberapa nyelekit. Teman saya yang mencoba berargumen soal maksud kegiatan ini malah disebut kaum Bani Israil. Buset, padahal teman saya ini hanya ingin menjelaskan yang sebenarnya lho! Lagian teman saya ini asli orang Tasimalaya kok, bukan Timur Tengah.

Dan begitulah stigma bekerja. Pelabelan negatif pada satu hal tertentu (terkadang) menutup mata tentang apa yang sebenarnya terjadi. Banyak orang terlanjur benci tanpa pernah mengerti apa sebenarnya yang dia benci. Semacam, ikut-ikutan panas aja. Bahkan, benci terhadap sesuatu telah mengalahkan kecintaan terhadap apa yang kita yakini, terhadap Tuhan.

Aduh maaf Bung, saya emosi tadi. Untung saya menulis ini ketika sudah berbuka puasa. Mari Bung kita kembali ke topik utama.

Rencananya saya ingin tulis surat ini dengan main aman. Tapi saya kepalang greget. Saya curiga, bercandaan "Rengginang dalam kaleng Khong Guan" ini tidak muncul tiba-tiba. Ada andil pemerintah di belakangnya! Mereka kan emang doyan membuat stigma untuk memperkeruh dunia, termasuk bisa jadi dunia percemilanan.

Saya sempat bergosip, teman-teman saya bilang kalau pemerintah itu sering melekatkan pelabelan untuk menghantam siapapun yang menghalangi para pemodal dan investor. Membuat pihak yang dihantam tidak punya daya dan upaya untuk bersuara. Ya, meskipun Bung tidak banyak bicara juga sih, tapi sangat mungkin mereka menganggap Bung adalah ancaman.

Saya perhatikan, kalau orang-orang tahu kelezatan dan perjuangan Bung yang sebenarnya, pabrik-pabrik camilan besar pasti tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat. Kalau pabrik-pabrik itu tidak mendapat tempat, maka tidak laku. Kalau tidak laku, maka bangkrut. Kalau bangkrut, maka investor lari. Kalau investor lari, maka para pejabat nggak punya modal buat berkuasa. Kalo para pejabat nggak punya modal buat berkuasa, maka mereka nggak bisa nyalonin anak-anak mereka jadi pejabat juga. Hubungan kausalitas yang rumit memang!

Apalagi menjelang momen-momen Pilkada begini, stigmatisasi satu kelompok lazim digunakan untuk mendulang suara. Biasanya sih yang distigma itu kelompok minoritas. Tujuannya, ya untuk mengguggah emosi dan manggaet suara mayoritas.

Kok para pejabat pakai cara begini sih?

Jadi begini, Bung. Kita kan sama-sama tahu kalau calon pemimpin kita malas (kalau tidak mau dibilang dungu). Mana mau mereka memikirkan solusi untuk masalah-masalah urgent seperti krisis iklim, transportasi, atau keadilan gender. Ribet lah pasti buat mereka. Mending menyudutkan kelompok minoritas. Minim biaya dan tenaga, serta dijamin mendapat banyak suara.

Nah atas dasar tersebut, di momen lebaran ini, saya ingin mengajak Bung untuk membangun koalisi. Kita harus melawan kalau tidak mau ditindas negara. Saya yakin para camilan lain juga akan sepakat. Semprong, tape, opak, peyek, sagon, dan camilan lainnya sepertinya memiliki penderitaan hampir serupa. Nanti kita bisa atur siapa yang akan menghubungi mereka. Oh iya kelompok jajanan pasar juga bisa diajak. Menarik sepertinya.

Di rezim baru ini, winter is coming. Memang benar begitu adanya. Oleh karenanya kita harus banyak bergerak agar tidak mati kedingingan. Suara-suara harus selalu dilantangkan. Kerja-kerja advokasi harus terus berjalan. Penyebaran informasi di berbagai kanal harus terus digaungkan.

Sekian dulu surat dari saya. Saya nantikan balasan Bung. Semoga lebaran ini bisa jadi awal yang bagus untuk kita. Jangan mlempem dulu ya, Bung. Jangan sampai isu ini cuman jadi isu tahunan, apalagi lima tahunan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau artikel-artikel lain tentang kebebasan berekspresi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//