• Opini
  • Surat Terbuka untuk Presiden di Hari Raya Idulfitri

Surat Terbuka untuk Presiden di Hari Raya Idulfitri

Apakah permintaan maaf pak presiden tersebut sudah mencakup kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia?

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Warga melintas di depan karya mural di dinding Jalan Layang Pasupati, Kota Bandung, Kamis (19/8/2021) siang. Seni mural dan grafiti, sebentuk komunikasi rakyat yang memanfaatkan ruang publik, sering disalahartikan sebagai aksi vandalisme atau bahkan tindak kriminal. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 April 2023


BandungBergerak.idSelamat lebaran, Pak! Keluarga bapak pakai baju warna hijau sage juga, kah?

Pak, akhir-akhir ini, saya gemar menyimak media sosial bapak. Maaf ya pak, bukan maksud mau stalking, saya cuma penasaran dengan keseharian orang nomor satu di Indonesia. Mungkin nggak, ya, seorang presiden bikin story dengan stiker pertanyaan “rekomendasi menyenangkan rakyat?” Wah, pasti banyak ide-ide asyik tuh, pak.

Oh, iya, nih, pak, berhubung masih momen lebaran, saya tertarik membahas salah satu konten yang bapak unggah di media sosial. Bukan, soal kedatangan Pak Prabowo dan putranya ke kediaman bapak. Serius, bukan itu, pak. Siapa pun tahu kalau itu hanya “silaturahmi” biasa menjelang pemilu di hari lebaran.

Justru, saya lebih tertarik membahas postingan Selamat Hari Raya Idulfitri yang bapak unggah tepat di hari lebaran (24/2/2023) kemarin. Dengan peci dan kemeja putih (khas pejabat), bapak memohon maaf lahir dan batin. Nah, di sini saya bingung. Maaf untuk apa, ya, Pak?

Sebetulnya, ingin sekali saya bertanya langsung kepada bapak. Tapi, ya, namanya wong cilik, mana mungkin saya berani. Dan memangnya, apakah bapak sempat untuk menjawab pertanyaan remeh begini?

Dari pertanyaan “maaf untuk apa?” kemudian muncul pertanyaan lain. Bapak mengucapkan permohonan maaf ini atas nama pribadi atau kepala negara?

Untuk pertanyaan kedua ini, saya bisa menduga jawabannya. Dengan diunggahnya juga video ini di YouTube Sekretariat Presiden, artinya bapak memohon maaf selaku presiden. Soalnya di pikiran saya, kalau atas nama pribadi pasti diunggahnya di akun @kaesangp. Betul apa betul, pak?

Kalau dugaan saya tepat, muncul pertanyaan berikutnya (maaf yak pak, udah kayak filsuf saja saya banyak bertanya). Apakah permintaan maaf tersebut sudah mencakup kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia?

Soalnya ya pak, memang sih, bapak sudah mengakui dan menyesali kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu lewat konferensi pers pada awal tahun kemarin. Ada dua belas kasus yang Bapak sebutkan: Peristiwa 1955-1956, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena di Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003. Tapi ya Pak, di video berdurasi 3 menitan yang saya tonton, saya tidak mendengar sepatah kata maaf pun dari bapak.

Kalau sudah tahu salah kenapa tidak minta maaf secara gamblang saja sih, pak? Kenapa harus menunggu hari lebaran untuk meminta maaf (walaupun saya belum yakin sepenuhnya apakah Bapak maaf untuk kasus pelanggaran HAM)? Bukankah sebaik-baiknya orang adalah yang memohon maaf ketika sadar akan kesalahannya?

Ya, walaupun saya sadar sih, minta maaf bukan kultur dari pejabat kita. Tapi saya yakin kok, bapak orangnya tulus dan berjiwa besar. Apalagi katanya bapak lahir dari keluarga wong cilik, sama seperti saya. Kalau saya boleh menduga lagi, ada dua alasan keengganan bapak mengatakan maaf. Pertama, bapak merasa tidak merasa bersalah. Kedua, bapak terhalang oleh kepentingan orang-orang di kabinet dan ketua partai.

Bukan maksud saya menceramahi Bapak Presiden yang terhormat. Tapi bagi saya, kasus pelanggaran HAM tidak bisa diselesaikan dengan prinsip “sing uwes yo uwes”. Bagaimanapun harus digarap serius dan terencana. Dan, pintu gerbangnya adalah memohon maaf. Maaf dalam bentuk pernyataan jelas lho, bukan kode-kodean.

Bukan berarti saya menyalahkan bapak karena langsung mengutus Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) untuk menyelesaikan masalah ini. Sama sekali tidak kok. Itu bagus justru. Hanya saja, bapak nampaknya harus kembali blusukan, melihat langsung kondisi mereka dan mendengar apa keinginan mereka.

Yang menjadi korban pelanggaran HAM itu manusia loh, Pak. Punya hati dan pikiran. Mereka perlu diajak mengobrol dan bapak harus mendengarkan. Ini bukan menurut saya saja loh, pak. Saya mengambil ini dengan menghimpun beberapa tanggapan korban terdampak dari media-media daring. Intinya, ini bukan cuma soal angka. Apalagi menuntaskan janji kampanye.

Maaf nih, pak, saya yakin bapak juga sudah tahu, di sini saya hanya mengingatkan. Dalam data yang dihimpun oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM, dalam tiga tahun terakhir terjadi 6.865 kasus pelanggaran HAM. Kasus-kasus tersebut meliputi pelanggaran hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak untuk hidup, dan banyak lainnya. Ini baru yang terdata, loh, pak, di kenyataannya tentu lebih banyak.

Satu kasus itu sudah terlalu banyak ya, pak, ini malah hampir mau 7 ribu. Semoga jumlah ini tidak terus naik seperti harga pangan menjelang lebaran ya, pak.

Saya jadi mau sedikit curhat. Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk menyusun zine terkait kondisi anak-anak dalam kasus-kasus penggusuran di Bandung. Ada tiga peristiwa yang dihimpun: Penggusuran Tamansari, Penggusuran Anyer Dalam, dan Penggusuran Dago Elos. Dari telusur tersebut, masyaallah, anak-anak itu menderita trauma loh, pak. Bagaimana mau menyambut Indonesia Emas 2045 kalau anak-anaknya saja menderita begini?

Andai kata bapak sudah meminta maaf, lantas apa? Ya, bapak mesti berjanji dan bekerja untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM di masa lalu dan mencegah kasus-kasus serupa terjadi di kemudian hari.

Nah, kalau bapak bingung caranya, sama kok pak, saya juga bingung, hehe. Tapi saya yakin, ketua partai bapak yang memiliki 15 gelar Doktor Honoris Causa dan 3 gelar Profesor, pasti punya jawabannya. Apalagi salah satu gelarnya tersebut didapat dari Universitas Soka Tokyo untuk bidang kemanusiaan.

Baca Juga: Menggugat Makna dalam Diam, Cara Pantomim Mengekspresikan Trauma
Menyusuri Lorong Waktu Perjalanan Gedung Merdeka dan Diplomasi KAA 1955
Dua Dekade Rumah Cemara: Menggapai Kemandirian dalam Kerja Panjang Menghapus Stigma

Tapi, ya, jangan lupa, harus dimusyawarahkan dan dimufakatkan bersama rakyat, khususnya rakyat terdampak. Kan bapak dipilihnya oleh rakyat, masa hanya manut ke ketua partai saja, hehe. Semoga bapak tidak termasuk golongan orang-orang yang dikatakan Bambang siapalah itu, perwakilan rakyat yang bilang pejabat di sini hanya manut ketua partai, ketika rapat Komisi III DPR awal bulan kemarin.

Pak, rakyat serius loh memandang kerja Bapak, jangan sampailah bapak balas dengan bercanda.

Pak, saya bisiki lagi ya, menuntaskan kasus pelanggaran HAM bukan cuma sekadar menunaikan janji kampanye yang pragmatis itu. Lebih jauhnya, ini urusan moral, urusan hati. Masa mau kalah dari Belanda. Negara yang sudah menjajah negara kita selama ratusan tahun saja minta maaf kok. Indonesia kapan?

Saya tiba-tiba jadi ingat ungkapan Sukarno yang mengatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".

Pak presiden, kerja-kerja pengungkapan kasus HAM harus benar-benar serius dilakukan. Ini betul-betul sudah sangat terlambat. Para korban Peristiwa 1965-1966 sudah memasuki usia senja. Keluarga korban pelanggaran HAM sudah lama berdiri menanti di depan Istana Negara. Segera selesaikan, pak. Agar tidak ada lagi orang-orang dengan baju dan pakaian hitam (yang sering dikira anarko) di setiap hari Kamis.

Hanya persoalan ini sih Pak yang mau saya sampaikan. Duh maaf ya Pak, jadi banyak menyinggung ini itu. Maaf juga bahasa saya masih belepotan. Harap maklum, hanya ini cara saya menyuarakan isi hati saya selaku warga negara. Semoga momen bahagia bapak bersama Jan Ethes dan Al Nahyan tidak terganggu.

Sehat selalu, pak. Titip salam buat keluarga di rumah. Dari saya, pemuda yang sedang menghangatkan tumis kentang sisa lebaran dan menanti kasus pelanggaran HAM benar-benar terselesaikan.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//