Mengingkari HAM dalam KUHP
Dalam KUHP yang baru, hukuman untuk koruptor diperingan. Sedangkan kritik terhadap pemerintah diancam pidana penjara.
Fanny S. Alam
Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia
14 Desember 2022
BandungBergerak.id - Setelah menunggu sejak tahun 1958 pada saat revisi diajukan dan didiskusikan ulang pada tahun 1963 di DPR hingga pada tahun 2019 mengalami penundaan, akhirnya pada 6 Desember 2022 DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk menjadi Undang-Undang (UU).
Terkait hal ini juga, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna H. Laoly menyatakan bahwa pengesahan ini berhubungan dengan perluasan tindak pidana. Ia mengklaim sudah melakukan sosialisasi tentang RKUHP yang melibatkan serangkaian pembicaraan dengan berbagai perwakilan masyarakat dari kelompok agama, akademisi, profesi hukum, hingga organisasi mahasiswa dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Wacana revisi KUHP memang diperlukan mengingat KUHP yang berlaku di Indonesia masih merupakan warisan kolonial Belanda dan dalam perkembangan di masyarakat Indonesia sekarang sudah berkembang wacana hukum dengan tujuan mencapai keadilan restoratif dan rehabilitatif, bukan sekedar hukum sebagai ajang penghukuman semata. Ada semacam asa bahwa hukum harus dapat memberikan rasa kemanusiaan bagi para pelaku kriminal, sehingga para tahanan menjadi lebih baik dan memiliki kesempatan hidup berintegrasi dengan masyarakat di sekitarnya.
Namun kemudian pengesahan KUHP menuai kontroversi. Revisi terhadap isi pasal-pasal dalam KUHP malah menimbulkan polemik baru, terutama terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Kenyataanya adalah bahwa sebenarnya revisi ini seharusnya menjadi tonggak utama hukum yang adil serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tata negara Indonesia.
KHUP Bumerang bagi HAM
Puncak kritis tahapan revisi RUU-KHUP sebenarnya sudah ada sejak waktu lama, terutama ketika pada tahun 2019 terdengar rumor untuk pengesahan RKHUP menjadi UU. Resistensi dari banyak kelompok masyarakat terhadap RKUHP menyebabkan Presiden Joko Widodo turun tangan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta DPR sama-sama mempertimbangkan kembali signifikansi pengesahannya.
Pada saat itu, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa RKUHP pembahasannya cenderung tertutup tanpa menyertakan elemen masyarakat, sehingga ada beberapa pasal yang cenderung mendiskriminasi kelompok masyarakat rentan, seperti perempuan, anak, masyarakat miskin, penghayat kepercayaan, orang dengan disabliltas.
Sementara itu pada tahun 2022, Komnas Perempuan menekankan pentingnya melihat beberapa pasal yang cenderung “mengkriminalisasi berlebih”. Contohnya pasal 432 dan 462 terhadap perempuan karena menempatkan ibu sebagai subjek pemberat hukuman pada tindak penelantaran anak dan pembunuhan bayi, dengan mengabaikan penelantaran oleh pihak laki-laki yang menyebabkan pihak perempuan tersebut takut bahwa kelahiran anak tersebut diketahui orang lain.
Terhadap koruptor, hukuman seumur hidup berubah seperti dalam Pasal 603: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI”.
Sementara itu, kebebasan bersuara dan berpendapat pun mendapat tantangan besar dari pengesahan UU KUHP ini. Delik pemidanaan dapat terjadi ketika dilakukan kritik terhadap aparat pemerintahan. Hukuman yang dikenakan kepada pengkritik lembaga-lembaga negara dapat lebih tinggi ketimbang kepada orang biasa, jika merujuk kepada isi pasal 240, yaitu setiap orang yang menghina pemerintah atau lembaga negara di muka umum bisa dipidana maksimal penjara 1 tahun dan 6 bulan.
Baca Juga: KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers
Pengesahan KUHP sebagai Pukulan Mudur terhadap Hak Asasi Manusia
Isi Surat Keprihatinan PBB tentang KUHP Indonesia yang Berpotensi Melanggar HAM
Negasi HAM
Sejatinya, Indonesia berjalan berdasarkan prinsip negara hukum, yang dilaksanakan berdasarkan kedaulatan rakyat serta jaminan HAM di dalamnya. Hal ini menyiratkan bahwa kehidupan dan kemerdekaan masyarakat di Indonesia dijamin sebaik-baiknya oleh hukum yang berlaku, serta adanya pembatasan tindakan penguasa serta aparatnya dengan hukum.
Penegasan hal-hal seperti ini yang bisa dinegasikan dalam pelaksanaan UU KUHP ke depannya, karena banyaknya potensi pemelintiran pasal-pasal yang dianggap bermasalah untuk dikenakan kepada masyarakat. Tagar (#) siapa pun dapat kena bermunculan di setiap narasi yang ada di berbagai media sosial. Masyarakat menjadi khawatir karena sejengkal perkataan atau tindakan yang mungkin tidak terkait kriminal berat, namun tetap berpotensi dapat dikriminalisasi.
Mengingkari prinsip HAM dalam pelaksanaan KUHP, terutama bagi kebebasan bersuara, berekspresi, serta sasaran terhadap hal-hal yang bersifat privat, semestinya dapat dipertanyakan ulang oleh masyarakat kepada pemerintah dan aparatnya. Karena alih-alih melindungi, hal tersebut justru malah menjerumuskan masyarakat kepada kriminalisasi yang mungkin tidak pada tempatnya.
Di sinilah seharusnya peran perwakilan rakyat dapat menjadi signifikan karena mereka ada untuk membantu pembelaan HAM masyarakat dan suara mereka didengar secara signifikan. Di sini pula masyarakat dapat merasakan konteks aturan hukum yang berkeadilan restoratif, rehabilitatif, yang dijanjikan dalam KUHP ini.