Isi Surat Keprihatinan PBB tentang KUHP Indonesia yang Berpotensi Melanggar HAM
PBB menyatakan keprihatiannya atas pengesahan KUHP. Jauh sebelum pengesahan KUHP, PBB sudah mengingatkan Indonesia.
Penulis Iman Herdiana9 Desember 2022
BandungBergerak.id - Pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tak hanya menjadi sorotan di dalam negeri. Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB pun menyatakan keprihatinannya. Organisasi negara-negara dunia ini menyoroti bahwa KUHP Indonesia berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Pernyataan tersebut tertuang dalam laman resmi PBB tertanggal 8 Desember 2022, tiga hari setelah KUHP diketuk palu oleh DPR dan pemerintah pada Selasa (6/12/2022).
“Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia (PBB), seraya menyambut baik modernisasi dan pemutakhiran kerangka hukum Indonesia, mencatat dengan keprihatinan adopsi ketentuan tertentu dalam KUHP yang direvisi yang tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesetaraan. Di hadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi serta hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” demikian pernyataan PBB, dikutip Jumat (9/12/2022).
PBB, lanjut pernyataan resmi tersebut, khawatir beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia.
Disebutkan, beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. Juga berpotensi mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada perempuan, anak perempuan, anak laki-laki, dan minoritas seksual dan akan berisiko mempengaruhi berbagai hak kesehatan seksual dan reproduksi, hak privasi, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
Ketentuan lain, kata PBB, KUHP berisiko melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka.
Dalam pernyataan resmi itu, PBB menyebutkan bahwa pakar Hak Asasi Manusia PBB sebelumnya telah menyampaikan keprihatinan serupa dalam surat yang dikirim ke pemerintah tertanggal 25 November 2022, artinya jauh sebelum RKUHP disahkan menjadi KUHP.
“Saat Pemerintah mempersiapkan penerapan KUHP yang baru, kami menyerukan kepada otoritas eksekutif dan legislatif untuk memanfaatkan proses reformasi ini untuk memastikan bahwa hukum dalam negeri diselaraskan dengan kewajiban hukum hak asasi manusia internasional Indonesia dan komitmennya terhadap Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yang terus dipromosikan dan digunakan negara sebagai kompas untuk agenda pembangunan nasionalnya.
Kami mendorong pemerintah untuk tetap terlibat dalam dialog konsultatif terbuka dengan masyarakat sipil yang lebih luas dan pemangku kepentingan untuk menangani keluhan dan memastikan bahwa proses reformasi sejalan dengan komitmen global Indonesia dan juga TPB,” demikian pernyataan PBB.
Baca Juga: KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers
Berpulangnya Hati Nurani DPR dan Pemerintah atas Pengesahan RKUHP
Jurnalis di Bandung Melakukan Aksi Bungkam 17 Menit Menolak 17 Pasal RKUHP
Pasal-pasal RKUHP yang Menjadi Sorotan PBB
PBB menyertakan tautan surat untuk Indonesia terkait RKUHP tanggal 25 November 2022. Berikut ini poin-poin pasal di dalam RKUHP yang menjadi keberatan PBB:
Pasal 2 RKUHP mengakui “any living law” di Indonesia, yang dapat ditafsirkan mencakup hukum adat (hukum pidana adat) dan peraturan Syariah (hukum Islam) di tingkat lokal.
Karena tidak ada daftar resmi “hukum yang hidup” di Indonesia, PBB khawatir pasal ini dapat digunakan untuk mengadili kelompok rentan dan minoritas secara sewenang-wenang.
Hak untuk mengakses aborsi yang aman dan legal
Rancangan baru pasal 465, 466, dan 467 RKUHP akan mengkriminalkan aborsi jika tidak sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam ketentuan UU Kesehatan 2009. Seorang wanita yang mengakhiri kehamilannya dapat dijatuhi hukuman hingga empat tahun penjara. Siapa pun yang membantu wanita hamil melakukan aborsi dapat dihukum hingga lima tahun penjara. Ketentuan ini juga dapat diartikan untuk menuntut mereka yang menjual atau mengkonsumsi kontrasepsi darurat.
Hak untuk mengakses kontrasepsi
Pasal 410 RKUHP menetapkan pidana denda paling banyak satu juta rupiah bagi siapa saja yang menawarkan kepada anak di bawah umur dalam bentuk tulisan, potret atau tulisan yang menggambarkan segala cara untuk menghentikan kehamilan; dan jika hal itu disampaikan di hadapan anak di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam ratus rupiah.
Pasal 410-411 RKUHP yang telah dimutakhirkan mengatur bahwa “barang siapa tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan alat pengguguran kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau mempertunjukkan bahwa dapat memperoleh alat pengguguran kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 10 juta rupiah. Dengan pasal 412 yang menyebutkan perbuatan demikian tidak dipidana, jika dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam rangka penyelenggaraan keluarga berencana, pencegahan penyakit menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan atau jika dilakukan untuk kepentingan.
Meskipun ada pengecualian, efek mengerikan dari pasal 410-411 secara keseluruhan akan mengurangi pertukaran bebas informasi kesehatan penting, termasuk oleh guru, orang tua, media, dan anggota masyarakat, dan kemungkinan akan menghambat bahkan mereka yang secara resmi dibebaskan dari hukum.
Kriminalisasi seks di luar nikah/kohabitasi/perzinahan
Pasal 413 RKUHP mengacu pada perzinahan dan menghukum hubungan seks di luar nikah hingga satu tahun penjara atau denda. Rancangan undang-undang juga memungkinkan pengaduan dari suami istri untuk pasangan menikah dan orang tua atau anak untuk melaporkan pasangan yang belum menikah ke polisi jika mereka mencurigai mereka melakukan hubungan seks. Baik seks sebelum menikah dan perzinahan akan dikriminalisasi.
Dikhawatirkan bahwa ketentuan tersebut dapat menimbulkan risiko pemolisian moral yang juga dapat digunakan untuk menyasar anggota komunitas LGBT. Meskipun ketentuan ini tidak secara khusus menyebutkan perilaku sesama jenis, karena hubungan sesama jenis tidak diakui secara hukum di Indonesia, hal itu akan secara efektif mengkriminalkan semua perilaku sesama jenis.
Rancangan pasal 414 menyebutkan pasangan yang hidup bersama tanpa menikah secara sah dapat dijatuhi hukuman enam bulan penjara. Di bawah draf yang diusulkan, pasangan yang belum menikah yang hidup bersama akan melakukan kejahatan yang dapat dihukum enam bulan penjara atau denda, meskipun hanya jika dilaporkan ke polisi oleh orang tua, anak, atau pasangan mereka. Ini adalah ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menyasar anggota komunitas LGBT karena pernikahan sesama jenis adalah ilegal di Indonesia.
Ketentuan tersebut akan melanggar hak privasi untuk menyetujui orang dewasa yang dilindungi oleh hukum internasional. Ketentuan tersebut dapat memperkuat atau memperburuk norma sosial yang diskriminatif dan berdampak besar pada perempuan, yang dapat menghadapi tekanan untuk memasuki pernikahan paksa jika dituduh melakukan hubungan seks di luar pernikahan atau peningkatan “pengawasan” masyarakat terhadap perilaku mereka.
Ketentuan diskriminatif lainnya
Pasal 408 Bagian Kesatu, mengkriminalkan “perbuatan cabul” dan/atau perbuatan yang dianggap “melanggar kesusilaan” di muka umum dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda. Dengan tidak adanya definisi yang jelas tentang istilah 'cabul' dalam kode etik, pasal ini dapat digunakan untuk menargetkan orang-orang LGBT.
Ketentuan diskriminatif tersebut juga dapat memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender karena perempuan dan LGBT yang dituduh dan/atau dihukum karena perzinahan, sodomi, atau hubungan seksual sesama jenis cenderung menjadi sasaran kekerasan dan penyalahgunaan, oleh anggota keluarga, masyarakat atau aparat penegak hukum.
Hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan
Pasal 156 dan 156(a) KUHP ini menghukum setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau lebih kelompok penduduk Indonesia, termasuk kelompok agama.
Pasal 156 a menghukum setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang dianggap “bermusuhan, menyalahgunakan atau menodai” salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia.
Pasal 156a juga menghukum ungkapan atau perbuatan “mencegah seseorang untuk memeluk suatu agama berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pasal-pasal ini tampaknya menetapkan pelanggaran agama yang dapat merusak baik kebebasan beragama atau berkeyakinan maupun kebebasan berekspresi dan dapat membatasi kemampuan untuk melakukan dialog dan debat yang sehat tentang agama atau keyakinan (lihat A/76/380 paragraf 59).
Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat dan berpartisipasi
Sejumlah pasal penting dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. Pasal-pasal tersebut, yang juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mencakup berbagai isu seperti kejahatan terhadap ‘Ideologi Negara’ (rancangan pasal 188); Tindak Pidana Penghinaan Kehormatan atau Martabat Presiden dan Wakil Presiden (rancangan pasal 218, 219, 220);
Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebaran Berita atau Pemberitahuan Palsu, (rancangan pasal 263 dan 264); kriminalisasi tindakan ‘penghinaan’ Pemerintah; Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan ‘Berita atau Pemberitahuan Palsu’ (rancangan pasal 263 dan 264); Kejahatan terhadap Penghinaan Kekuasaan Publik dan Lembaga Negara (rancangan pasal 349-350); dan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik (rancangan pasal 440).
Dalam RKUHP, media juga akan dilarang menayangkan berita yang belum terverifikasi. Jika berita tidak 'sesuai dengan fakta', jurnalis dan media bisa menghadapi hukuman penjara hingga dua tahun.
Aspek-aspek kontroversial lainnya dari RUU tersebut termasuk pasal-pasal tentang fitnah terhadap otoritas dan lembaga negara, kebebasan berkumpul, penyebaran informasi yang salah, dan pengkhianatan.
Rancangan pasal 256 berisi ketentuan untuk mengkriminalkan pengorganisasian protes damai, yang dapat dihukum dengan denda dan penjara hingga enam bulan.
Selain itu, draf pasal 118 menjatuhkan hukuman penjara hingga empat tahun bagi siapa saja yang menyebarkan ajaran Marxis-Leninis dan pasal 189 mengesahkan hukuman 10 tahun karena bergabung dengan organisasi yang mengikuti ideologi Marxis-Leninis “dengan maksud mengubah kebijakan pemerintah”.