• Narasi
  • Surat Terbuka buat Anakku (Kelak) yang Beranjak Remaja

Surat Terbuka buat Anakku (Kelak) yang Beranjak Remaja

Andaikata kelak kamu sudah dewasa dan memilih jalur pedang untuk melawan, cinta harus tetap menjadi fondasi utama.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Anak-anak bermain sebelum digelar Festival Keadilan di Dago Elos, Bandung, Sabtu, 6 Desember 2023 sore. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

8 Januari 2024


BandungBergerak.id - Hi kids! This is your Dad.

Sekarang baru saja memasuki tahun 2024. Di penghujung tahun lalu, tren untuk menyurati bakal calon anak ramai diunggah orang-orang di Tiktok dan Instagram. Aku tidak mau ketinggalan, tapi bukan karena alasan FOMO. Aku hanya khawatir kamu diejek oleh teman-temanmu karena punya seorang ayah yang tidak gaul, sekali pun kenyataannya memang begitu.

Aku memilih cara yang berbeda. Ketika orang tua lain meninggalkan pesan dalam bentuk video, aku justru memilih tulisan, persis seperti fitrah surat sebagaimana semestinya. Alasan pertama, aku demam kamera. Alasan kedua, aku takut dikomentari jahat oleh netizen. Alasan ketiga, aku khawatir media sosial-ku sewaktu-waktu diblokir pemerintah.

Teruntuk anakku yang baik, yang saat ini mulai menginjak usia-usia remaja.

Sebentar lagi kamu akan menghadapi dunia yang sebenarnya. Dunia yang jauh berbeda dari dongeng-dongeng yang aku dan Ibumu bacakan ketika kamu kecil. Dunia yang tidak melulu sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Besar kemungkinan kamu lahir dari orang tua yang tidak memiliki privilege. Meski pahit, aku harus mengatakannya. Di kehidupan seperti demikian, hampir bisa dipastikan, kita berada di posisi selalu kalah. Kita akan kalah dalam pertaruhan nasib, kalah dalam pertarungan modal, kalah dalam perebutan alat produksi.

Tapi, Anakku, kalah bukan berarti salah. Itu cuman persoalan perspektif dari mana kita melihatnya. Jika kamu menggantungkan semua kebenaran di antara pilar-pilar peraturan, kita pasti kalah. Sebab, sekalipun kita berada di negara hukum, kita bukan termasuk orang yang bisa mengotak-atik hukum.

Hukum membuat orang-orang kecil seperti kita tidak punya kesempatan untuk mengubah salah menjadi benar. Kamu bisa melihat sendiri, di hadapan negara, para tetangga kita yang menolak untuk digusur itu dianggap salah, para pedagang kaki lima yang memilih bertahan itu dianggap salah, para Om dan Tante yang "dihilangkan" karena melawan itu dianggap salah. Di mata hukum, apa pun yang sudah seharusnya menjadi milik kita bisa berbalik menjadi milik orang lain.

Padahal, mungkin kamu sudah pernah mendapatkan ini dari guru atau buku pelajaran di sekolah, tanpa Sukarno yang berani melakukan tindakan melawan hukum, melakukan propaganda dan penggalangan massa untuk menggulingkan pemerintahan yang sah kala itu, Indonesia mungkin tidak pernah ada.

Anakku yang aku doakan seumur hidup dan matiku.

Kamu harus mengerti, orang seperti kita amat kerdil ketika berhadapan dengan hukum. Sangat sedikit hukum yang berpihak kepada kita. Kalaupun ada, biasanya hukum-hukum lain akan diciptakan untuk melawan hukum tersebut. Orang-orang di parlemen sana, yang ditugasi untuk mengotak-atik hukum, bisa jadi lebih peduli isi perut dan dompet mereka ketimbang isi hati kita.

Kita tinggal di negara demokrasi. Semestinya, rakyat memegang kekuasaan tertinggi. Aku yakin kamu mendapati itu di buku-buku pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Suara rakyat, suara Tuhan, vox populi, vox Dei. Sayangnya, suara rakyat hanya diperhatikan menjelang pesta-pesta demokrasi seperti ketika surat ini dibuat. Pesta yang tentu bukan pesta untuk kita.

Demokrasi bisa membuat sebuah negara lebih persuasif dalam menangani persoalan, tapi bukan berarti tidak berdaya. Dalih “kepentingan umum”, yang padahal bisa jadi “kepentingan pribadi” atau “kepentingan orang-orang kaya atau korporasi”, sering menjadi tameng. Ruang hidup kita sangat mungkin akan direbut juga sewaktu-waktu. Tanpa peduli kita punya sertifikat tanah atau tidak. Tanpa mendengarkan alasan-alasan yang kita lontarkan.

Seniman pantomim Wanggi Hoed membagikan pesan Jangan Diam bersama komunitas Aksi Kamisan Bandung di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Seniman pantomim Wanggi Hoed membagikan pesan Jangan Diam bersama komunitas Aksi Kamisan Bandung di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Anakku yang selalu aku sayangi sekalipun tidak aku ungkapkan setiap waktu.

Andaikata kelak kamu sudah dewasa dan memilih jalur pedang untuk melawan, cinta harus tetap menjadi fondasi utama. Kamu salah jika menganggap aku benci Tanah Air ini, sekalipun tanah beli, air juga beli.

Seperti kamu yang tidak ingin membuat Ibumu terluka, aku juga tidak ingin negara ini jatuh sakit dan memberi penderitaan lebih kepada rakyatnya. Cinta bukan berarti kita harus menerima apa adanya: membiarkan penggusuran terjadi, menoleransi diskriminasi yang terjadi, diam ketika ada kelompok-kelompok yang terancam. Cinta adalah upaya untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik. Itulah alasan mengapa aku memaknai perlawanan sebagai ekspresi cinta paling romantis.

Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden di Hari Raya Idulfitri
Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan

Anakku yang selalu aku doakan kebahagiaanmu setiap waktu.

Di penutup surat ini, aku ingin berpesan: perbanyaklah membaca. Jangan lupa menyimak kabar-kabar dari lapangan! Dengan begitu, kamu akan lebih paham lingkunganmu, lebih mengenal sosok-sosok yang bisa menjadi pahlawanmu.

Mungkin kamu tidak akan menemukan pahlawan dengan lencana-lencana, seperti yang sering kamu dapati fotonya di buku-buku sejarah. Namun, kamu akan menemukan pahlawan-pahlawan yang berani mati melawan ketidakadilan, seperti tokoh-tokoh dalam buku fiksi yang kamu baca.

Kamu akan mendapati orang-orang hebat seperti Eva Eryani yang terus memperjuangkan haknya yang telah dirampas pemerintah setempat. Kamu akan mendapati Aan Aminah yang lantang menyuarakan hak buruh sekalipun pemah dijebloskan ke balik jeruji. Kamu juga bisa mendapati warga-warga di Dago Elos yang selalu bertarung agar bisa bertahan di tanah kelahirannya.

Anakku, sekali waktu, di hari Kamis yang baik, aku akan mengajakmu pergi ke depan Gedung Sate. Melihat orang-orang berpayung hitam, berpakaian hitam, terus berdiri berteriak “melawan lupa”. Aku akan memperkenalkan wajah Marsinah, Munir, Widji Thukul, dan Udin kepadamu. Aku ingin kamu melanjutkan tekad mereka untuk terus bersolidaritas bersama orang-orang yang terpinggirkan, yang tersisihkan, yang terabaikan.

Sudah dulu, ya! Semoga surat ini dapat menemuimu, Anakku, di waktu yang tepat. Aku berharap bisa diberikan kesempatan oleh Tuhan membacakan surat ini langsung kepadamu.

Semoga keselamatan selalu menyertai kita!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau artikel-artikel lain tentang hak asasi manusia (HAM)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//